HAK ASASI MANUSIA
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia merupakan hak-hak
yang dimiliki manusia sejak lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi manusia merupakan sebuah bentuk
anugerah yang diberikan oleh Tuhan sebagai suatu karunia yang fundamental dalam
hidup manusia. Hak asasi manusia yang paling fundamental ada dua macam, yaitu
hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak mendasar inilah, lahir hak- hak
asasi lainnya. Persamaan derajat antarmanusia merupakan titik tolak semua hak
yang ada di muka bumi yang merupakan milik mutlak manusia. Manusia dipandang
sama di hadapan Tuhan dan sesama manusia lainnya. Oleh karena itu, semua bentuk
pandangan, pemikiran, aliran, agama, dan lainnya, yang mempersoalkan perbedaan
etnis, kebudayaan, ras, agama, dinyatakan melanggar hak asasi manusia.Sejak
awal Tuhan menciptakan manusia dengan beragam perbedaan suku bangsa dan
kebudayaannya.
Seperti diketahui masalah hak asasi manusia
serta perlindungan terhadapnya
merupakan bagian penting dari demokrasi. Dengan meluasnya konsep dalam teks
globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat
dibicarakan di hampir semua masalah belahan dunia. Sebenarnya sudah dari zaman
dahulu masalah hak dikenal di banyak kawasan dunia, tetapi yang paling banyak
sumber tertulisnya ialah negara-negara Barat.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal
ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Hak
Asasi Manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Hak
Asasi Manusia.
1. Apa pengertian
HAM?
2. Bagaimana
perkembangan pemikiran HAM di dunia?
3. Bagaimana
perkembangan pemikiran HAM di Indonesia?
4. Bagaimana
HAM dalam perundang-undangan nasional?
5. Bagaimana bentuk
kasus pelanggaran HAM di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui pengertian HAM;
2. Untuk Mengetahui perkembangan pemikiran HAM di dunia;
3. Untuk Mengetahui perkembangan pemikiran HAM di Indonesia;
4. Untuk Mengetahui HAM dalam perundang-undangan nasional;
5. Untuk Mengetahui bentuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
Dari sisi dinamika pergantian istilah, juga dari sisi pengertian,
“Human Right” atau hak asasi manusia dalam perkembangannya mengalami dinamika dan
keragaman definisi. Seperti pendapat beberapa ahli sebagai berikut.
·
Jan
Materson (komisi HAM PBB) mendefenisikan HAM sebagai hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup.
·
Miriam
Budiarjo dalam buku dasar-dasar ilmu politik menyebutkan bahwa hak asasi
manusia adalah hak yang dimimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dasar
dari hak asasi manusia itu adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan
untuk berkembang sesuai dengan bakat dan keahliannya dan cita-citanya.
·
Dalam
kamus politik, pengertian hak asasi manusia adalah setiap hak yang dimiliki
manusia karena kelahrannya, bukan karena diberikan oleh masyaraat atau oleh
negara.
·
Dalam
undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan
bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara , hukum, dan setia porang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat bangsa.”
2.1.1 Bentuk–bentuk Hak Asasi Manusia
Salah satu implementasi dari pergerakan dan pergeseran HAM ini
adalah beragamnya bentuk-bentuk HAM. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Bagir
Manan dalam buku Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, membagi HAM pada
beberapa kategori yaitu hak sipil, hak politik, hak ekonomi,hak sosial dan hak
budaya.
· Hak sipil terdiri dari hak diperlukan sama di depan hukum, hak
bebas dari kekerasan, hak kusus bagi kelompok masyarakat tertentu, dan hak
hidup dan kehidupan.
· Hak politik terdiri dari hak kebebasan untuk berserikat dan
berumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan,dan
hak menyampaikan pendapat di muka umum.
· Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan
kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan.
· Hak sosial budaya terdiri dari hak mendapatkan pendidikan, hak
kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman.
Sedangkan bentuk HAM dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, 1948,
terbagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu hak personal (Hak jaminan kebutuhan
pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik,
hak substensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta
hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pertama, hak personal , hak legal, hak sipil, dan politik DUHAM
pasal 3-21 terdiri dari:
1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan
pribadi;
2. Hak
bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3. Hak babas dari penyiksaan atau perlakuan
atau hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4. Hak untuk memperoleh perlakuan hukum di mana
saja secara pribadi;
5. Hak memperoleh penkuan hukum secara efektif;
6. Hak bebas dari penangkapan , penahanan atau
pembuangan yang sewenang-wenang;
7. Hak untuk peradilan yag independen dan tidak
memihak;
8. Hak
untuk praduga tak bersalah sampai tak terbukti bersalah;
9. Hak bebas dari campur tangan yang
sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun
surat – surat;
10. Hak bebas dari serangan tarhadap kehormatan
dan nama baik;
11. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan
semacam itu;
12. Hak bergerak;
13. Hak memperoleh suaka;
14. Hak atas kebangsaan;
15. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16. Hak untuk mempunyai hak milik;
17. Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan
beragama;
18. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19. Hak untuk berhimpun dan berserikat;
20. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan
dan hak aksesyang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Kedua , hak
ekonomi, sosial budaya dalam DUHAM terdiri dari:
1. Hak atas jaminan sosial;
2. Hak untuk bekerja;
3. Hak atas upah yang sama
dalam pekerjaan yang sam;.
4. Hak untuk bergabung dalam
serikat-sserikat buruh;
5. Hak untuk istirahat dan wakt
senggang;
6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidag kesehatan dan kesejahteraan;
7. Hak atas pendidikan;
8. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang
berkebudayaan dari masyarakat.
Kemudian
bentuk-bentuk ham di Indonesia tedapat dalam UUD 1945 (hasil amandemen 1-4),
yakni terdiri dari:
1. Hak kebebasan mengeluarkan pendapat;
2. Hak kedudukan yang sama di depan hukum;
3.Hak kebebasan berkumpul;
4.Hak kebebasan beragama;
5.Hak penghidupan yang layak;
6.Hak kebebasan berserikat;
7.Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
2.2
Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia di Dunia
1. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Eropa
Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia
dunia bermula dari perjanjian Magna
Charta pada tahun 1215 yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh Raja John
dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Dikarenakan Raja John yang selalu
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan para bangsawan.Tindakan
sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para
bangsawan yang akhirnya berhasil membuat Raja John untuk membuat suatu
perjanjian. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para bangsawan sebagai
imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan
perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti
hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas
corpus). Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk bangsawan, hak-hak itu
kemudian menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi
semua warga negara. Akhirnya Magna Charta pun dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang
prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih
penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka
dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara
apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam
Magna Charta menandakan kemenangan telah diraih dan piagam tersebut juga
menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi. Isi Piagam Magna
Charta adalah sebagai berikut;
1. Raja
beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan
gereja Inggris;
2.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan
yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut:
a. Para petugas keamanan dan pemungut
pajak akan menghormati hak-hak
penduduk;
b.. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang
tanpa bukti dan saksi yang sah;
c. Seseorang yang bukan budak tidak akan
ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa
alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
3. Apabila seseorang tanpa perlindungan
hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Pada abad ke-17 dan ke-18 pemikiran
mengenai hak asasi manusia maju dengn pesat. Konsep bahwa kekuasaan raja
berdasarkan wahyu ilahi (divine right of
kings atau Hak Suci Raja) yang
sejak abad ke-16 berdominasi, mulai dipertanyakan keabsahannya karena banyak
raja bertindak sewenang-wenang. Golongan menengah yang mulai bangkit ingin agar
kepatuhan masyarakat pada raja mempunyai dasar yang rasional. Yang
dicita-citakan ialah suatu hubungan anatara raja dan rakyat berdasarkan suatu kontrak, sesuai
dengan suasana perdagangan yang sedang berkembang di Eropa Barat.
Pemikiran ini tercermin dalam karangan
bebrapa filsuf Zaman Pencerahan (Enlightenment)
yang menganut aliran Liberalisme (Klasik),
seperti Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Rousseau (1712-1778). Sekalipun mereka
berbeda dalam penafsiran, semuanya membayangkan suatu masa lalu di mana manusia
hidup dalam “keadaan alam” (state of
nature). Dalam keadaan alam ini semua manusia sama martabatnya (equal), tumduk kepada Hukum Alam, dan memiliki
hak-hak alam. Akan tetapi, pada suatu saat manusia mengembangkan rasionya (akal
sehat) dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk menjamin terlaksananya hak-hak
itu, “keadaan alam” perlu ditinggalkan dan diganti dengan kehidupan bernegara
berdasarkan suatu kontrak sosial antara penguasa dan masyarakat, ini yang
kemudia dinamakan sebagai Teori Kontrak Sosial. Yang paling tegas merumuskan
hak-hak alam itu ialah John Locke, yaitu hak atas hidup , kebebasan, dan
kepemilikan (life, liberty, and property) serta pemikiran bahwa penguasa harus
memerintah dengan persetujuan rakyat (government by consent). Filsuf Prancis
Montesquieu lebih menekankan perlunya pembagian kekuasaan sebagai sarana
menjamin hak-hak itu, suatu sistem yang kemudian dikenal dengan istilah Trias
Politica. Filsuf Prancis lain, yakni Jean-Jacques Rousseau, menekankan perlunya
kebebasan bagi manusia.
Hak asasi pada tahap itu masih terbatas
pada hak di bidang politik seperti hak atas kebebasan, atas kesamaan (equality), dan hak menyatakan pendapat.Hak-hak
ini dicantumkan dalam bebrapa piagam. Di inggris hak itu diundangkan dalam
Undang-Undang Hak (Bill of Rights,1689)
yang diterima satu tahun sesudah Parlemen berhasil menusir Raja James II dan
menundang puterinya Mary beserta suaminya, William Orange, untuk menduduki
takhta kerajaan Inggris (the Glorius
Revolution of 1688). Hak-hak yang dirumuskan itu tidak boleh dilanggar oleh
raja sekalipun.
Di Prancis kita kenal Deklarasi mengenai
Hak Manusia dan Warga Negara (Declaration
des Droits de I’Homme et du Citoyen, 1789), yang dirumuskan pada awal Revolusi Prancis. Pernyataan ini mencanangkan
hak atas kebebasan , kesamaan, dan kesetiakawanan. Kongres Amerika mengesahkan
Undang-Undang Hak Asasi (Bill of Rights,
1789) yang pada tahun 1791 dimasukan salam Undang-Undang Dasar dalam bentuk
sepuluh amandemen.
2.
Hak Asasi Manusia pada
Abad ke-20 dan Awal Abad ke-21
Dalam perkembangan berikutnya terjadi
perubahan dalam pemikiran mengenai hak asasi, antara lain karena terjadinya
depresi besar (the Great Depression)
sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia. Depresi ini,
mulai di Amerika dan kemudian menjalar ke hampir seluruh dunia berdampak
luas.Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan kemiskinan.
Di Jerman depresi turut berakibat
timbulnya Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Perkembangan ini menyebabkan
banyak orang berimigrasi ke Amerika dan negara-negara demokrasi lainnya. Jutaan
orang Yahudi yang tidak sempat meninggalkan Jerman ditahan dan dibunuh dalam berbagai
kamp konsentrasi (Holocaust).
Dalam suasana itu Presiden Amerika
Serikat, Roosevelt pada 1941 merumuskan Empat Kebebasan (The Four Freedoms), yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat (freedom speech), kebebasan
beragama (freedom of religion),
kebebasan dari ketakutan (freedom from
fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom
from want).
Khususnya hak untuk bebas dari kemiskinan
mencerminkan perubahan dalam pemikiran beberapa kalangan. Mereka berpendapat
bahwa hak politik sendiri tidak cukup menciptakan kebahagiaan. Misalnya hak
menyatakan pendapat atau hak memberi suara dalam pemilihan umum sekali dalam
empat atau lima tahun tidak ada artinya bagi orang miskin, kecuali jika
disertai pemenuhan kebutuhan yang paling pokok, yaitu tempat berlindung, pangan
dan pakaian. Pada 1941 Presiden Roosevelt menjelaskan paradigma baru ini
seperti berikut: “Kami menyadari sepenuhnya fakta bahwa tidak mungkin ada
kebebasan bagi manusia tanpa keamanan serta kemandirian ekonomis. (We have to come a clear realization of the
fact that true individual freedom cannot exist without economic security and
independence).”
Kebetulan sistem ekonomi kapitalis yang
berlaku terutama sesudah Perang Dunia II, berhasil meningkatkan produksi
sehingga membawa kemakmuran bagi rakyat.Berkat berkembangnya pemikiran Loerd
Keynes (1883-1946) serta pemikiran sosialisme yang diperjuangkan oleh
partai-partai sosial-demokrat di Eropa dan parta Demokrat di Amerika Serikat
hasil produksi yang tinggi dapat dibagi secara lebih merata. Kesenjangan
anatara golongan kaya dan golongan miskin sedikit banyak diatasi.Dengan
demikian, kebanyakan negara demokrasi Barat sudah mencapai thap Negara
Kesejahteraan (Welfare State) dimana
sebagian besar kebutuhan sosial-ekonomi telah terpenuhi.
Proses terjadinya negara kesejahteraan di
negara-negara Barat telah berjalan sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya (taken for granted), tanpa secara formal
mengacu pada rumusan internasional mengenai hak asasi ekonomi. Maka dari itu,
tidak mengherankan jika banyak negara Barat terutama Amerika Serikat
berkeberatan jika hak-hak asasi manusia dibidang ekonomi terlalu ditonjolkan.
Sebaliknya, hak yang bersifat politik di negara-negara Eropa Barat merupakan
hasil perjuangan panjang melawan tirani, dan telah berhasil mewujudkan
demokrasi dan gaya hidupyang cukup tangguh. Dapat dikatakan bahwa hak politik
lebih berakar dalam tradisi masyarakat Barat ketimbang hak ekonomi.
Sementara itu di belahan Timur Eropa telah
terjadi perubahan besar yang dampaknya terasa di seluruh Eropa dan Amerika. Di
Rusia pada 1917 telah terjadi revolusi menentang kekuasaan Tsar. Dengan dipimpin
oleh Lenin (1870-1924) golongan komunis berhasil mendirikan negara baru
berdasarkan ideologi Marxisme-Leninisme atau komunisme. Revolusi ini membawa
penderitaan besar khususnya bagi kalangan atas.Terutama dibawah pimpinan
Stalin, (1879-1953) yang mengambil alih tampuk pimpinan pada 1924.Orang yang
dianggap “anti revolusioner” dibunuh atau ditawan dalam kamp konsentrasi.
Seusai Perang Dunia II Uni Soviet berhasil
menjadi saingan bagi Amerika Serikat sebagai negara adidaya, sampai pada akhir
tahun 1989 Uni Soviet runtuh sebagai nation state dan terpecah menjadi beberapa
negara. Hilang pula Uni Soviet sebagai simbol komunisme dan pendekar Dunia
Kedua. Dalam UUD 1936 hak ekonomi sangat ditonjolkan dan kemudian di forum PBB
dengan gigih diperjuangkan.Bahkan hak politik dianggap dapat mengganggu usaha
mengonsolidasi komunisme sebagai ideologi tunggal.
Dalam UUD 1936 (Pasal 125) ada empat hak
politik yang dijamin, asal “sesuai dengan kepentingan rakyat pekerja dan
memperkuat dan mengembangkan sistem sosialis”. Dengan kata lain jika suatu hak
dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunisme, maka hak itu tidak
memperoleh perlindungan. Sebagai akibatnya Uni Soviet pada masa lalu selalu
dikecam sebagai negara pelanggar yang termasuk paling besar.
3.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Seusai Perang Dunia II timbullah keinginan
untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal
bagi perilaku manusia.Usaha pertama ke arah standard setting ini dimulai oleh
Komisi Hak Asasi Manusia (Coission on
Human Rights) yang didirikan PBB pada tahun 1946.
Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia,
kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara
negara-negara Barat dan negara-negara lain, sekalipun hak politik masih lebih
dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Universal Declaration of Human
Rights, diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan negara antara lain Uni
Soviet, Arab Saudi, dan Afrika Selatan tidak memberikan suaraya atau abstain.
Sebab Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan adalah sifatnya yang
“tidak mengikat secara yuridis” sesuai usul bebrapa negara.
Deklarasi Universal dimaksud sebagai
pedoman sekaligus standar yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia. Maka
dari itu berbagai hak dan kebebasan dirumuskan secara sangat luas, seolah-olah
bebas tanpa batas. Satu-satunya pembatasa tercantum dalam pasal terakhir, yakni
No.29 bahwa: “Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan bahwa
dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya setiap orang hanya dapa
dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dalam
rangka memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat
yang demokratis.”
Sekalipun sifatnya tidak mengikat secara
yuridis namun Deklarasi Universal mempunyai pengaruh moral, politik, dan
edukatif yang tiada taranya.Sebagai lambang “komitmen moral” dunia
internasional pada perlindungan hak asasi manusia Deklarasi menjadi acuan di
banyak negara dalam undang-undang dasar, undang-undang, serta putusan-putusan
hakim.
4. Dua Kovenan
Internasional
Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak
Asasi PBB adalah menyusun “sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi
belaka, dalam bentuk perjanjain.” Ditentukan pula bahwa setiap hak akan
dijabarkan, dan prosedur serta aparatur pelaksanaandan pengawasan dirumuskan
secara rinci. Juga diputuskan untuk menyusun dua perjanjian yakni, yang pertama
mencakup hak politik dan sipil, dan yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial,
dan budaya.
Ternyata masih diperlukan delapan belas
tahun (dari 1948 sampai 1966), untuk mencapai consensus agar siding umum PBB
menerima balik Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik, serta tentang pengaduan perorangan.
Selain itu, diperlukan sepuluh tahun lagi
(dari 1966 sampai 1976) sebelum dua Kovenan PBB beserta Optional Protocol
dinyatakan berlaku, sesudah diratifikasi oleh 35 negara. Jadi, proses mulai
dari Deklarasi memerlukan seluruhnya waktu dua puluh tahun (1948-1976).
Kemudian pada tahun 1989 Optional Protocol II (bertujuan penghpusan hukuman
mati) diterima oleh Sidang Umum PBB (1989). Nakskah-naskah Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, dua Kovenan serta dua Optional Protocol dianggap sebagai
satu kesatuan, yang dinamakan Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia.
5. Deklarasi HAM Disahkan
PBB
Pada tanggal 10 Desember 1948 Deklrasi Hak
Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum PBB. Ide tentang hak asasi manusia
yang berlaku saat ini berakar sejak era Perang Dunia II. Pembunuhan dan
kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II mengunggah suatu kebulatan
tekad untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan
kritis internasuinal serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan
mediasi.Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah
memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak
asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan
kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran
terhadap hak-hak manusia. PBB kemudian menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia
untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini diumumkan sebagai “suatu standar
pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara”. Namun dalam
pelaksanaannya HAM malah dijadikan alat bagi negara-negara barat untuk menekan
negara-negara independen dunia di bidang politik dan ekonomi dalam rangka
memperluas pengaruh imprealisme mereka.Kini banyak negara-negara yang
menyuarakan agar diadakan perubahan isi Deklarasi HAM yang tidak sesuai dengan
keyakinan, kebudayaan, dan adat istiadat mereka, demi mencegah penggunaan HAM
untuk menekan mereka.
2.3 Perkembangan Pemikiran Hak Asasi
Manusia di Indonesia
1. Masa Demokrasi
Parlementer
Seperti juga di negara-negara berkembang
lain, hak asasi menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Diskusi dilakukan
menjelang dirumuskannya Undang-Undang Dasar 1945, 1949, 1950, pada sidang
Konstituante (1956-1959), pada masa awal penegakan Orde Baru menjelang siding
MPRS 1968, dan pada masa Reformasi (sejak 1998).
Hak asasi yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi
tersebar dalam beberapa pasal, terutama 27-31, dan mencakup baik bidang politik
maupun ekonomi, sosial dan budaya., dalam jumlah terbatas dan dirumuskan secara
singkat. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa naskah ini disusun pada
akhir masa pendudukan Jepangdalam suasana mendesak. Perlu juga dicatat bahwa pada
saat Undang-Undang Dasara 1945 dirumuskan,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum ada, dan dengan demikian
tidak dapat dijadikan rujukan.
Ternyata bahwa pada waktu rancangan naskah
UUD dibicarakan, ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara
demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan
individualisme dan liberalisme, dank arena itu bertentangan dengan asas
kekeluargaan dan gotong royong. Mengenai hal ini, Ir.Soekarno menyatakan
sebagai berikut :”Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita
kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong, dan
keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap
pikiran, tiap paham individualisme dan liberalism daripadanya.”
Di pihak lain, Drs. Moh. Hatta mengatakan
bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan
beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machtsstaat).Karena terdesak waktu,
tercapai kompromi bahwa hak asasi dimasukan dalam UUD 1945 tetapi dalm jumah
yang terbatas.
Sementara itu dalam masyarakat cukup
banyak kalangan yang berpandapat bahwa hak asasi tidak merupakan gagasan
liberal belaka, sebab dalam menyusun dua undang-undang dasar berikutnya, yaitu
1949 dan 1950, ternyata hak asasi ditambah dan diperlengkap. Undang-Undang
Dasar 1949 merupakan undang-undang dasar yang paling lengkap perumusannya
disbanding dengan dua undang-undang dasar lain. Dalam hubungan ini perlu
disebut pendapat Mohammad Yamin dalam buku Proklamasi
dan Konstitusi Republik Indonesia, bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD RI
1950 adalah dua dari beberapa konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak
asasi seperti keputusan United Nations
Organization (UNO atau PBB) itu ke dalam Piagam Konstitusi.
Sekalipun jumlahnya terbatas dan
perumusannya pendek, kita boleh bangga bahwa di antara hak yang disebut UUD
1945 terdapat hak yang bahkan belum disebut dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948) yaitu hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib
sendiri. Di samping itu, antara lain juga disebut hak ekonomi seperti hak atas
penghidupan yang layak (Pasal 27), hak sosial/budaya seperti ha katas
pengajaran (Pasal 31). Akan tetapi hak politik seperti kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).Jadi, hak asasi itu
dibatasi oleh undang-undang.
Masalah hak asasi di masa perjuangan kemerdekaan
dan awal Demokrasi Parlementer tidak banyak didiskusikan. Memang ada beberapa
konflik bersenjata, seperti Darul Islam, PRRI/Permesta yang penelesainnya tentu
saja membawa korban pelanggaran hak asasi, tetapi kehidupan masyarakat sipil
pada umumnya dianggap cukup demokratis, malahan sering dianggap terlalu
demokratis. Keadaan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno
(1959) untuk kembali ke UUD 1945.Maka mulailah masa Demokrasi Terpimpin.
2.
Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945
dengan sendirinya hak asasi kembali terbatas jumlahnya.Di bawah Presiden
Soekarno beberapa hak asasi, seperti hak mengeuarkan pendapat, secara
berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar dibreidel, seperti Pedoman, Indobesia Raya dan beberapa
partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI dan pemimpinnya, Moh. Natsir dan
Syahrir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali
diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro Perancang
Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1961 dan
melaksanakannya selama satu tahun, dibubarkan.Rencana itu diganti dengan
Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah dilaksanakan.Perekonomian Indonesia
mencapai titik rendah.Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti
dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.
3. Masa Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada
kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945.
Di Indonesia, Demokrasi Pancasila berlaku semenjak Orde Baru. Demokrasi pancasila dijiwai, disemangati dan didasari nilai-nilai pancasila.
Di Indonesia, Demokrasi Pancasila berlaku semenjak Orde Baru. Demokrasi pancasila dijiwai, disemangati dan didasari nilai-nilai pancasila.
· Dasar Demokrasi Pancasila:
Kedaulatan Rakyat (Pembukaan UUD ‘45) Negara
yang berkedaulatan - Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
· Makna Demokrasi Pancasila: Keikutsertaan
rakyat kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara ditentukan peraturan
dalam Demokrasi Pancasila, rakyat adalah subjek demokrasi, yaitu rakyat sebagai keseluruhan berhak ikut serta aktif “menentukan” keinginan-keinginan dan juga sebagai pelaksana dari keinginan-keinginan itu. Keinginan rakyat tersebut disalurkan melalui lembaga-lembaga perwakilan yang ada yang dibentuk melalui Pemilihan Umum.
dalam Demokrasi Pancasila, rakyat adalah subjek demokrasi, yaitu rakyat sebagai keseluruhan berhak ikut serta aktif “menentukan” keinginan-keinginan dan juga sebagai pelaksana dari keinginan-keinginan itu. Keinginan rakyat tersebut disalurkan melalui lembaga-lembaga perwakilan yang ada yang dibentuk melalui Pemilihan Umum.
Prinsip pokok
Demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan
berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan: Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat), Pemerintah berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak
terbatas), Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR;
2. Peradilan
yang merdeka, berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain;
3. Adanya
partai politik dan organisasi sosial politik, karena berfungsi untuk
menyalurkan aspirasi rakyat;
4. Pelaksanaan
Pemilihan Umum; Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945);
5. Pelaksanaan
kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri,
masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
6. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita
nasional.
Pada awal Orde baru ada harapan besar
bahwa akan dimulai sutau proses demokratisasi. Akan tetapi eupharia demokrasi tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa
tahun golongan militer berangsur- angsur mengambil alih pimpinan.
Pada awalnya
diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu
panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun
“Rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban Warga
Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968.
Rancangan
Piagam MPRS, di samping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci
kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa sidang yang
telah ditetapkan sebelumnya sudah berakhir. Dengan demikian, perumusan dan
pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami
perubahan.
Ada usaha untuk
menyusun suatu eksekutif yang kuat dan menyelenggara stabilitas di seluruh
masyarakat. Untuk menunjang usaha itu pemerintah Orde baru mencoba menggali kembali
beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek monyang yang cenderung membentuk
kepemimpinan yang kuat sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di
masa penyusunan UUD 1945 dan dimuat dalam tulisan tulisan Prof. Supomo yang
tercantum dalam buku Moh, yamin, naskah
persiapam UUD 1945 . Akan tetapi, usaha mewujudkan stabilitas politik untuk
menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan
mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Banyak kasus kekerasan
terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984) dan Peristiwa
Trisakti.Akhirnya presiden soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan
mei tahun 1998, dan masa reformasi dimulai.
Menjelang akhir
masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan masyarakat terutama civil
society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas,
yang memang diperlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak
menghambat proses demokratisasi.
Salah satu
masalah ialah tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat
mengenai konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Misalnya, jika
sejumlah penduduk digusu untuk mendirikan fasilitas seperti rumah sakit masyarakat tidak akan
mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan sawahnya untuk
didirikan tempat rekreasi, mengenai “kepentingan umum” dapat bertolak belakang
dn bersifat melanggar hak asasi.
Bagaimanapun
juga, tidak dapat disangkal bahwa citra indonesia di luar negeri sangat rendah,
baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang merajarela,
sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi manusia di
indonesia menjadi masalah besar.
4. Masa Reformasi
Pemerintahan Habibie (Mei 1998-Oktober 1998) pada awal masa
reformasi mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM)
1998-2003, yang sayangnya sampai sekarang belum banyak dilaksanakan.
Dalam masa reformasi pula indonesia meratifikasi dua konvensi hak
asasi manusia yang penting yauitu konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan
atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan, dan konvensi internasional penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial.
Tahun-tahun pertama reformasi diitandai oleh konflik horisontal,
antara lain di Ambon, Poso,Kkalimantan, di mana pelanggaran hak asasi di
lakukan oleh kelompok-kelompok
masyarakat sendiri. Aparat
penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia menangani berbagai
sengketa ini.
Akan tetapi dalam masa reformasi pemenuhan hak asasi ekonomi telah
mengalami kemunduran tajam. Sekalipun banyak faktor internasional mempengaruhi
ekonomi Indonesia, akan tetapi tidak sedikit
faktor internal yang menyebabkannya. Faktor eksternal adalah kemorosotan
ekonomi di seluruh dunia, dan reaksi dunia atas peristiwa bom Bali dan gerakan
antiterorisme. Faktor internal menyangkut kegagalan pemberantasan korupsi,
manajemen sistem bank dan penganturan berbagai aspek kehidupan ekonomi lainnya.
2.4 Hak Asasi Manusia dalam Perundang-undangan Nasional
Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam
perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan
perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum
tertulis yang memuat aturan HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-Undang
Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam
Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan,
seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
Menurut Dede Rosyada, dkk., kelebihan pengaturan HAM dalam
konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perunahan dan atau
penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di
Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui
amandemen dan referendum. Kelemahannya adalah yang diatur dalam konstitusi
masih hanya aturan yang masih bersifat global. Sementara itu, pengaturan HAM
melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sanksi hukum bagi
pelanggarnya. Adapun pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaanya, kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
1. Pengaturan HAM dalam
konstitusi. Pengaturan HAM dalam konstitusi negara RI selain pada hasil
amandemen kedua Undang-Undang tahun 1945, juga ditemukan dalam beberapa
konstitusi yang berlaku, yaitu UUD 1945 (termasuk dalam amandemen I-IV),
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan UUDS 1950. Dalam KRIS, HAM
menjadi bab khusus, yaitu Bab tentang HAM dan ditempatkan pada bab awal mulai
pasal 7 sampai pasal 33. Adapun dalam UUDS 1950 , pengaturan HAM tidak jauh
berbeda dengan yang diatur dalam KRIS. Perbedaan antara KRIS dengan UUDS 1950
terletak pada penomoran pasal dan perubahan sedikit redaksional dalam
pasal-pasal. Selain itu, adanya penambahan pasal dalam UUDS 1950 yang
signifikan, yaitu tentang fungsi sosial hak milik, hak tiap warga negara untuk
mendapat pengajaran, hak demonstrasi dan mogok.
2. Pengaturan HAM dalam
ketetapan MRP (TAP MPR). Pengaturan HAM dalam ketetapan MPR, dapat dilihat
dalam TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa
Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.
3. Pengaturan HAM dalam
Undang-Undang. Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam Undang-undang yang
pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:
a. UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
b. UU No. 9 tahun 1998
tentang Kebebasan menyatakan Pendapat;
c. UU No. 19 tahun 1999
tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Pekerja secara
Paksa;
d. UU No. 29 tahun 1999
tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimansi;
e. UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia;
f. UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers;
g. UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
4. Pengaturan HAM dalam Peraturan Pemerintah
dan Keputusan Presiden. Ketentuan yang
terdapat dalam peraturan pemerintah, antara lain adalah:
a. Keputusan
Presiden (KEPRES) No. 181 tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan
Kekerasan terhadap Wanita;
b. Keputusan
Presiden No. 131 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
pada Pengadilan Negeri Jakarta, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan
Negeri Makasar;.
Begitu juga, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah, antara lain:
1. PP
494/1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan;
2. PP
8/1981 tentang Perlindungan Upah;
Keseluruhan ketentuan
perundang-undangan tersebut merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya,
yaitu tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour).
Pada tahap ini diupayakan tumbuh kesadaran penghormatan dan penegakan HAM, baik
di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat, karena HAM merupakan kebutuhan
dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati, dan dilindungi oleh setiap
manusia. Penataan aturan secara konsisten memerlukan persyaratan yang harus
ada. Persyaratan pertama, demokrasi dan supremasi hukum; kedua, HAM sebagai tatanan sosial. Menurut Prof.
Bagir Manan, demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas
hukum merupakan instrumen, bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan
penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan antara HAM, demokrasi, dan negara
harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang “simbiosis mutualistik”.
Selanjutnya, HAM sebagai tatanan
sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam
tatanan sosial, politik, ekonomi yang hidup. Dalam kerangka menjadikan HAM
sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM secara kurikuler ataupun melalui
pendidikan kewargaan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan
secara berkesinambungan.
2.5 Bentuk Kasus Pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Indonesia
Menurut UU
No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang dinamakan pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparatur negara baik
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Bentuk kasus
pelanggaran HAM dkategorikani menjadi dua, yaitu kasus pelanggaran HAM yang
bersifat berat dan kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan.
Pelanggaran
HAM berat, yaitu pelanggaran HAM yang mengancam nyawa manusia, di antaranya
adalah:
1. Pembunuhan genosida. Pembunuhan genosida adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan
cara melakukan tindakan kekerasan (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM);
2. Kejahatan kemanusiaan. Kejahatan
kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk
secara paksa, pembunuhan, penyiksaan, perbudakan dll
Sedangkan
pelanggaran HAM ringan, yaitu pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia,
di antaranya adalah;
1. Pencemaran nama baik;
2. Menghalangi orang untuk mengekspresikan
pendapatnya;
3. Pemukulan.
2.5.1 Kasus Pembunuhan terhadap Aktivis HAM Munir
Munir Said Thalib adalah seorang aktifis HAM yang pernah menangani
kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, tanggal 8 Desember 1965.
Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia
ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda untuk menempuh
program studi S2 jurusan Hukum. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang
mengabarkan bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung
bahkan diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena
diracuni dengan Arsenik di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus
ini sampai sekarang masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah
diajukan ke Amnesty Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005,
Pollycarpus Budihari Priyanto selaku pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 20
tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus
pembunuhan Munir, karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir dan
akhirnya meninggal di pesawat.
2.5.2 Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah
satu kasus penembakan kepada para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi oleh
para anggota polisi dan militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas
Trisakti sedang melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis
Finansial Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan
puluhan mahasiswa mengalami luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan
meninggal karena ditembak dengan menggunakan peluru tajam oleh anggota polisi
dan militer.
2.5.3
Peristiwa G30S PKI
Seperti yang banyak diceritakan pada pelajaran
sejarah, peristiwa G30S PKI adalah
peristiwa di mana beberapa jenderal dan perwira TNI menjadi sasaran penculikan
dan pembunuhan secara sadis pada malam 30 September sampai 1 Oktober tahun 1965. Dalam catatan
sejarah, pelaku dari peristiwa G30S PKI adalah para anggota PKI (Partai Komunis
Indonesia).
Ketika itu para jenderal dan perwira TNI dibunuh dan
disiksa secara sadis, kecuali Jenderal A.H. Nasution saja yang berhasil
meloloskan diri, tetapi yang menjadi korban adalah seorang anak yang tak lain
adalah putrinya sendiri. Nama anak A.H Nasution yang tertembak saat peristiwa
G30S PKI adalah Ade Irma Suryani nasution, termasuk sang ajudan bernama Lettu
Pierre Tandean.
BAB III
PENUTUP
3.1 Penutup
· Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak
lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
· Perkembangan
pemikiran Hak Asasi Manusia di dunia bermula dari perjanjian Magna Charta pada tahun 1215 antara
Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Bermula dari hal itu, pemikiran
mengenai HAM pun mengalami perkembangan yang pesat hingga akhirnya disahkan oleh
PBB.
· Perkembangan
pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini mengalami pasang surut, hingga
akhirnya era reformasi berusaha lebih memajukan HAM.
· Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam
perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan
perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum
tertulis yang memuat HAM. Pertama, konstitusi (Undang-Undang Dasar
Negara). Kedua, ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, Undang-Undang. Keempat,
dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
· Bentuk kasus pelanggaran HAM dikategorikan menjadi dua. Pertama,
pelanggaran HAM berat. Kedua, pelanggaran HAM ringan.
3.2 Saran
Sebagai makhluk
sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di
samping itu, kita harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamid, Abdul dkk. 2012. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung:
Pustaka Setia.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: Alumni.
Rosyada, Dede. dkk. 2003 Pendidikan Kewargaan (Civic
Education); Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta:
Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Halaman Web
Tidak ada komentar:
Posting Komentar