PATOLOGI ADMINISTRASI DAN TERAPINYA
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN
GUNUNG DJATI ABNDUNG)
PATOLOGI ADMINISTRASI DAN TERAPINYA
Kekuasaan dan kewenangan manusia
yang terikat dalam sebuah birokrasi memiliki tingkatan yang berbeda-beda,
semakin tinggi posisi seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar
tetapi tanggung jawab dalam penyelesaian berbagai aktivitas semakin kecil dan
sebaliknya. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk dapat merebut
kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi. Perebutan kekuasaan dan kewenangan
yang tidak didasarkan kepada profesionalisme, rasionalisme dan moralitas
merupakan suatu penyakit atau patologi
dalam birokrasi. Hal ini akan berakibat:
1.
Perubahan yang terjadi dalam
birokrasi bukan didasari kepada tindakan profesionalitas, rasionalitas
danmoralitas sehingga kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu.
2. Tidak
efektif dan efisiensinya dalam mengembangkan tuntutan para anggota birokrasi
terhadap performa profuknya dengan kebutuhan pengembangan birokrasi itu
sendiri.
3. Tidak
termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya.
4. Setiap
anggota birokrasi dalam melakukan suatu tindakan bukan lagi berdasarkan kepada
pemikiran rasional, tetapi kecenderungan tindakannya irasional.
5. Interaksi
dan reaksi baik anggota birokrasi, antara anggota birokrasi dengan anggota
masyarakat lainnya senantiasa mengabaikan norma-norma moralitas.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah
Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah
penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau
lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan
menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan
dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur
dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap
menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan
prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas
hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA.,
(1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis
penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula
bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik,
ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. (Agus
Dwiyanto, 2011: 64)
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan
bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang
menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain:
1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja
yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol
secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa
saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik
kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap
atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan
masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;
2. Pembengkakan anggaran, terdapat beberapa
alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang
dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran,
tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik,
terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran
sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk
melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran
atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika
kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;
3. Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan
pelayanan menjadi berbelit-belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat
ketika dalam keadaan mendesak;
4. Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan
menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban
kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan
keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat
merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran; dan
5. Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru
yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan
untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada
motif tertentu. (Agus Dwiyanto, 2011: 65)
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut
serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit
– penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya
menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi
jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap,
arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau
rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan
operasional. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan
ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri,
bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para
anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi,
ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4. Patologi
yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional
atau negatif. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak
sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.5. Patologi yang
merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan
pemerintah. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi
tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif. (Sondamg,
1994: 35).
Untuk menyembuhkan patologi
birokrasi tersebut maka birokrasi memerlukan manusia yang memiliki keunggulan:
1.
Unggul dalam penguasaan ilmu dan
teknologi;
2.
Unggul dalam penguasaan stategik;
3.
Unggul dalam berkolaborasi ;
4.
Unggul dalam bernegosiasi;
5.
Unggul dalam penguasaan informasi.
Patologi
atau penyakit administrasi di antaranya:
1.
Persekongkolan
Jabatan dan terapinya
Persekongkolan jabatan adalah suatu
usaha yang dilakukan dua orang atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna
mempertahankan atau memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi dengan
mengorbankan orang lain. Persekongkolan jabatan dapat menciptakan
ketidakstabilan dan bahkan memungkinkan kematian sebuah organisasi.
Langkah-langkah mencegah terjadinya
patologi persekongkolan jabatan:
a. Pengisian atau rekrutmen jabatan,
merupakan suatu usaha sadar dengan mempertimbangkan dari berbagai hal dalam
jabatan baik yang memberikan keuntungan maupun hal yang merugikan;
b. Kejelasan batasan kewenangan dan
tanggungjawab dalam jabatan;
c. Kejelasan persyaratan jabatan;
d. Keterbukaan besaran penghasilan
dalam suatu jabatan.
2.
Persekongkolan
Pekerjaan dan Terapinya
Patologi yang berupa persekongkolan pekerjaan
dapat terjadi dalam rangka pendistribusian pekerjaan terutama pekerjaan yang
melekat pada jabatan dan lebih banyak kontribusi besaran penghasilan bagi yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan tersebut terutama pada jenjang yang lebih
tinggi.
Terapi untuk menurangi dan
menghilangkan persekongkolan pekerjaan:
a. Menciptakan kondisi sosial yang baik;
b. Menciptakan emosional yang cerdas;
c. Menciptakan intelektualitas yang
baik;
d. Menciptakan karakter yang baik;
e. Menciptakan spiritualitas yang baik.
3.
Persekongkolan
Status dan Terapinya
Mempertahankan berbagai status yang
dimiliki individu, kelompok yang bukan dilandasi dari profesionalisme dan
kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan merupakan salah bentuk
persekongkolan status. Persekongkolan status dapat diartikan atau dipandang
secara negatif karena berpatokan kepada pengalaman yang dirasakan manusia yang
bersangkutan, di mana terkena imbas dari tindakan atau perbuatan persekongkolan
tersebut selalu dalam posisi yang dirugikan. Apabila imbasan dari tindakan
persekongkolan dalam rangka mempertahankan status yang dimilikinya menyebabkan
melemahnya atau merugikan organisasi maka hal ini merupakan patologi.
Langkah-langkah dalam rangka
penyembuhan:
a. Menanamkan pengertian tentang
penyakit persekongkolan status dalam aktivitas administrasi dapat merugikan
kelompok manusia yang bersekongkolan, dan lebih-lebih kepada pengembangan dan
penguatan proses administrasi dalam pencapaian tujuan.
b. Memberikan kesadaran bahwa hasil
yang dicapai akibat penyakit persekongkolan status dalam aktivitas administrasi
akan banyak menimbulkan kerugian disbanding manfaat.
c. Memberikan teknik-teknik
menghindarinya.
4.
Persekongkolan
Kolega dan Terapinya
Interaksi dan reaksi jaringan dalam
keprofesian atau kolega sangat akrab terutama dalam interaksi dan bereaksi
terhadap persekongkolan. Interaksi dan reaksi dari sekelompok manusia yang
tujuannya memperoleh suatu manfaat
tetapi berdampak negative dalam arti merugikan kelompok manusia lain
ataupun organisasinya dikategorikan sebagai patologi persekongkolan kolega.
Langkah-langkah pencegahannya yaitu
dengan memperhatikan skill yang dimilinya, di antaranya:
a. Kecakapan individu (individual
skill);
b. Kecakapan kelompok (group skill);
c. Kecakapan sosial (social skill);
d. Kecakapan akademik (academic skill);
e. Kecakapan aktualisasi (actualitation
skill);
f. Kecakapan emosional (emotional
skill);
g. Kecakapan intelegensi (intelligence
skill).
5.
Persekongkolan
Keluarga dan Terapinya
Menanggulangi patologi
persekongkolan keluarga dalam kehidupan administrasi, hal ini dapat dijelaskan
bahwa dalam kehidupan administrasi terdiri atas beberapa pandangan terhadap
anggota keluarga:
a. Anggota
keluarga dengan hubungan darah
Administrasi sebagai proses kerjasama memungkinkan
terjadi adanya anggota memiliki hubungan darah seperti anak, saudara dll. Hal
ini akan menciptakan hubungan emosional, saling melindungi, saling mendukung
dalam tindakan sehingga akan menimbulkan patologi persekongkolan keluarga.
Sehingga untuk mengatasinya diperlukan kesadaran dan penentuan ketentuan yang
tegas.
b. Anggota
keluarga bukan hubungan darah
Untuk mencegah hal ini adalah penegakan hukum,
konsistensi dalam penerapan kebijakan dan perlakuan adil pada semua anggota
dalam birokrasi.
c. Anggota
keluarga dalam arti luas
Adalah semua anggota ikatan kerjasama dari seluruh
tingkatan kedudukan yang tergolong dalam anggota keluarga birokrasi. Untuk
mencegah terjadinya patologi perlu menciptakan kondisi bangunan yang berwawasan
kekeluargaan dan kebersamaan serta menegakkan kebenaran.
d. Anggota
keluarga dalam arti sempit
Adalah sebagian kecil anggota birokrasi yang
mengadakan kesepakatan dalam persekongkolan karena memiliki tujuan yang sama
dan menindas pada orang yang sama pula. Untuk menerapinya, dengan memberikan
pemahaman dalam kebersamaan dari seluruh anggota birokrasi yang diikat dalam
bentuk kerjasama.
6.
Persekongkolan
Pertemanan dan Terapinya
Persekongkolan pertemanan merupakan
fenomena sosial yang sulit dicegah karena persekongkolan pertemanan ini suatu
kebutuhan baik individu, kelompok, birokrasi, organisasi, bahkan kebutuhan sosial.
Oleh karena itu jangan berpikir untuk menghilangkan persekongkolan pertemanan
tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaiman persekongkolan tersebut senantiasa
dilakukan secara positif dalam kehidupan birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar