Minggu, 16 April 2017

MAKALAH PENGARUH SOSIAL



PENGARUH SOSIAL
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi bagaimana ia bertingkah laku dalam lingkungannya. Secara definitif, pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012). Seperti definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika seorang wanita dari kalangan keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai bahwa wanita harus segera dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah meskipun wanita tersebut sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi namun karena pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang mempengaruhi ia dalam mengambil keputusan.
Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap individu (Sarwono & Meinarno, 2012), karena hal inilah individu berusaha untuk menahan control dirinya yang tidak sesuai dengan keingininan kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap perilaku individu (Sarwono & Meinarno, 2012), Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial. Namun sayangnya, kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial tidak selalu berarti positif karena bisa saja suatu individu mengikuti normanorma yang berlaku dalam lingkungan sosial yang berprilaku negatif.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Pengaruh Sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Pengaruh Sosial.
1. Apa pengertian pengaruh sosial?
2. Bagaimana cara menerima pengaruh sosial orang lain?
3. Bagaimana bentuk-bentuk pengaruh sosial?
4. Apa pengertian situasi sosial?
5. Bagaimana klasifikasi kelompok sosial?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian pengaruh sosial;
2. Untuk mengetahui cara menerima pengaruh sosial orang lain;
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pengaruh sosial;
4. Untuk mengetahui pengertian situasi sosial;
5. Untuk mengetahui klasifikasi kelompok sosial.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengaruh Sosial
Pengaruh sosial merujuk pada perubahan sikap atau perilaku, sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain. Pengaruh sosial juga berpengaruh pada perilaku komunikasi, baik secara individual maupun komunikasi dalam kelompok.
Pengaruh sosial (social influence) adalah usaha yang dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau tingkah laku orang lain. Ada 3 aspek penting dalam pengaruh social, yaitu: konformitas (conformity), kesepakatan (compliance), dan kepatuhan (obedience)
2.2 Cara Menerima Pengaruh Orang Lain 
Mengapa kita menuruti dan terkadang menerima pengaruh orang lain? Ada dua alasan atau standar yang dikemukakan para ahli.
1. Pengaruh Normatif
Menurut teori pembandingan sosial, untuk memvalidasi atau mempertegas keyakinan sosial kita, kita merundingkan atau mengonsultasikannya dengan perilaku orang lain. Jika pengamatan kita terhadap orang lain memberi suatu pedoman dalam berperilaku (norma) kita mungkin akan terpengaruh untuk meniru tindakan tersebut. Standar atau norma sosial yang didapat dari kepercayaan kita kepada orang lain akan mengarah pada pengaruh normatif.
Contoh ketika anda hendak memutuskan kursus apa yang dipilih, mungkin anda meminta saran dari teman. Lalu, berdasarkan saran teman itulah, Anda menentukan pilihan, bukan berdasar kemauan anda sendiri. Ini seperti anda menyimpulkan “Orang – orang itu tidak mungkin salah”. Pengaruh normatif terutama bergantung pada isyarat/petunjuk sosial, misalnya ukuran kelompok spsial atau status orang yang memberi pengaruh.


2. Pengaruh Informasional
Terkadang kita mengubah pikiran dan tindakan karena orang lain telah menunjukkan kita cara/jalan yang lebih baik atau mereka memberi informasi yang berguna. Pengaruh informasi ini tidak hanya menghasilkan compliance, tetapi juga acceptance. Misalnya, dalam suatu proyek penelitian yang anda ikuti, anda mendiskusikan dengan rekan – rekan tentang rencana anda untuk menganalisis data. Kemudian, beberapa rekan menyarankan prosedur analisis data yang lebih efisien. Anda sadar bahwa saran itu tepat, lalu anda mengubah rencana anda. Rencana anda berubah karena anda telah terpengaruh oleh informasi yang diberikan orang lain, bukan hanya sekedar mengikuti kemauan kelompok (seperti dalam pengaruh normatif). Banyak bentuk konformitas (penyesuaian) yang melibatkan pengaruh normatif dan informasi. Orang lain, melalui sifat kelompok sosial dan hubungan, memberi kita standar normatif, dan informasi baru, dimana keduanya dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku kita.
2.3 Bentuk-bentuk Pengaruh Sosial
A. Konformitas (conformity)
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Seseorang bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompok atau masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan konformitas berakar dari adanya kenyataan bahwa diberbagai konteks ada aturan-aturan eksplisit maupun implisit yang mengindikasikan bagaimana seharusnya atau sebaiknya kita bertingkah laku, yang disebut Norma sosial (social norms), dan aturan-aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat pada kita. Norma bisa saja dinyatakan secara eksplisit (tertulis), contohnya: larangan parkir di Jalan tol, larangan merokok di tempat umum, perintah untuk tidak menginjak rumput di taman. Selain itu ada pula norma yang tidak diucapkan atau implicit, contohnya: ketika Susi pergi kuliah dengan memakai tanktop, ada ketidaknyamanan dalam dirinya dengan perilakunya tersebut atau mungkin ketidaknyamanan datang dari orang lain yang melihat cara berpakaian Susi tersebut. Walaupun dalam peraturan kuliahnya tidak ada peratutan yang mengharuskan memakai baju berlengan, namun norma-norma implicit bekerja sehingga timbul ketidaknyamanan baik pada diri Susi maupun orang lain yang berada di sekitarnya. Contoh lainnya dari norma implisit: peraturan tidak tertulis seperti, “jangan berdiri terlalu dekat dengan orang asing”, “perempuan jangan duduk ngangkang”. Tanpa mempedulikan apakah norma social itu implisit atau eksplisit, ada satu kenyataan yang jelas: sebagian besar orang mematuhi norma-norma tersebut hampir setiap saat.
Selain itu norma juga dibagi menjadi norma deskriptif dan norma injungtif. Norma deskriptif berupa saran atau himbauan untuk melakukan sesuatu—norma yang mengindikasikam apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu, Contoh norma deskriptif: himbauan kepala desa kepada warganya untuk melakukan 3M demi mencegah demam berdarah; atau ketika di jalan tol ada himbauan bagi kendaraan yang berjalan lambat untuk berjalan di bahu kiri dan bagi kendaraan yang ingin mendahului dan melaju cepat untuk berjalan di lajur kanan. Norma deskriptif belum tentu dipatuhi, seperti misalnya belum tentu kendaraan di laju kanan semua melaju cepat, fakta dilapangan banyak kendaraan yang melaju lambat-lambat di jalur kanan, tapi tidak dikenai sanksi.
Norma injungtif adalah berupa perintah atau larangan yang mengharuskan orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu—norma yang menentukan apa yang harus dilakukan—tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi tertentu.. Contoh: perintah membayar pajak untuk para wajib pajak, bagi yang tidak mematuhi akan dikenai sanksi.
Terkadang kita tidak menyetujui konformitas ini karena konformitas membatasi kebebasan pribadi. Namun, ada dasar yang kuat berkenaan dengan konformitas: tanpa konformitas, kita segera menyadari kita berhadapan dengan kekacauan social. Jadi, pada berbagai situasi, konformitas memiliki fungsi yang sangat berguna.
Konformitas ada 2 jenis yaitu:
a) Konformitas public (public conformity), yaitu bila di depan umum seseorang menampilkan perilaku yang sama tapi belum tentu orang tersebut nyaman dengan perilakunya tersebut atau dengan kata lain ,melakukan atau mengatakan apa yang orang lain di sekitar kita katakana atau lakukan, Contoh: Rudi mentaati peraturan untuk tidak merokok di tempat umum, namun karena Rudi adalah perokok berat, dia tidak nyaman dengan perilakunya itu sehingga sedapat mungkin dia mencari tempat tersembunyi untuk merokok. Contoh lainnya adalah: saat pemilu, banyak orang yang ikut arak-arakan kampanye partai X karena banyaknya massa yang juga ikut kampanye partai X tersebut, padahal belum tentu orang-orang tersebut berada di pihak partai X melainkan hanya ikut-ikutan;
b) Penerimaan pribadi (private acceptance), yaitu bila seseorang menampilkan perilaku sesuai dengan penerimaan pribadinya sendiri yang membuatnya nyaman dengan perilaku tersebut dan benar-benar merasakan atau berpiki seperti orang lain, Contoh: Susi tidak merokok di tempat umum karena memang kesadaran dirinya sendiri untuk tidak merokok, dan dia nyaman dengan perilakunya tersebut. Contoh lainnya adalah: saat kampanye partai X, banyak massa yang ikut mendukung. Tapi saat pemilu, ternyata mereka memilih pilihan yang berbeda sehingga partai X kalah. Di sini, mereka mengikuti Private acceptance mereka untuk memilih partai yang memang mereka dukung. Jadi, jangan mudah terkecoh dengan konformitas yang ditunjukkan di depan public karena belum tentu konformitas tersebut sesuai dengan penerimaan pribadi orang tersebut.
Konformitas tidak terjadi pada derajat yang sama di semua situasi. Ada 3 faktor yang mempengaruhi konformitas, yaitu:
1. Kohesivitas (cohesiveness)—derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi (ketika kita suka/kagum terhadap suatu kelompok), tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar, dan juga sebaliknya. Contoh: dalam 1 genk yang terdiri dari sahabat-sahabat yang sangat akrab yang koompak, ketika yang satu melakukan rebonding rambut, yang lainnya juga mengikuti;
2. Ukuran kelompok, semakin besar kelompok tersebut, semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan;
3. Teori focus normative (normative focus theory), yaitu teori yang mengajukan bahwa norma akan mempengaruhi tingkah laku hanya bila norma tersebut menjadi focus dari orang yang terlibat pada saat tingkah laku tersebut muncul. Dengan kata lain, orang akan mematuhi norma injungtif hanya jika mereka memikirkan tentang norma tersebut dan melihatnya terkait dengan tindakan mereka. Norma mempengaruhi tingkah laku hanya jika norma-norma tersebut penting bagi kita—ketika kita terfokus pada norma tersebut. Contoh: saya adalah mahasiswa di Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Norma-norma yang berhubungan dengan etika pemerintahan menjadi focus saya dibanding norma lainnya. Contohnya, saya menjadi lebih terfokus pada norma melayani masyarakat.
Ada penyebab seseorang melakukan konformitas, antara lain:
1. Keinginan untuk disukai dan rasa takut pada penolakan. Salah satu alasan penting mengapa kita melakukan konformitas adalah: kita belajar bahwa dengan melakukannya bisa membantu kita mendapatkan persetujuan dan penerimaan yang kita dambakan. Sumber konformitas ini dikenal dengan pengaruh social normative (normative social influence), karena pengaruh social ini meliputi perubahan tingkah laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Untuk disukai dan diterima dalam suatu kelompok, kita cenderung melakukan konformitas agar sesuai dengan kelompok tersebut. Selain itu, apapun yang dapat meningkatkan rasa takut kita akan memperoleh penolakan oleh kelompok tersebut juga akan meningkatkan konformitas;
 2 .Keinginan untuk merasa benar: pengaruh sosial informasional. Kita menggunakan opini dan tindakan mereka sebagai panduan opini dan tindakan kita. Tindakan dan opini orang lain menegaskan kenyataan social bagi kita, dan kita menggunakan semuanya itu sebagai pedoman bagi tindakan dan opini kita sendiri. Dasar ini disebut pengaruh social informasional (informational social influence), karena hal tersebut didasarkan pada kecenderungan kita untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai aspek dunia social. Contoh: kita mengikuti trend rambut rebonding untuk keinginan merasa bahwa model rambut ini lah yang benar, yang memang sedang tren saat ini;
3. Membenarkan konformitas: konsekuensi kognitif dari mengikuti kelompok. Beberapa orang yang melakukan konformitas melakukannya dengan sepenuh hati, mereka menganggap bahwa mereka salah dan orang lain benar dan dengan melakukan konformitas hanya akan menimbulkan dilema sementara. Namun banyak juga yang beranggapan penilaian mereka benar naming mereka tidak mau menjadi berbeda sehingga mereka berperilaku tidak konsisten dengan belief pribadi mereka. Sehingga untuk mengubah persepsi mereka pada situasi tersebut, mereka membenarkan konformitas.
Terkadang kita memilik untuk tidak ikut serta atau menolak konformitas. Beberapa faktor penting yang membuat seseorang menolak konformitas:
1. Keinginan individuasi, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan individualitas kita. Kita ingin menjadi seperti orang lain—tetapi tampaknya, tidak sampai pada titik di mana kita kehilangan identitas pribadi kita. Sebagian besar dari kita memiliki keinginan akan individuasi (individuation)—agar dapat dibedakan dari orang lain dalam beberapa hal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konformitas memang lebih banyak terjadi di Negara yang memiliki budaya kolektivis. Contoh: saat sedang tren rebonding, Susi justru mengikalkan rambutnya karena ia ingin beda dari yang lain;
2. Keinginan mempertahankan kontrol terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya. Semakin kuat kebutuhan individu akan control pribadi, semakin sedikit kecenderungan mereka untuk menuruti tekanan sosial;
3.  Orang-orang yang tidak dapat melakukan konformitas. Ada beberapa orang yang memang tidak dapat melakukan konformitas karena alasan fisik, hukum atau psikologis. Contoh: orang yang homoseksual tidak bisa melakukan konformitas untuk mencintai orang lawan jenisnya; orang-orang cacat fisik yang tidak dapat melakukan aktifitas seperti orang kebanyakan.
Terkadang minoritas tidak selalu menjadi yang terpengaruh oleh mayoritas, tetapi bisa juga terjadi hal yang sebaliknya yaitu minoritas berhasil mempengaruhi mayoritas pada kondisi tertentu: a) angggota kelompok minoritas harus konsisten dan harus bertahan pada opininya sendiri dalam menentang opini mayoritas; b) anggota kelompok minoritas harus menghindari tampilan yang kaku dan dogmatis (harus fleksibel); c) keseluruhan konteks sosial di mana kaum minoritas beroperasi adalah penting. Jika minoritas bertahan, pada akhirnya mereka bisa saja menang dan menemukan bahwa pandangan mereka kini menjadi mayoritas. Berdasarkan penelitian Prislin, Limbert, dan Bauer (2000) Mayoritas yang dikalahkan mengalami reaksi negatif yang kuat, sementara minoritas yang baru saja menjadi kuat menunjukkan reaksi positif yang lebih lemah (mereka dalam posisi yang rentan).  Jika mereka tidak mengambil tindakan untuk memperkuat kemenangan mereka, mungkin saja pada kenyataannya kemenangan itu akan berumur pendek.
B. Kesepakatan (compliance)
Bentuk perubahan social lainnyaa adalah kesepakatan (compliance), yaitu suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada orang lain, atau usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam permintaan. Ada 6 prinsip dasar compliance (Cialdini, 1994):
  1. Pertemanan/rasa suka: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang yang tidak kita sukai. Contoh: sahabat kita sangat suka music country, bisa jadi nantinya kita juga menyukai music country;
  2. Komitmen/konsistensi: sekali kita berkomitmen pada suatu tindakan, kita akan lebih bersedia untuk memenuhi permintaan mengenai tingkah laku yang konsisten dengan tindakan tersebut daripada permintaan yang tidak konsisten dengan tindakan tersebut;
  3. Kelangkaan: kita lebih mungkin untuk memenuhi permintaan yang berpusat pada kelangkaan daripada terhadap permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan isu tersebut. Contoh: ketika bensin langka, orang lebih cenderung menjadi tertarik membeli bensin;
  4. Timbal balik/resiprositas: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari orang yang sebelumnya telah memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita. Contoh: Susi melakukan sesuatu untuk Rudi karena Rudi pernah membantu Susi sebelumnya;
  5. Validasi sosial: kita lebih bersedia memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan jika tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan kita;
  6. Kekuasaan: kita lebih bersedia memenuhi permintaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan yang sah.
Prinsip pertemanan lebih dikenal dengan ingratiation—membuat orang lain menyukai kita sehingga mereka lebih bersedia untuk menyetujui permintaan kita. Ingratiation bisa dilakukan dengan cara rayuan atau memuji orang lain dengan cara-cara tertentu. Cara lainnya adalah dengan memperindah penampilan diri, mengeluarkan tanda-tanda nonverbal yang positif (seperti mengacungkan jempol) dan melakukan kebaikan-kebaikan kecil.
Sementara itu dalam prinsip komitmen ada 2 teknik yang bisa digunakan, yaitu: a) foot-in-the-door technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana pemohon memulai dengan permintaan yang kecil dan kemudian permintaan ini disetujui, meningkat ke permintaan lain yang lebih besa (yang memang mereka inginkan sejak awal). Contoh: saat datang ke mall, Susi ditawari sample gratis sebuah kue dan Susi menyetujuinya dan mengambil sample tersebut, lalu kemudian Susi ditawari untuk membeli. Kemungkinan Susi untuk menyetujui membeli besar karena sebelumnya dia sudah berkomitmen mencoba sample; b) Low ball technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana suatu penawaran atau persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik) setelah orang yang menjadi target menerimanya. Contoh: Rudi ditawari membeli mobil, dank arena terbujuk akan DP yang murah dan stok yang lengkap tersedia, Rudi pun menyetujui penawaran tersebut. Namun ternyata warna mobil yang diinginkan Rudi tidak ada. Namun karena sudah menyetujui, Rudi pun tetap memilih membeli mobil tersebut.
Pada prinsip kelangkaan terdapat 2 teknik, yaitu: a) jual mahal/ playing hard to get yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan dengan memberikan kesan bahwa seseorang atau suatu objek adalah langka dan sulit diperoleh. Contoh: teknik penjualan dengan mengatakan bahwa produk itu adalah limited edition; b) Deadline technique yaitu suatu teknik untuk meningkatkan kesepakatan di mana orang yang menjadi target diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengambil keuntungan dari beberapa tawaran atau untuk memperoleh suatu barang. Contoh: “laptop ini diskon 10% hingga akhir minggu ini!” atau penawaran Ahung Sedayu Group yang mengatakan “DP murah, diskon x%, hari naik besok!”
