Minggu, 16 April 2017

PATOLOGI ADMINISTRASI DAN TERAPINYA



PATOLOGI ADMINISTRASI DAN TERAPINYA
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI ABNDUNG)
PATOLOGI ADMINISTRASI DAN TERAPINYA
Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terikat dalam sebuah birokrasi memiliki tingkatan yang berbeda-beda, semakin tinggi posisi seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar tetapi tanggung jawab dalam penyelesaian berbagai aktivitas semakin kecil dan sebaliknya. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk dapat merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi. Perebutan kekuasaan dan kewenangan yang tidak didasarkan kepada profesionalisme, rasionalisme dan moralitas merupakan suatu penyakit  atau patologi dalam birokrasi. Hal ini akan berakibat:
1.    Perubahan yang terjadi dalam birokrasi bukan didasari kepada tindakan profesionalitas, rasionalitas danmoralitas sehingga kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu.
2.    Tidak efektif dan efisiensinya dalam mengembangkan tuntutan para anggota birokrasi terhadap performa profuknya dengan kebutuhan pengembangan birokrasi itu sendiri.
3.    Tidak termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya.
4.    Setiap anggota birokrasi dalam melakukan suatu tindakan bukan lagi berdasarkan kepada pemikiran rasional, tetapi kecenderungan tindakannya irasional.
5.    Interaksi dan reaksi baik anggota birokrasi, antara anggota birokrasi dengan anggota masyarakat lainnya senantiasa mengabaikan norma-norma moralitas.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. (Agus Dwiyanto, 2011: 64)
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain:
1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;
2. Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;
3. Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit-belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan mendesak;
4. Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran; dan
5. Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu. (Agus Dwiyanto, 2011: 65)
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif. (Sondamg, 1994: 35).
Untuk menyembuhkan patologi birokrasi tersebut maka birokrasi memerlukan manusia yang memiliki keunggulan:
1.    Unggul dalam penguasaan ilmu dan teknologi;
2.    Unggul dalam penguasaan stategik;
3.    Unggul dalam berkolaborasi ;
4.    Unggul dalam bernegosiasi;
5.    Unggul dalam penguasaan informasi.
Patologi atau penyakit administrasi di antaranya:
1.    Persekongkolan Jabatan dan terapinya
Persekongkolan jabatan adalah suatu usaha yang dilakukan dua orang atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna mempertahankan atau memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi dengan mengorbankan orang lain. Persekongkolan jabatan dapat menciptakan ketidakstabilan dan bahkan memungkinkan kematian sebuah organisasi.
Langkah-langkah mencegah terjadinya patologi persekongkolan jabatan:
a.  Pengisian atau rekrutmen jabatan, merupakan suatu usaha sadar dengan mempertimbangkan dari berbagai hal dalam jabatan baik yang memberikan keuntungan maupun hal yang merugikan;
b.  Kejelasan batasan kewenangan dan tanggungjawab dalam jabatan;
c.   Kejelasan persyaratan jabatan;
d.   Keterbukaan besaran penghasilan dalam suatu jabatan.
2.    Persekongkolan Pekerjaan dan Terapinya
Patologi yang berupa persekongkolan pekerjaan dapat terjadi dalam rangka pendistribusian pekerjaan terutama pekerjaan yang melekat pada jabatan dan lebih banyak kontribusi besaran penghasilan bagi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan tersebut terutama pada jenjang yang lebih tinggi.
Terapi untuk menurangi dan menghilangkan persekongkolan pekerjaan:
a.   Menciptakan kondisi sosial yang baik;
b.   Menciptakan emosional yang cerdas;
c.   Menciptakan intelektualitas yang baik;
d.   Menciptakan karakter yang baik;
e.   Menciptakan spiritualitas yang baik.
3.    Persekongkolan Status dan Terapinya
Mempertahankan berbagai status yang dimiliki individu, kelompok yang bukan dilandasi dari profesionalisme dan kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan merupakan salah bentuk persekongkolan status. Persekongkolan status dapat diartikan atau dipandang secara negatif karena berpatokan kepada pengalaman yang dirasakan manusia yang bersangkutan, di mana terkena imbas dari tindakan atau perbuatan persekongkolan tersebut selalu dalam posisi yang dirugikan. Apabila imbasan dari tindakan persekongkolan dalam rangka mempertahankan status yang dimilikinya menyebabkan melemahnya atau merugikan organisasi maka hal ini merupakan patologi.
Langkah-langkah dalam rangka penyembuhan:
a.  Menanamkan pengertian tentang penyakit persekongkolan status dalam aktivitas administrasi dapat merugikan kelompok manusia yang bersekongkolan, dan lebih-lebih kepada pengembangan dan penguatan proses administrasi dalam pencapaian tujuan.
b.  Memberikan kesadaran bahwa hasil yang dicapai akibat penyakit persekongkolan status dalam aktivitas administrasi akan banyak menimbulkan kerugian disbanding manfaat.
c.  Memberikan teknik-teknik menghindarinya.
4.    Persekongkolan Kolega dan Terapinya
Interaksi dan reaksi jaringan dalam keprofesian atau kolega sangat akrab terutama dalam interaksi dan bereaksi terhadap persekongkolan. Interaksi dan reaksi dari sekelompok manusia yang tujuannya memperoleh suatu manfaat  tetapi berdampak negative dalam arti merugikan kelompok manusia lain ataupun organisasinya dikategorikan sebagai patologi persekongkolan kolega.
Langkah-langkah pencegahannya yaitu dengan memperhatikan skill yang dimilinya, di antaranya:
a.  Kecakapan individu (individual skill);
b.  Kecakapan kelompok (group skill);
c.  Kecakapan sosial (social skill);
d.  Kecakapan akademik (academic skill);
e.   Kecakapan aktualisasi (actualitation skill);
f.    Kecakapan emosional (emotional skill);
g.   Kecakapan intelegensi (intelligence skill).
5.    Persekongkolan Keluarga dan Terapinya
Menanggulangi patologi persekongkolan keluarga dalam kehidupan administrasi, hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kehidupan administrasi terdiri atas beberapa pandangan terhadap anggota keluarga:
a.       Anggota keluarga dengan hubungan darah
Administrasi sebagai proses kerjasama memungkinkan terjadi adanya anggota memiliki hubungan darah seperti anak, saudara dll. Hal ini akan menciptakan hubungan emosional, saling melindungi, saling mendukung dalam tindakan sehingga akan menimbulkan patologi persekongkolan keluarga. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan kesadaran dan penentuan ketentuan yang tegas.
b.      Anggota keluarga bukan hubungan darah
Untuk mencegah hal ini adalah penegakan hukum, konsistensi dalam penerapan kebijakan dan perlakuan adil pada semua anggota dalam birokrasi.
c.       Anggota keluarga dalam arti luas
Adalah semua anggota ikatan kerjasama dari seluruh tingkatan kedudukan yang tergolong dalam anggota keluarga birokrasi. Untuk mencegah terjadinya patologi perlu menciptakan kondisi bangunan yang berwawasan kekeluargaan dan kebersamaan serta menegakkan kebenaran.
d.      Anggota keluarga dalam arti sempit
Adalah sebagian kecil anggota birokrasi yang mengadakan kesepakatan dalam persekongkolan karena memiliki tujuan yang sama dan menindas pada orang yang sama pula. Untuk menerapinya, dengan memberikan pemahaman dalam kebersamaan dari seluruh anggota birokrasi yang diikat dalam bentuk kerjasama.
6.    Persekongkolan Pertemanan dan Terapinya
Persekongkolan pertemanan merupakan fenomena sosial yang sulit dicegah karena persekongkolan pertemanan ini suatu kebutuhan baik individu, kelompok, birokrasi, organisasi, bahkan kebutuhan sosial. Oleh karena itu jangan berpikir untuk menghilangkan persekongkolan pertemanan tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaiman persekongkolan tersebut senantiasa dilakukan secara positif dalam kehidupan birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar