Minggu, 16 April 2017

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA



HAK ASASI MANUSIA

Oleh:

M. SYAIFUDDIN

(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi manusia merupakan sebuah bentuk anugerah yang diberikan oleh Tuhan sebagai suatu karunia yang fundamental dalam hidup manusia. Hak asasi manusia yang paling fundamental ada dua macam, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak mendasar inilah, lahir hak- hak asasi lainnya. Persamaan derajat antarmanusia merupakan titik tolak semua hak yang ada di muka bumi yang merupakan milik mutlak manusia. Manusia dipandang sama di hadapan Tuhan dan sesama manusia lainnya. Oleh karena itu, semua bentuk pandangan, pemikiran, aliran, agama, dan lainnya, yang mempersoalkan perbedaan etnis, kebudayaan, ras, agama, dinyatakan melanggar hak asasi manusia.Sejak awal Tuhan menciptakan manusia dengan beragam perbedaan suku bangsa dan kebudayaannya.
 Seperti diketahui masalah hak asasi manusia serta perlindungan   terhadapnya merupakan bagian penting dari demokrasi. Dengan meluasnya konsep dalam teks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua masalah belahan dunia. Sebenarnya sudah dari zaman dahulu masalah hak dikenal di banyak kawasan dunia, tetapi yang paling banyak sumber tertulisnya ialah negara-negara Barat.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Hak Asasi Manusia.


 1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Hak Asasi Manusia.
1. Apa pengertian HAM?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran HAM di dunia?
3. Bagaimana perkembangan pemikiran HAM di Indonesia?
4. Bagaimana HAM dalam perundang-undangan nasional?
5. Bagaimana bentuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui pengertian HAM;
2. Untuk Mengetahui perkembangan pemikiran HAM di dunia;
3. Untuk Mengetahui perkembangan pemikiran HAM di Indonesia;
4. Untuk Mengetahui HAM dalam perundang-undangan nasional;
5. Untuk Mengetahui bentuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
Dari sisi dinamika pergantian istilah, juga dari sisi pengertian, “Human Right” atau hak asasi manusia dalam perkembangannya mengalami dinamika dan keragaman definisi. Seperti pendapat beberapa ahli sebagai berikut.
·         Jan Materson (komisi HAM PBB) mendefenisikan HAM sebagai hak-hak  yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup.
·         Miriam Budiarjo dalam buku dasar-dasar ilmu politik menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dasar dari hak asasi manusia itu adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan keahliannya dan cita-citanya.
·         Dalam kamus politik, pengertian hak asasi manusia adalah setiap hak yang dimiliki manusia karena kelahrannya, bukan karena diberikan oleh masyaraat atau oleh negara.
·         Dalam undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia  sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara , hukum, dan setia porang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat bangsa.”
2.1.1 Bentuk–bentuk Hak Asasi Manusia
Salah satu implementasi dari pergerakan dan pergeseran HAM ini adalah beragamnya bentuk-bentuk HAM. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Bagir Manan dalam buku  Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, membagi HAM pada beberapa kategori yaitu hak sipil, hak politik, hak ekonomi,hak sosial dan hak budaya.
·   Hak sipil terdiri dari hak diperlukan sama di depan hukum, hak bebas dari kekerasan, hak kusus bagi kelompok masyarakat tertentu, dan hak hidup dan kehidupan.
·   Hak politik terdiri dari hak kebebasan untuk berserikat dan berumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan,dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.
·   Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan.
·   Hak sosial budaya terdiri dari hak mendapatkan pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman.
Sedangkan bentuk HAM dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, 1948, terbagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu hak personal (Hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak substensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pertama, hak personal , hak legal, hak sipil, dan politik DUHAM pasal 3-21 terdiri dari:
1.   Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2.   Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3.   Hak babas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam,   tak berprikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4.   Hak untuk memperoleh perlakuan hukum di mana saja secara pribadi;
5.   Hak memperoleh penkuan hukum secara efektif;
6.   Hak bebas dari penangkapan , penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang;
7.   Hak untuk peradilan yag independen dan tidak memihak;
8.   Hak untuk praduga tak bersalah sampai tak terbukti bersalah;
9.   Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat – surat;
10.  Hak bebas dari serangan tarhadap kehormatan dan nama baik;
11.  Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
12.  Hak bergerak;
13.  Hak memperoleh suaka;
14.  Hak atas kebangsaan;
15.  Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16.  Hak untuk mempunyai hak milik;
17.  Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama;
18.  Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19.  Hak untuk berhimpun dan berserikat;
20.  Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak aksesyang sama terhadap pelayanan masyarakat.

Kedua , hak ekonomi, sosial budaya dalam DUHAM terdiri dari:
1.  Hak atas jaminan sosial;
2.  Hak untuk bekerja;
3.  Hak atas upah yang sama dalam pekerjaan yang sam;.
4.  Hak untuk bergabung dalam serikat-sserikat buruh;
5.  Hak untuk istirahat dan wakt senggang;
6.  Hak atas standar hidup yang  pantas di bidag kesehatan dan kesejahteraan;
7.  Hak atas pendidikan;
8.  Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Kemudian bentuk-bentuk ham di Indonesia tedapat dalam UUD 1945 (hasil amandemen 1-4), yakni terdiri dari:
1. Hak kebebasan mengeluarkan pendapat;
2. Hak kedudukan yang sama di depan hukum;
3.Hak kebebasan berkumpul;
4.Hak kebebasan beragama;
5.Hak penghidupan yang layak;
6.Hak kebebasan berserikat;
7.Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
2.2 Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia di Dunia
      1. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Eropa
Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia dunia bermula dari perjanjian Magna Charta pada tahun 1215 yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Dikarenakan Raja John yang selalu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan para bangsawan.Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil membuat Raja John untuk membuat suatu perjanjian. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas corpus). Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi semua warga negara. Akhirnya Magna Charta pun dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta menandakan kemenangan telah diraih dan piagam tersebut juga menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi. Isi Piagam Magna Charta adalah sebagai berikut;
1.  Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan gereja Inggris;
2. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut:
a. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati      hak-hak penduduk;
b..  Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah;
c. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
3. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Pada abad ke-17 dan ke-18 pemikiran mengenai hak asasi manusia maju dengn pesat. Konsep bahwa kekuasaan raja berdasarkan wahyu ilahi (divine right of kings atau Hak Suci Raja) yang sejak abad ke-16 berdominasi, mulai dipertanyakan keabsahannya karena banyak raja bertindak sewenang-wenang. Golongan menengah yang mulai bangkit ingin agar kepatuhan masyarakat pada raja mempunyai dasar yang rasional. Yang dicita-citakan ialah suatu hubungan anatara raja  dan rakyat berdasarkan suatu kontrak, sesuai dengan suasana perdagangan yang sedang berkembang di Eropa Barat.
Pemikiran ini tercermin dalam karangan bebrapa filsuf Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang menganut aliran Liberalisme (Klasik), seperti Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Rousseau (1712-1778). Sekalipun mereka berbeda dalam penafsiran, semuanya membayangkan suatu masa lalu di mana manusia hidup dalam “keadaan alam” (state of nature). Dalam keadaan alam ini semua manusia sama martabatnya (equal), tumduk kepada Hukum Alam, dan memiliki hak-hak alam. Akan tetapi, pada suatu saat manusia mengembangkan rasionya (akal sehat) dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk menjamin terlaksananya hak-hak itu, “keadaan alam” perlu ditinggalkan dan diganti dengan kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontrak sosial antara penguasa dan masyarakat, ini yang kemudia dinamakan sebagai Teori Kontrak Sosial. Yang paling tegas merumuskan hak-hak alam itu ialah John Locke, yaitu hak atas hidup , kebebasan, dan kepemilikan  (life, liberty, and property) serta pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat (government by consent). Filsuf Prancis Montesquieu lebih menekankan perlunya pembagian kekuasaan sebagai sarana menjamin hak-hak itu, suatu sistem yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politica. Filsuf Prancis lain, yakni Jean-Jacques Rousseau, menekankan perlunya kebebasan bagi manusia.
Hak asasi pada tahap itu masih terbatas pada hak di bidang politik seperti hak atas kebebasan, atas kesamaan (equality), dan hak menyatakan pendapat.Hak-hak ini dicantumkan dalam bebrapa piagam. Di inggris hak itu diundangkan dalam Undang-Undang Hak (Bill of Rights,1689) yang diterima satu tahun sesudah Parlemen berhasil menusir Raja James II dan menundang puterinya Mary beserta suaminya, William Orange, untuk menduduki takhta kerajaan Inggris (the Glorius Revolution of 1688). Hak-hak yang dirumuskan itu tidak boleh dilanggar oleh raja sekalipun.
Di Prancis kita kenal Deklarasi mengenai Hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen, 1789), yang dirumuskan pada awal  Revolusi Prancis. Pernyataan ini mencanangkan hak atas kebebasan , kesamaan, dan kesetiakawanan. Kongres Amerika mengesahkan Undang-Undang Hak Asasi (Bill of Rights, 1789) yang pada tahun 1791 dimasukan salam Undang-Undang Dasar dalam bentuk sepuluh amandemen.
2. Hak Asasi Manusia pada Abad ke-20 dan Awal Abad ke-21
Dalam perkembangan berikutnya terjadi perubahan dalam pemikiran mengenai hak asasi, antara lain karena terjadinya depresi besar (the Great Depression) sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia. Depresi ini, mulai di Amerika dan kemudian menjalar ke hampir seluruh dunia berdampak luas.Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan kemiskinan.
Di Jerman depresi turut berakibat timbulnya Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Perkembangan ini menyebabkan banyak orang berimigrasi ke Amerika dan negara-negara demokrasi lainnya. Jutaan orang Yahudi yang tidak sempat meninggalkan Jerman ditahan dan dibunuh dalam berbagai kamp konsentrasi (Holocaust).
Dalam suasana itu Presiden Amerika Serikat, Roosevelt pada 1941 merumuskan Empat Kebebasan (The Four Freedoms), yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).
Khususnya hak untuk bebas dari kemiskinan mencerminkan perubahan dalam pemikiran beberapa kalangan. Mereka berpendapat bahwa hak politik sendiri tidak cukup menciptakan kebahagiaan. Misalnya hak menyatakan pendapat atau hak memberi suara dalam pemilihan umum sekali dalam empat atau lima tahun tidak ada artinya bagi orang miskin, kecuali jika disertai pemenuhan kebutuhan yang paling pokok, yaitu tempat berlindung, pangan dan pakaian. Pada 1941 Presiden Roosevelt menjelaskan paradigma baru ini seperti berikut: “Kami menyadari sepenuhnya fakta bahwa tidak mungkin ada kebebasan bagi manusia tanpa keamanan serta kemandirian ekonomis. (We have to come a clear realization of the fact that true individual freedom cannot exist without economic security and independence).”
Kebetulan sistem ekonomi kapitalis yang berlaku terutama sesudah Perang Dunia II, berhasil meningkatkan produksi sehingga membawa kemakmuran bagi rakyat.Berkat berkembangnya pemikiran Loerd Keynes (1883-1946) serta pemikiran sosialisme yang diperjuangkan oleh partai-partai sosial-demokrat di Eropa dan parta Demokrat di Amerika Serikat hasil produksi yang tinggi dapat dibagi secara lebih merata. Kesenjangan anatara golongan kaya dan golongan miskin sedikit banyak diatasi.Dengan demikian, kebanyakan negara demokrasi Barat sudah mencapai thap Negara Kesejahteraan (Welfare State) dimana sebagian besar kebutuhan sosial-ekonomi telah terpenuhi.
Proses terjadinya negara kesejahteraan di negara-negara Barat telah berjalan sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya (taken for granted), tanpa secara formal mengacu pada rumusan internasional mengenai hak asasi ekonomi. Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak negara Barat terutama Amerika Serikat berkeberatan jika hak-hak asasi manusia dibidang ekonomi terlalu ditonjolkan. Sebaliknya, hak yang bersifat politik di negara-negara Eropa Barat merupakan hasil perjuangan panjang melawan tirani, dan telah berhasil mewujudkan demokrasi dan gaya hidupyang cukup tangguh. Dapat dikatakan bahwa hak politik lebih berakar dalam tradisi masyarakat Barat ketimbang hak ekonomi.
Sementara itu di belahan Timur Eropa telah terjadi perubahan besar yang dampaknya terasa di seluruh Eropa dan Amerika. Di Rusia pada 1917 telah terjadi revolusi menentang kekuasaan Tsar. Dengan dipimpin oleh Lenin (1870-1924) golongan komunis berhasil mendirikan negara baru berdasarkan ideologi Marxisme-Leninisme atau komunisme. Revolusi ini membawa penderitaan besar khususnya bagi kalangan atas.Terutama dibawah pimpinan Stalin, (1879-1953) yang mengambil alih tampuk pimpinan pada 1924.Orang yang dianggap “anti revolusioner” dibunuh atau ditawan dalam kamp konsentrasi.
Seusai Perang Dunia II Uni Soviet berhasil menjadi saingan bagi Amerika Serikat sebagai negara adidaya, sampai pada akhir tahun 1989 Uni Soviet runtuh sebagai nation state dan terpecah menjadi beberapa negara. Hilang pula Uni Soviet sebagai simbol komunisme dan pendekar Dunia Kedua. Dalam UUD 1936 hak ekonomi sangat ditonjolkan dan kemudian di forum PBB dengan gigih diperjuangkan.Bahkan hak politik dianggap dapat mengganggu usaha mengonsolidasi komunisme sebagai ideologi tunggal.
Dalam UUD 1936 (Pasal 125) ada empat hak politik yang dijamin, asal “sesuai dengan kepentingan rakyat pekerja dan memperkuat dan mengembangkan sistem sosialis”. Dengan kata lain jika suatu hak dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunisme, maka hak itu tidak memperoleh perlindungan. Sebagai akibatnya Uni Soviet pada masa lalu selalu dikecam sebagai negara pelanggar yang termasuk paling besar.
3. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Seusai Perang Dunia II timbullah keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia.Usaha pertama ke arah standard setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Coission on Human Rights) yang didirikan PBB pada tahun 1946.
Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara lain, sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Universal Declaration of Human Rights, diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan negara antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dan Afrika Selatan tidak memberikan suaraya atau abstain. Sebab Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan adalah sifatnya yang “tidak mengikat secara yuridis” sesuai usul bebrapa negara.
Deklarasi Universal dimaksud sebagai pedoman sekaligus standar yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia. Maka dari itu berbagai hak dan kebebasan dirumuskan secara sangat luas, seolah-olah bebas tanpa batas. Satu-satunya pembatasa tercantum dalam pasal terakhir, yakni No.29 bahwa: “Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan bahwa dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya setiap orang hanya dapa dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas, kesusilaan, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.”
Sekalipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis namun Deklarasi Universal mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya.Sebagai lambang “komitmen moral” dunia internasional pada perlindungan hak asasi manusia Deklarasi menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang dasar, undang-undang, serta putusan-putusan hakim.
4. Dua Kovenan Internasional
Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah menyusun “sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka, dalam bentuk perjanjain.” Ditentukan pula bahwa setiap hak akan dijabarkan, dan prosedur serta aparatur pelaksanaandan pengawasan dirumuskan secara rinci. Juga diputuskan untuk menyusun dua perjanjian yakni, yang pertama mencakup hak politik dan sipil, dan yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Ternyata masih diperlukan delapan belas tahun (dari 1948 sampai 1966), untuk mencapai consensus agar siding umum PBB menerima balik Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta tentang pengaduan perorangan.
Selain itu, diperlukan sepuluh tahun lagi (dari 1966 sampai 1976) sebelum dua Kovenan PBB beserta Optional Protocol dinyatakan berlaku, sesudah diratifikasi oleh 35 negara. Jadi, proses mulai dari Deklarasi memerlukan seluruhnya waktu dua puluh tahun (1948-1976). Kemudian pada tahun 1989 Optional Protocol II (bertujuan penghpusan hukuman mati) diterima oleh Sidang Umum PBB (1989). Nakskah-naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dua Kovenan serta dua Optional Protocol dianggap sebagai satu kesatuan, yang dinamakan Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia.
5. Deklarasi HAM Disahkan PBB
Pada tanggal 10 Desember 1948 Deklrasi Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum PBB. Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini berakar sejak era Perang Dunia II. Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II mengunggah suatu kebulatan tekad untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan kritis internasuinal serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi.Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. PBB kemudian menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini diumumkan sebagai “suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara”. Namun dalam pelaksanaannya HAM malah dijadikan alat bagi negara-negara barat untuk menekan negara-negara independen dunia di bidang politik dan ekonomi dalam rangka memperluas pengaruh imprealisme mereka.Kini banyak negara-negara yang menyuarakan agar diadakan perubahan isi Deklarasi HAM yang tidak sesuai dengan keyakinan, kebudayaan, dan adat istiadat mereka, demi mencegah penggunaan HAM untuk menekan mereka.
2.3 Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia
1. Masa Demokrasi Parlementer
Seperti juga di negara-negara berkembang lain, hak asasi menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Diskusi dilakukan menjelang dirumuskannya Undang-Undang Dasar 1945, 1949, 1950, pada sidang Konstituante (1956-1959), pada masa awal penegakan Orde Baru menjelang siding MPRS 1968, dan pada masa Reformasi (sejak 1998).
Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama 27-31, dan mencakup baik bidang politik maupun ekonomi, sosial dan budaya., dalam jumlah terbatas dan dirumuskan secara singkat. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa naskah ini disusun pada akhir masa pendudukan Jepangdalam suasana mendesak. Perlu juga dicatat bahwa pada saat Undang-Undang Dasara 1945 dirumuskan,  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum ada, dan dengan demikian tidak dapat dijadikan rujukan.
Ternyata bahwa pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan individualisme dan liberalisme, dank arena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong. Mengenai hal ini, Ir.Soekarno menyatakan sebagai berikut :”Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap  pikiran, tiap paham individualisme dan liberalism daripadanya.”
Di pihak lain, Drs. Moh. Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machtsstaat).Karena terdesak waktu, tercapai kompromi bahwa hak asasi dimasukan dalam UUD 1945 tetapi dalm jumah yang terbatas.
Sementara itu dalam masyarakat cukup banyak kalangan yang berpandapat bahwa hak asasi tidak merupakan gagasan liberal belaka, sebab dalam menyusun dua undang-undang dasar berikutnya, yaitu 1949 dan 1950, ternyata hak asasi ditambah dan diperlengkap. Undang-Undang Dasar 1949 merupakan undang-undang dasar yang paling lengkap perumusannya disbanding dengan dua undang-undang dasar lain. Dalam hubungan ini perlu disebut pendapat Mohammad Yamin dalam buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD RI 1950 adalah dua dari beberapa konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi seperti keputusan United Nations Organization (UNO atau PBB) itu ke dalam Piagam Konstitusi.
Sekalipun jumlahnya terbatas dan perumusannya pendek, kita boleh bangga bahwa di antara hak yang disebut UUD 1945 terdapat hak yang bahkan belum disebut dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) yaitu hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Di samping itu, antara lain juga disebut hak ekonomi seperti hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27), hak sosial/budaya seperti ha katas pengajaran (Pasal 31). Akan tetapi hak politik seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).Jadi, hak asasi itu dibatasi oleh undang-undang.
Masalah hak asasi di masa perjuangan kemerdekaan dan awal Demokrasi Parlementer tidak banyak didiskusikan. Memang ada beberapa konflik bersenjata, seperti Darul Islam, PRRI/Permesta yang penelesainnya tentu saja membawa korban pelanggaran hak asasi, tetapi kehidupan masyarakat sipil pada umumnya dianggap cukup demokratis, malahan sering dianggap terlalu demokratis. Keadaan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno (1959) untuk kembali ke UUD 1945.Maka mulailah masa Demokrasi Terpimpin.
2. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya hak asasi kembali terbatas jumlahnya.Di bawah Presiden Soekarno beberapa hak asasi, seperti hak mengeuarkan pendapat, secara berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar dibreidel, seperti Pedoman, Indobesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI dan pemimpinnya, Moh. Natsir dan Syahrir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro Perancang Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1961 dan melaksanakannya selama satu tahun, dibubarkan.Rencana itu diganti dengan Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah dilaksanakan.Perekonomian Indonesia mencapai titik rendah.Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.
3. Masa Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Di Indonesia, Demokrasi Pancasila berlaku semenjak Orde Baru. Demokrasi pancasila dijiwai, disemangati dan didasari nilai-nilai pancasila.
·    Dasar Demokrasi Pancasila: Kedaulatan Rakyat (Pembukaan UUD ‘45)  Negara yang berkedaulatan - Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. 
·    Makna Demokrasi Pancasila: Keikutsertaan rakyat kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara ditentukan peraturan
dalam Demokrasi Pancasila, rakyat adalah subjek demokrasi, yaitu rakyat sebagai keseluruhan berhak ikut serta aktif “menentukan” keinginan-keinginan dan juga sebagai pelaksana dari keinginan-keinginan itu. Keinginan rakyat tersebut disalurkan melalui lembaga-lembaga perwakilan yang ada yang dibentuk melalui Pemilihan Umum.

Prinsip pokok Demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan: Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat), Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas), Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR;
2. Peradilan yang merdeka, berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain;
3. Adanya partai politik dan organisasi sosial politik, karena berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat;
4. Pelaksanaan Pemilihan Umum; Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945);
5. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
6.  Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

     Pada awal Orde baru ada harapan besar bahwa akan dimulai sutau proses demokratisasi. Akan tetapi eupharia demokrasi tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur- angsur mengambil alih pimpinan.
Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968.
Rancangan Piagam MPRS, di samping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumnya sudah berakhir. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami perubahan.
Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat dan menyelenggara stabilitas di seluruh masyarakat. Untuk menunjang usaha itu pemerintah Orde baru mencoba menggali kembali beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek monyang yang cenderung membentuk kepemimpinan yang kuat sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 dan dimuat dalam tulisan tulisan Prof. Supomo yang tercantum dalam buku Moh, yamin, naskah persiapam UUD 1945 . Akan tetapi, usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984) dan Peristiwa Trisakti.Akhirnya presiden soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan mei tahun 1998, dan masa reformasi dimulai.
Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan masyarakat terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang diperlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.
Salah satu masalah ialah tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Misalnya, jika sejumlah penduduk digusu untuk mendirikan fasilitas  seperti rumah sakit masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, mengenai “kepentingan umum” dapat bertolak belakang dn bersifat melanggar hak asasi.
Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra indonesia di luar negeri sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang merajarela, sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi manusia di indonesia menjadi masalah besar.

4. Masa Reformasi
Pemerintahan Habibie (Mei 1998-Oktober 1998) pada awal masa reformasi mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, yang sayangnya sampai sekarang belum banyak dilaksanakan.
Dalam masa reformasi pula indonesia meratifikasi dua konvensi hak asasi manusia yang penting yauitu konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau  hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan, dan konvensi internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
Tahun-tahun pertama reformasi diitandai oleh konflik horisontal, antara lain di Ambon, Poso,Kkalimantan, di mana pelanggaran hak asasi di lakukan oleh kelompok-kelompok  masyarakat  sendiri. Aparat penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia menangani berbagai sengketa ini.
Akan tetapi dalam masa reformasi pemenuhan hak asasi ekonomi telah mengalami kemunduran tajam. Sekalipun banyak faktor internasional mempengaruhi ekonomi Indonesia, akan tetapi tidak sedikit  faktor internal yang menyebabkannya. Faktor eksternal adalah kemorosotan ekonomi di seluruh dunia, dan reaksi dunia atas peristiwa bom Bali dan gerakan antiterorisme. Faktor internal menyangkut kegagalan pemberantasan korupsi, manajemen sistem bank dan penganturan berbagai aspek kehidupan ekonomi lainnya.
2.4 Hak Asasi Manusia dalam Perundang-undangan Nasional
Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Menurut Dede Rosyada, dkk., kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perunahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum. Kelemahannya adalah yang diatur dalam konstitusi masih hanya aturan yang masih bersifat global. Sementara itu, pengaturan HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Adapun pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya, kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
1.       Pengaturan HAM dalam konstitusi. Pengaturan HAM dalam konstitusi negara RI selain pada hasil amandemen kedua Undang-Undang tahun 1945, juga ditemukan dalam beberapa konstitusi yang berlaku, yaitu UUD 1945 (termasuk dalam amandemen I-IV), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan UUDS 1950. Dalam KRIS, HAM menjadi bab khusus, yaitu Bab tentang HAM dan ditempatkan pada bab awal mulai pasal 7 sampai pasal 33. Adapun dalam UUDS 1950 , pengaturan HAM tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam KRIS. Perbedaan antara KRIS dengan UUDS 1950 terletak pada penomoran pasal dan perubahan sedikit redaksional dalam pasal-pasal. Selain itu, adanya penambahan pasal dalam UUDS 1950 yang signifikan, yaitu tentang fungsi sosial hak milik, hak tiap warga negara untuk mendapat pengajaran, hak demonstrasi dan mogok.
2.      Pengaturan HAM dalam ketetapan MRP (TAP MPR). Pengaturan HAM dalam ketetapan MPR, dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.
3.      Pengaturan HAM dalam Undang-Undang. Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam Undang-undang yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:
a.    UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
b.    UU No. 9 tahun 1998 tentang Kebebasan menyatakan Pendapat;
c.   UU No. 19 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Pekerja secara Paksa;
d.   UU No. 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimansi;
e.     UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
f.    UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers;
g.     UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4.     Pengaturan HAM dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan  Presiden. Ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah, antara lain adalah:
a.       Keputusan Presiden (KEPRES) No. 181 tahun 1998 tentang         Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita;
b.       Keputusan Presiden No. 131 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar;.
Begitu juga, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah, antara lain:
1.       PP 494/1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan;
2.       PP 8/1981 tentang Perlindungan Upah;
Keseluruhan ketentuan perundang-undangan tersebut merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya, yaitu tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap ini diupayakan tumbuh kesadaran penghormatan dan penegakan HAM, baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat, karena HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati, dan dilindungi oleh setiap manusia. Penataan aturan secara konsisten memerlukan persyaratan yang harus ada. Persyaratan pertama, demokrasi dan supremasi hukum; kedua,  HAM sebagai tatanan sosial. Menurut Prof. Bagir Manan, demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen, bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan antara HAM, demokrasi, dan negara harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang “simbiosis mutualistik”.
Selanjutnya, HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam tatanan sosial, politik, ekonomi yang hidup. Dalam kerangka menjadikan HAM sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM secara kurikuler ataupun melalui pendidikan kewargaan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan.
2.5 Bentuk Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Menurut UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang dinamakan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparatur negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Bentuk kasus pelanggaran HAM dkategorikani menjadi dua, yaitu kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat dan kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan.
Pelanggaran HAM berat, yaitu pelanggaran HAM yang mengancam nyawa manusia, di antaranya adalah:
1.       Pembunuhan genosida. Pembunuhan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM);
2.       Kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan, penyiksaan, perbudakan dll
Sedangkan pelanggaran HAM ringan, yaitu pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, di antaranya adalah;
1.      Pencemaran nama baik;
2.    Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya;
3.      Pemukulan.
2.5.1 Kasus Pembunuhan  terhadap Aktivis HAM Munir
Munir Said Thalib adalah seorang aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, tanggal 8 Desember 1965. Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda untuk menempuh program studi S2 jurusan Hukum. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenik di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto selaku pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir, karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir dan akhirnya meninggal di pesawat.

2.5.2 Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti sedang melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis Finansial Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa mengalami luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan meninggal karena ditembak dengan menggunakan peluru tajam oleh anggota polisi dan militer.
2.5.3 Peristiwa G30S PKI
Seperti yang banyak diceritakan pada pelajaran sejarah, peristiwa G30S PKI  adalah peristiwa di mana beberapa jenderal dan perwira TNI menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan secara sadis pada malam 30 September  sampai 1 Oktober tahun 1965. Dalam catatan sejarah, pelaku dari peristiwa G30S PKI adalah para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia).
Ketika itu para jenderal dan perwira TNI dibunuh dan disiksa secara sadis, kecuali Jenderal A.H. Nasution saja yang berhasil meloloskan diri, tetapi yang menjadi korban adalah seorang anak yang tak lain adalah putrinya sendiri. Nama anak A.H Nasution yang tertembak saat peristiwa G30S PKI adalah Ade Irma Suryani nasution, termasuk sang ajudan bernama Lettu Pierre Tandean.






BAB III
PENUTUP
3.1 Penutup
·      Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
·      Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia di dunia bermula dari perjanjian Magna Charta pada tahun 1215 antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Bermula dari hal itu, pemikiran mengenai HAM pun mengalami perkembangan yang pesat hingga akhirnya disahkan oleh PBB.
·      Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini mengalami pasang surut, hingga akhirnya era reformasi berusaha lebih memajukan HAM.
·      Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat HAM. Pertama, konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara). Kedua, ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
·      Bentuk kasus pelanggaran HAM dikategorikan menjadi dua. Pertama, pelanggaran HAM berat. Kedua, pelanggaran HAM ringan.

3.2 Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu, kita harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain. 

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamid, Abdul dkk. 2012. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung:  Pustaka Setia.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: Alumni.
Rosyada, Dede. dkk.  2003 Pendidikan Kewargaan (Civic Education); Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah. 

Halaman Web




Tidak ada komentar:

Posting Komentar