Pada prinsip timbal balik ada 2 teknik, yaitu: a) door-in-the-face yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan di mana pemohon memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian, ketika permintaan ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang memang mereka inginkan sejak awal); b) that’s-not-all yaitu suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan di mana pemohon menawarkan keuntungan tambahan kepada orang-orang yang menjadi target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak menuruti atau menolak permintaan spesifik yang diajukan. Contoh: beli 2 dapat 1.
Selain teknik-teknik tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan Pique Technique yaitu suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan di mana minat orang yang menjadi target di-pique (distimulasi) oleh permintaan yang tidak umum. Sebagai akibatnya, mereka menolak permintaan secara otomatis, seperti yang sering terjadi. Contoh: memasang harga Rp 9.900,00 terhadap produk yang berharga RP 10.00,00 supaya terkesan lebih murah. Selain itu taktik lainnya dengan menempatkan oranglain pada suasana hati yang baik sebelum mengajukan permintaan.
C. Kepatuhan (obedience)
Bentuk lain dari pengaruh sosial adalah kepatuhan (obedience), yaitu keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya. Kepatuhan lebih jarang terjadi dari konformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya melalui “velvet glove”—melalui permintaan dan bukannya perintah langsung.
Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri.  Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
1.    Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu yang buruk terjadi;
2.    Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya;
3.    Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya;
4.    Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.
Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:
1.    Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan;
2.    Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak;
3. Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut;
4.    Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.
2.4  Situasi Sosial
Situasi Sosial adalah suatu kondisi tertentu di mana berlangsung hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain atau terjadi saling hubungan antara dua individu atau lebih.



Menurut M Sherif, situasi sosial dapat dibagi ke dalam dua golongan :
1.    Situasi kebersamaan
Situasi kebersamaan didefinisikan sebagai suatu situasi berkumpulnya sekumpulan individu secara bersama-sama. Situasi kebersamaan menimbulkan kelompok kebersamaan, yaitu suatu kelompok individu yang berkumpul pada suatu ruang dan waktu yang sama, tumbuh dan mengarahkan tingkah laku secara spontan. Kelompok ini sering juga disebut massa atau crowd. Menurut Kinch ciri-ciri massa adalah:
• Bertanggung jawab dalam waktu yang relatif pendek;
• Pesertanya berhubunga secara fisik (misal berdesak-desakan);
• Kurang adanya autran yang terorganisir;
• Interaksinya bersifat spontan.
Brown membagi kerumunan massa/ crowd menjadi dua golongan, yaitu Mobs dan Audience. Mobs merupakan suatu kerumunan aktif yang meyebabkan kerusakan-kerusakan, sedangkan audience merupakan terbentuknya kelompok karena adanya penggerak yang sama.
2.    Situasi kelompok sosial
Situasi kelompok sosial didefinisikan sebagai suatu situasi ketika terdapat dua individu atau lebih mengadakan interaksi sosial yang mendalam satu sama lain. Situasi kelompok sosial ini akan melahirkan terbentuknya kelompok sosial, artinya suatu kesatuan sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, norma-norma tertentu.
Menurut Sherif kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma – norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.
Sedangkan menurut Roland Freedman kelompok sosial adalah organisasi terdiri atas dua atau lebih individu yang tergantung oleh ikatan – ikatan suatu sistem ukuran – ukuran kelakuan yang diterima dan disetujui oleh semua anggotanya. Menurut Park dan Burgess kelompok adalah sekumpulan orang yang memiliki kegiatan yang konsisten. Sedangkan menurut Gidding kelompok sosial timbul karena adanya consciousness of kind, kesadaran atas barang pada jiwa manusia. Menurut paham fungsionalisme dalam antropologi yang dipelopori oleh Malinowski bahwa pertimbangan untuk membentuk kelompok sosial adalah adanya fungsi, adanya tujuan dari pada kelompok sosial. Tujuannya berupa tujuan bersama, misalnya pada kelompok berburu.
Jadi kelompok – kelompok sosial tersebut adalah himpunan atau satu kesatuan manusia yang hidup bersama dan adanya hubungan diantara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan suatu kesadaran untuk saling tolong – menolong serta adanya organisasi antara anggotanya.
Kelompok sosial secara umum diikat oleh faktor-faktor berikut ini:
• Bagi anggota kelompok, suatu tujuan yang realistis, sederhana, dan memiliki nilai keuntungan bagi individu;
• Masalah kepemimpinan dalam kelompok cukup berperan dalam menentukan kekuatan ikatan antar anggota;
• Interaksi dalam kelompok secara seimbang merupakan alat perekat yang baik dalam membina kesatuan dan persatuan anggota.
Adapun kelompok sosial mempunyai ciri-ciri  sebagai berikut:
a. Terdapat motif-motif yang sama
Terbentuknya kelompok sosial itu adalah ialah karena bakal anggotanya berkumpul untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dengan kegiatan bersama lebih mudah dan dan dapat di capai dari pada atas usaha sendiri. Jadi, dorongan atau motif bersama itu menjadi pengikat dan sebat utama terbentuknya kelompok sosial. Tanpa motif yang sama antara sejumlah individu itu sukar sukar untuk terbentuk suatu kelompok sosial.
Tetapi tidak hanya motif yang sam itu saja yang dapat mengikat dan membentuk sejumlah orang menjadi suatu kelompok sosial, sebab adanya suatu motif yangg sama itu harus disertakan kesadaran bahwa tujuan-tujuan tersebut haruslah dicapai dengan kerja sama anatara orang-orang yang bermotif sama. Apabila tidak adanya kesadaran tersebut, maka tujuan yang sama itu akan dikejar sendir-sendiri.  Hal tersebut akan menimbulkan suatu prcekcokan dan terpecahnya kelompok.
Tujuan-tujuan bersama yang diusahakan oleh kelompok sosial bermacam-macam jenisnya, misalnya keuntungan ekonomis seperti upada usaha koperasi dalam memberi barang konsumsi bersama. Dapat pula tujuan bersama itu berupa tujuan politik, tujuan ilmiah, dan lainnya.
Setelah suatu kelompok terbentuk, biasanya lambat laun timbul pula motif-motif baru kelompok serta tujuan-tujuan tambahan yang semuanya dapat memperkokoh kehidupan kelompok itu. Hal ini dapat kita amati, misalnya, pada kelompok mahasiswa dari sebuah fakultas yang baru didirikan. Mahasiswanya lalu membentuk kelompok sosial terdorong oleh tujuan bersama, yaitu untuk bekerjasama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam menuntut pelajarannya. Titik berat dalam usaha bersama mereka itu pada mulanya ialah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hal belajar di  fakultas tersebut, misalnya mengusahakan buku-buku dan diklat-diklat bersama. Tetapi, sesudah satu atau dua tahun berdirinya fakultas, timbullah tujuan-tujuan tambahan, yaitu merayakan dies natalis secara meriah, mengadakan pawai-pawai, dan lain-lain, yang sebenarnya bukan lagi kegiatan-kegiatan khusus dari kelompok belajar yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan belajar itu.
Timbulnya motif-motif baru kerap kali terjadi dalam kehidupan kelompok dan mempunyai peranan yang khusus, yakni untuk memperoleh interaksi antara anggota kelompok serta memperkuat kehidupan kelompok pada umumnya.
Pengaruh kehidupan kelompok yang makin kokoh terhadap kegiatan individu anggotanya ialah, bahwa pada mereka akan timbul suatu sense of belongingness, yang ternyata mempunyai arti yang cukup mendalam pada kehidupan individu. Sense of belongingness itu merupakan peranan sikap bahwa ia termasuk dalam suatu kelompok sosial, di dalamnya ia mempunyai peranan tugas sehingga ia pun merasa semacam kepuasan dirinya bahwa ia berharga sebagai anggota kelompok tersebut. Kepuasannya ialah bahwa, ia sebagai makhluk sosial di dalam kelompoknya telah memperoleh peranan sosial yang juga berdasarkan usaha-usahanya untuk menyumbangkan sesuatu demi kepentingan kelompoknya.
b.    Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antar anggota kelompok.
Dalam menguraikan pasal ini oleh Sherif dan kawan-kawan ditandaskan bahwa situasi sosial, baik situasi kebersamaan maupun situasi kelompok, pada dirinya sendiri sudah mempunyai pengaruh berlainan terhadap tingkah laku individu dibandingkan dengan kebiasaan tingkah laku individu itu dalam keadaan sendiri.  Dalam hal itu tampak betapa mudahnya berlangsungnya imitasi dan sugesti pada umumnya dalam situasi tersebut. Demikian pula  dalam terbentuknya kelompok sosial yang beralih dari suatu kebersamaan. Dengan demikian situasi sosial itu dapat merangsang reaksi-reaksi berlainan dari individu-individu yang bakal menjadi anggota kelompok. Dari berlainan kecakapan-kecakapan atas dasar perbedaan-perbedaan dalam kemampuan-kemampuan antar anggoata kelompok yang dirangsang oleh situasi sosial itu, maka terjadilah  pembagian tugas yang khas antara anggota-anggotanya sesuai dengan kecakapannya untuk turut merealisasikan  tujuan kelompok secara kerja sama.  Demikianlah lambat-laun  terjadi struktur kelompok yang khas serta norma-norma dan pedoman-pedoman pelaksanaan kegiatan kelompok serta makin menegas berdasarkan reakasi-reaksi dan kecakapan yang berlainan.
c.    Terdapat penegasan struktur kelompok
Struktur kelompok ialah suatu sistem yang cukup tegas  mengenai hubungan-hubungan anatara anggota-anggota kelompok berdasarkan peranan, status-status mereka sesuai dengan sumbangan masing-masing dalam interaksi kelompok ke tujuannya.
Pembagian tugas-tugas dan koordinasi antara tugas-tugas tiap anggota lambat laun akan akan terbina mengenai pengharapan-pengharapan yang timbal balik anatar anggotan, bahwa tugas-tugas yang diserahkan masing-masing juga kan di selesaikan dengan sebaik-baiknya.  Nah kejelasan mengenai pembagian tugas-tugas itulah yang akan mengarahkan pada penegasan fungsi dan peran para anggota-anggotanya.
d.    Terdapat penegasan norma-norma kelompok
Bersamaan dengan terbentuknya struktur  dalam interaksi kelompok, terbentuklah norma-norma tingkah laku yang khas antara anggota-anggota kelompoknya. Norma kelompok tersebut bukanlah norma statis atau angka rata-rata mengenai tingkah laku yang sebenarnya terjadi dalam kelompok itu,  melainkan merupakan pedoman-pedoman  untuk mengatur pengalaman dan tingkah laku anggota kelompok dalam bermacam-macam situasi sosial yang bersangkutan dengan kelompok.
Norma kelompok ialah pengertian yang seragam mengenai cara-cara tingkah laku yang patut  dilakukan oleh  anggota kelompok apabila terjadi  sesuatu yang bersangkutpaut dengan kehidupan kelompok. Norma dalam suatu kelompok ada yang tertulis dana ada juga yang tidak, biasanya sesuai jenis kelompoknya. Kalau kelompok resmi pasti tertulis namun bila kelompok tak resmi maka kebanyakan tidaka tertulis.  Jadi norma-norma kelompok itu berkenaan dengan  cara-cara tingkah laku yang diharapkan dari semua anggota kelompok dalam keadaan yang berhubungan dengan kehidupan dan tujuan interaksi kelompok.
Norma kelompok informal biasanya terealisasikan dalam bentuk pengertian satu sama lain terhadap prilaku yang ada. Sedangkan kelompok formal mempunyai norma-norma tertulis tentang prilaku semua anggotanya.
Norma sosial merupakan adalah patokan umum mengenai tingkah laku dan sikap individu anggota kelompok yang dikehendaki oleh kelompok mengenai bermacam-macam hal yang berhubungan dengan kehidupan kelompok yang melahirkan norma-norma tingkah laku dan sikap-sikap itu mengenai segala situasi yang dihadapi oleh anggota-anggota kelompok.
2.5 Klasifikasi Kelompok Sosial
• Charles H. Cooley membagi kelompok sosial menjadi:
1). Kelompok primer (primary group), suatu kelompok yang anggota-anggotanya mempunyai hubungan/interaksi yang lebih intensif dan lebih erat antar anggotanya. Contoh: keluarga, rukun tetangga, kelompok kawan sepermainan.
2). Kelompok sekunder (secondary group), suatu kelompok yang anggota-anggotanya saling mengadakan hubungan yang tidak langsung, berjauhan (pertemuan tidak harus face to face) dan formal, dan kurang bersifat kekeluargaan. Contohnya: partai politik, dan perhimpunan serikat kerja.
• Moreno membagi kelompok sosial menjadi:
1). Psikhe group, beberapa orang yang berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai kesadaran psikologis dan menerima mereka sebagai kelompok.
2). Socio group, berhubungan dengan posisi sosial, aturan dan status dari anggota kelompok.

• Crèch dan Curtchfield membagi  kelompok sosial menjadi:
1). Kelompok stabil, kelompok yang strukturnya terus tetap, tidak berubah dalam jangka waktu yang relatig lama.
2). Kelompok tidak stabil, kelompok yang mengalami perubahan progresif meskipun tanpa terdapat variasi-variasi yang cupuk penting dari situasi eksternal.
• French membagi kelompok sosial menjadi:
1). Kelompok terorganisir, kelompok yang menunjukkan secara tegas, lebih memiliki kebebasan sosial, perasaan kita, saling ketergantungan, kesamaan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, motivasi, frustasi dan agresi terhadap anggota kelompok yang lain.
2). Kelompok tidak terorganisir, kelompok yang sedikit sekali kemungkinan bahwa individu akan dipengaruhi oleh apa yang dikerjakan orang lain.

• Ferdinand Tonnies membagi kelompok sosial menjadi:

1). Gemeinschaft (Paguyuban), kelompok sosial ini digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim dan pribadi, yang merupakan suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir.
Gemeinschaft dibagi atas tiga tipe, yaitu gemeinscharft by blood, gemeinschaft of place, dan gemeinschaft of mind.

a) Gemeinschaft by blood, adalah paguyuban yang mengacu pada kekerabatan, atau di dasarkan pada ikatan darah atau keturunan.

b) Gemeinschaft of place, adalah paguyuban yang mengacu pada kedekatan tempat, sehingga dapat saling bekerja sama dan tolong-menolong.

c) Gemeinschaft of mind, adalah paguyuban yang mengacu pada hubungan persahabatan karena persamaan minat, hobi, profesi, atau keyakinan. Misalnya kelompok agama.

2). Gesellschaft (Patembayan), adalah ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu Bentuk dalam pikiran belaka, dan strukturnya bersifat mekanis. Bentuk patembayan terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik misalnya ikatan antarpedagang, organisasi pegawai dalam suatu pabrik atau industri.
• Berdasarkan tingkat keformalan kelompok sosial dibagi menjadi:
1). Kelompok formal/kelompok resmi, yaitu suatu kelompok yang sengaja dibentuk untuk pelaksanaan dan realisasi tugas tertentu, anggota-anggotanya diangkat dan dilegimitasi oleh suatu badan/organisasi. Kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Contohnya adalah komite, panitia, organisasi pemuda.
2). Kelompok informal, yaitu kelompok yang terbentuk dari proses interaksi, daya tarik dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Anggota kelompok tidak diatur dan diangkat atau dilegalisasikan dalam pernyataan normal. Kelompok ini tidak didukung oleh peraturan atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Kelompok ini bisa berkembang dalam kelompok formal, karena adanya beberapa anggota yang secara tertentu memiliki nilai-nilai yang perlu dibagi dengan sesama anggota.











BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·      Pengaruh sosial (social influence) adalah usaha yang dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau tingkah laku orang lain.
·      Ada dua alasan mengapa kita bisa menerima pengaruh dari orang lain, yaitu: 1) pengaruh normatif, merundingkan atau mengonsultasikannya dengan perilaku orang lain dan 2) pengaruh informasional, kita mengubah pikiran dan tindakan karena orang lain telah menunjukkan kita cara/jalan yang lebih baik atau mereka memberi informasi yang berguna.
·      Ada tiga bentuk pengaruh sosial, yaitu 1) konformitas (conformity), suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada, 2) kesepakatan (compliance), yaitu suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada orang lain, atau usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam permintaan, dan 3) kepatuhan (obedience), yaitu keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya.
·      Situasi Sosial adalah suatu kondisi tertentu di mana berlangsung hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain atau terjadi saling hubungan antara dua individu atau lebih. Sherif membagi situasi sosial menjadi dua:
1.      Situasi kebersamaan, didefinisikan sebagai suatu situasi berkumpulnya sekumpulan individu secara bersama-sama. Situasi kebersamaan menimbulkan kelompok kebersamaan;
2.      Situasi kelompok sosial, didefinisikan sebagai suatu situasi ketika terdapat dua individu atau lebih mengadakan interaksi sosial yang mendalam satu sama lain. Situasi kelompok sosial ini akan melahirkan terbentuknya kelompok sosial. Adapun ciri-ciri utama kelompok sosial, yaitu:
a. Terdapat motif-motif yang sama;
b. Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antar anggota kelompok;
c. Terdapat penegasan struktur kelompok;
d. Terdapat penegasan norma-norma kelompok.
·      Secara garis besar kelompok sosial dibagi menjadi dua, yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder. Sedangkan bila dilihat dari tingkat keformalannya, kelompok sosial dibagi menjadi dua, yaitu kelompok formal dan kelompok informal
3.2 Saran
Setelah membaca uraian di atas, diharapkan kepada pembaca menngetahui akan berpengaruhnya  keberadaaan orang lain di sekitar kita, karena orang lain di sekitar kita bisa memberikan pengaruh postif maupun pengaruh negatif. Untuk itu, diharapkan kepada pembaca bisa menyaring mana pengaruh yang baik, mana yang pengaruh yang buruk.












DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A & Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Gerungan. 2004.  Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Sarwono, W. Sarlito & Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
 Taylor, E. Shelley.,  Letitia A Peplau., David O Sears. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana.



2 komentar: