PENGARUH SOSIAL
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN
GUNUNG DJATI BANDUNG)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak
dapat terlepas dari pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi
bagaimana ia bertingkah laku dalam lingkungannya. Secara definitif, pengaruh
sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau
pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno
& Meinarno, 2012). Seperti definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengaruh
sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu
mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat
diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika seorang wanita dari
kalangan keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai bahwa
wanita harus segera dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah
meskipun wanita tersebut sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi namun karena pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap
dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi lingkungan sosialnya dalam mengambil
keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang mempengaruhi ia dalam mengambil
keputusan.
Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap individu (Sarwono
& Meinarno, 2012), karena hal inilah individu berusaha untuk menahan
control dirinya yang tidak sesuai dengan keingininan kelompok sosialnya.
Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan
agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat memberikan
dampak positif dan negatif terhadap perilaku individu (Sarwono & Meinarno,
2012), Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena
kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan
sosial. Namun sayangnya, kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku
di lingkungan sosial tidak selalu berarti positif karena bisa saja suatu
individu mengikuti normanorma yang berlaku dalam lingkungan sosial yang
berprilaku negatif.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal
ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Pengaruh
Sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Pengaruh
Sosial.
1. Apa pengertian pengaruh sosial?
2. Bagaimana cara menerima pengaruh
sosial orang lain?
3. Bagaimana bentuk-bentuk pengaruh
sosial?
4. Apa pengertian situasi sosial?
5. Bagaimana klasifikasi kelompok
sosial?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian
pengaruh sosial;
2. Untuk mengetahui cara menerima
pengaruh sosial orang lain;
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk
pengaruh sosial;
4. Untuk mengetahui pengertian situasi
sosial;
5. Untuk mengetahui klasifikasi
kelompok sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengaruh Sosial
Pengaruh sosial merujuk pada perubahan sikap atau perilaku, sebagai
hasil dari interaksi dengan orang lain. Pengaruh sosial juga berpengaruh pada
perilaku komunikasi, baik secara individual maupun komunikasi dalam kelompok.
Pengaruh sosial (social influence) adalah usaha
yang dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau
tingkah laku orang lain. Ada 3 aspek penting dalam pengaruh social, yaitu:
konformitas (conformity), kesepakatan (compliance),
dan kepatuhan (obedience)
2.2 Cara Menerima Pengaruh Orang Lain
Mengapa kita menuruti dan terkadang menerima pengaruh orang lain? Ada dua
alasan atau standar yang dikemukakan para ahli.
1. Pengaruh Normatif
Menurut teori
pembandingan sosial, untuk memvalidasi atau mempertegas keyakinan sosial kita,
kita merundingkan atau mengonsultasikannya dengan perilaku orang lain. Jika
pengamatan kita terhadap orang lain memberi suatu pedoman dalam berperilaku
(norma) kita mungkin akan terpengaruh untuk meniru tindakan tersebut. Standar
atau norma sosial yang didapat dari kepercayaan kita kepada orang lain akan
mengarah pada pengaruh normatif.
Contoh ketika anda
hendak memutuskan kursus apa yang dipilih, mungkin anda meminta saran dari
teman. Lalu, berdasarkan saran teman itulah, Anda menentukan pilihan, bukan
berdasar kemauan anda sendiri. Ini seperti anda menyimpulkan “Orang – orang itu
tidak mungkin salah”. Pengaruh normatif terutama bergantung pada
isyarat/petunjuk sosial, misalnya ukuran kelompok spsial atau status orang yang
memberi pengaruh.
2. Pengaruh Informasional
Terkadang kita mengubah pikiran dan tindakan karena orang lain telah
menunjukkan kita cara/jalan yang lebih baik atau mereka memberi informasi yang
berguna. Pengaruh informasi ini tidak hanya menghasilkan compliance, tetapi
juga acceptance. Misalnya, dalam suatu proyek penelitian yang anda ikuti, anda
mendiskusikan dengan rekan – rekan tentang rencana anda untuk menganalisis
data. Kemudian, beberapa rekan menyarankan prosedur analisis data yang lebih
efisien. Anda sadar bahwa saran itu tepat, lalu anda mengubah rencana anda.
Rencana anda berubah karena anda telah terpengaruh oleh informasi yang
diberikan orang lain, bukan hanya sekedar mengikuti kemauan kelompok (seperti
dalam pengaruh normatif). Banyak bentuk konformitas (penyesuaian) yang
melibatkan pengaruh normatif dan informasi. Orang lain, melalui sifat kelompok
sosial dan hubungan, memberi kita standar normatif, dan informasi baru, dimana
keduanya dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku kita.
2.3 Bentuk-bentuk Pengaruh Sosial
A. Konformitas (conformity)
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah
sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Seseorang bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat
diterima oleh kelompok atau masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan
konformitas berakar dari adanya kenyataan bahwa diberbagai konteks ada aturan-aturan
eksplisit maupun implisit yang mengindikasikan bagaimana seharusnya atau
sebaiknya kita bertingkah laku, yang disebut Norma sosial (social norms),
dan aturan-aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat pada kita. Norma
bisa saja dinyatakan secara eksplisit (tertulis), contohnya: larangan parkir di
Jalan tol, larangan merokok di tempat umum, perintah untuk tidak menginjak
rumput di taman. Selain itu ada pula norma yang tidak diucapkan atau implicit,
contohnya: ketika Susi pergi kuliah dengan memakai tanktop, ada ketidaknyamanan
dalam dirinya dengan perilakunya tersebut atau mungkin ketidaknyamanan datang
dari orang lain yang melihat cara berpakaian Susi tersebut. Walaupun dalam
peraturan kuliahnya tidak ada peratutan yang mengharuskan memakai baju
berlengan, namun norma-norma implicit bekerja sehingga timbul ketidaknyamanan
baik pada diri Susi maupun orang lain yang berada di sekitarnya. Contoh lainnya
dari norma implisit: peraturan tidak tertulis seperti, “jangan berdiri terlalu
dekat dengan orang asing”, “perempuan jangan duduk ngangkang”. Tanpa
mempedulikan apakah norma social itu implisit atau eksplisit, ada satu
kenyataan yang jelas: sebagian besar orang mematuhi norma-norma tersebut hampir
setiap saat.
Selain itu norma juga dibagi menjadi norma deskriptif dan norma injungtif.
Norma deskriptif berupa saran atau himbauan untuk melakukan sesuatu—norma yang
mengindikasikam apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu,
Contoh norma deskriptif: himbauan kepala desa kepada warganya untuk melakukan
3M demi mencegah demam berdarah; atau ketika di jalan tol ada himbauan bagi
kendaraan yang berjalan lambat untuk berjalan di bahu kiri dan bagi kendaraan
yang ingin mendahului dan melaju cepat untuk berjalan di lajur kanan. Norma
deskriptif belum tentu dipatuhi, seperti misalnya belum tentu kendaraan di laju
kanan semua melaju cepat, fakta dilapangan banyak kendaraan yang melaju lambat-lambat
di jalur kanan, tapi tidak dikenai sanksi.
Norma injungtif adalah
berupa perintah atau larangan yang mengharuskan orang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu—norma yang menentukan apa yang harus dilakukan—tingkah
laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi tertentu.. Contoh:
perintah membayar pajak untuk para wajib pajak, bagi yang tidak mematuhi akan
dikenai sanksi.
Terkadang kita tidak
menyetujui konformitas ini karena konformitas membatasi kebebasan pribadi.
Namun, ada dasar yang kuat berkenaan dengan konformitas: tanpa konformitas,
kita segera menyadari kita berhadapan dengan kekacauan social. Jadi, pada
berbagai situasi, konformitas memiliki fungsi yang sangat berguna.
Konformitas ada 2 jenis
yaitu:
a) Konformitas public (public
conformity), yaitu bila di depan umum seseorang menampilkan perilaku yang
sama tapi belum tentu orang tersebut nyaman dengan perilakunya tersebut atau
dengan kata lain ,melakukan atau mengatakan apa yang orang lain di sekitar kita
katakana atau lakukan, Contoh: Rudi mentaati peraturan untuk tidak merokok di
tempat umum, namun karena Rudi adalah perokok berat, dia tidak nyaman dengan
perilakunya itu sehingga sedapat mungkin dia mencari tempat tersembunyi untuk
merokok. Contoh lainnya adalah: saat pemilu, banyak orang yang ikut arak-arakan
kampanye partai X karena banyaknya massa yang juga ikut kampanye partai X
tersebut, padahal belum tentu orang-orang tersebut berada di pihak partai X
melainkan hanya ikut-ikutan;
b) Penerimaan pribadi (private
acceptance), yaitu bila seseorang menampilkan perilaku sesuai dengan
penerimaan pribadinya sendiri yang membuatnya nyaman dengan perilaku tersebut
dan benar-benar merasakan atau berpiki seperti orang lain, Contoh: Susi tidak
merokok di tempat umum karena memang kesadaran dirinya sendiri untuk tidak
merokok, dan dia nyaman dengan perilakunya tersebut. Contoh lainnya adalah:
saat kampanye partai X, banyak massa yang ikut mendukung. Tapi saat pemilu,
ternyata mereka memilih pilihan yang berbeda sehingga partai X kalah. Di sini,
mereka mengikuti Private acceptance mereka untuk memilih partai yang memang
mereka dukung. Jadi, jangan mudah terkecoh dengan konformitas yang ditunjukkan
di depan public karena belum tentu konformitas tersebut sesuai dengan
penerimaan pribadi orang tersebut.
Konformitas tidak
terjadi pada derajat yang sama di semua situasi. Ada 3 faktor yang mempengaruhi
konformitas, yaitu:
1. Kohesivitas (cohesiveness)—derajat ketertarikan yang dirasa oleh
individu terhadap suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi (ketika kita
suka/kagum terhadap suatu kelompok), tekanan untuk melakukan konformitas
bertambah besar, dan juga sebaliknya. Contoh: dalam 1 genk yang terdiri dari
sahabat-sahabat yang sangat akrab yang koompak, ketika yang satu melakukan
rebonding rambut, yang lainnya juga mengikuti;
2. Ukuran kelompok, semakin besar kelompok tersebut, semakin besar pula
kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan
menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan;
3. Teori focus normative (normative focus theory), yaitu teori yang
mengajukan bahwa norma akan mempengaruhi tingkah laku hanya bila norma tersebut
menjadi focus dari orang yang terlibat pada saat tingkah laku tersebut muncul.
Dengan kata lain, orang akan mematuhi norma injungtif hanya jika mereka
memikirkan tentang norma tersebut dan melihatnya terkait dengan tindakan
mereka. Norma mempengaruhi tingkah laku hanya jika norma-norma tersebut penting
bagi kita—ketika kita terfokus pada norma tersebut. Contoh: saya adalah mahasiswa
di Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Norma-norma yang berhubungan dengan etika pemerintahan menjadi
focus saya dibanding norma lainnya. Contohnya, saya menjadi lebih terfokus pada
norma melayani masyarakat.
Ada penyebab seseorang
melakukan konformitas, antara lain:
1. Keinginan untuk disukai dan rasa takut pada penolakan. Salah satu alasan
penting mengapa kita melakukan konformitas adalah: kita belajar bahwa dengan
melakukannya bisa membantu kita mendapatkan persetujuan dan penerimaan yang
kita dambakan. Sumber konformitas ini dikenal dengan pengaruh social normative
(normative social influence), karena pengaruh social ini meliputi
perubahan tingkah laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Untuk
disukai dan diterima dalam suatu kelompok, kita cenderung melakukan konformitas
agar sesuai dengan kelompok tersebut. Selain itu, apapun yang dapat
meningkatkan rasa takut kita akan memperoleh penolakan oleh kelompok tersebut
juga akan meningkatkan konformitas;
2 .Keinginan untuk merasa benar: pengaruh
sosial informasional. Kita menggunakan opini dan tindakan mereka sebagai
panduan opini dan tindakan kita. Tindakan dan opini orang lain menegaskan
kenyataan social bagi kita, dan kita menggunakan semuanya itu sebagai pedoman
bagi tindakan dan opini kita sendiri. Dasar ini disebut pengaruh social
informasional (informational social influence), karena hal tersebut
didasarkan pada kecenderungan kita untuk bergantung pada orang lain sebagai
sumber informasi tentang berbagai aspek dunia social. Contoh: kita mengikuti
trend rambut rebonding untuk keinginan merasa bahwa model rambut ini lah yang
benar, yang memang sedang tren saat ini;
3. Membenarkan konformitas: konsekuensi kognitif dari mengikuti kelompok. Beberapa
orang yang melakukan konformitas melakukannya dengan sepenuh hati, mereka
menganggap bahwa mereka salah dan orang lain benar dan dengan melakukan
konformitas hanya akan menimbulkan dilema sementara. Namun banyak juga yang
beranggapan penilaian mereka benar naming mereka tidak mau menjadi berbeda
sehingga mereka berperilaku tidak konsisten dengan belief pribadi
mereka. Sehingga untuk mengubah persepsi mereka pada situasi tersebut, mereka
membenarkan konformitas.
Terkadang kita memilik
untuk tidak ikut serta atau menolak konformitas. Beberapa faktor penting yang
membuat seseorang menolak konformitas:
1. Keinginan individuasi, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan
individualitas kita. Kita ingin menjadi seperti orang lain—tetapi tampaknya,
tidak sampai pada titik di mana kita kehilangan identitas pribadi kita.
Sebagian besar dari kita memiliki keinginan akan individuasi (individuation)—agar
dapat dibedakan dari orang lain dalam beberapa hal. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa konformitas memang lebih banyak terjadi di Negara yang
memiliki budaya kolektivis. Contoh: saat sedang tren rebonding, Susi justru
mengikalkan rambutnya karena ia ingin beda dari yang lain;
2. Keinginan mempertahankan kontrol terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Semakin kuat kebutuhan individu akan control pribadi, semakin sedikit
kecenderungan mereka untuk menuruti tekanan sosial;
3. Orang-orang yang tidak dapat
melakukan konformitas. Ada beberapa orang yang memang tidak dapat melakukan
konformitas karena alasan fisik, hukum atau psikologis. Contoh: orang yang
homoseksual tidak bisa melakukan konformitas untuk mencintai orang lawan
jenisnya; orang-orang cacat fisik yang tidak dapat melakukan aktifitas seperti
orang kebanyakan.
Terkadang minoritas
tidak selalu menjadi yang terpengaruh oleh mayoritas, tetapi bisa juga terjadi
hal yang sebaliknya yaitu minoritas berhasil mempengaruhi mayoritas pada
kondisi tertentu: a) angggota kelompok minoritas harus konsisten dan harus
bertahan pada opininya sendiri dalam menentang opini mayoritas; b) anggota
kelompok minoritas harus menghindari tampilan yang kaku dan dogmatis (harus
fleksibel); c) keseluruhan konteks sosial di mana kaum minoritas beroperasi
adalah penting. Jika minoritas bertahan, pada akhirnya mereka bisa saja menang
dan menemukan bahwa pandangan mereka kini menjadi mayoritas. Berdasarkan
penelitian Prislin, Limbert, dan Bauer (2000) Mayoritas yang dikalahkan
mengalami reaksi negatif yang kuat, sementara minoritas yang baru saja menjadi
kuat menunjukkan reaksi positif yang lebih lemah (mereka dalam posisi yang
rentan). Jika mereka tidak mengambil tindakan untuk memperkuat kemenangan
mereka, mungkin saja pada kenyataannya kemenangan itu akan berumur pendek.
B. Kesepakatan (compliance)
Bentuk perubahan social
lainnyaa adalah kesepakatan (compliance), yaitu suatu bentuk pengaruh
sosial yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada orang lain, atau
usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam
permintaan. Ada 6 prinsip dasar compliance (Cialdini, 1994):
- Pertemanan/rasa suka: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang yang tidak kita sukai. Contoh: sahabat kita sangat suka music country, bisa jadi nantinya kita juga menyukai music country;
- Komitmen/konsistensi: sekali kita berkomitmen pada suatu tindakan, kita akan lebih bersedia untuk memenuhi permintaan mengenai tingkah laku yang konsisten dengan tindakan tersebut daripada permintaan yang tidak konsisten dengan tindakan tersebut;
- Kelangkaan: kita lebih mungkin untuk memenuhi permintaan yang berpusat pada kelangkaan daripada terhadap permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan isu tersebut. Contoh: ketika bensin langka, orang lebih cenderung menjadi tertarik membeli bensin;
- Timbal balik/resiprositas: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari orang yang sebelumnya telah memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita. Contoh: Susi melakukan sesuatu untuk Rudi karena Rudi pernah membantu Susi sebelumnya;
- Validasi sosial: kita lebih bersedia memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan jika tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan kita;
- Kekuasaan: kita lebih bersedia memenuhi permintaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan yang sah.
Prinsip pertemanan lebih dikenal dengan ingratiation—membuat orang
lain menyukai kita sehingga mereka lebih bersedia untuk menyetujui permintaan
kita. Ingratiation bisa dilakukan dengan cara rayuan atau memuji orang
lain dengan cara-cara tertentu. Cara lainnya adalah dengan memperindah
penampilan diri, mengeluarkan tanda-tanda nonverbal yang positif (seperti
mengacungkan jempol) dan melakukan kebaikan-kebaikan kecil.
Sementara itu dalam prinsip komitmen ada 2 teknik yang bisa digunakan,
yaitu: a) foot-in-the-door technique yaitu suatu prosedur untuk
memperoleh kesepakatan di mana pemohon memulai dengan permintaan yang kecil dan
kemudian permintaan ini disetujui, meningkat ke permintaan lain yang lebih besa
(yang memang mereka inginkan sejak awal). Contoh: saat datang ke mall, Susi
ditawari sample gratis sebuah kue dan Susi menyetujuinya dan mengambil sample
tersebut, lalu kemudian Susi ditawari untuk membeli. Kemungkinan Susi untuk menyetujui
membeli besar karena sebelumnya dia sudah berkomitmen mencoba sample; b) Low
ball technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana
suatu penawaran atau persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik) setelah
orang yang menjadi target menerimanya. Contoh: Rudi ditawari membeli mobil,
dank arena terbujuk akan DP yang murah dan stok yang lengkap tersedia, Rudi pun
menyetujui penawaran tersebut. Namun ternyata warna mobil yang diinginkan Rudi
tidak ada. Namun karena sudah menyetujui, Rudi pun tetap memilih membeli mobil
tersebut.
Pada prinsip kelangkaan terdapat 2 teknik, yaitu: a) jual mahal/ playing
hard to get yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesepakatan dengan memberikan kesan bahwa seseorang atau suatu objek adalah
langka dan sulit diperoleh. Contoh: teknik penjualan dengan mengatakan bahwa
produk itu adalah limited edition; b) Deadline technique yaitu
suatu teknik untuk meningkatkan kesepakatan di mana orang yang menjadi target
diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengambil
keuntungan dari beberapa tawaran atau untuk memperoleh suatu barang. Contoh:
“laptop ini diskon 10% hingga akhir minggu ini!” atau penawaran Ahung Sedayu
Group yang mengatakan “DP murah, diskon x%, hari naik besok!”
Pada prinsip timbal balik ada 2 teknik, yaitu: a) door-in-the-face yaitu
suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan di mana
pemohon memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian, ketika permintaan
ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang memang mereka inginkan
sejak awal); b) that’s-not-all yaitu suatu teknik untuk memperoleh
kesepakatan di mana pemohon menawarkan keuntungan tambahan kepada orang-orang
yang menjadi target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak menuruti
atau menolak permintaan spesifik yang diajukan. Contoh: beli 2 dapat 1.
Selain teknik-teknik tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan Pique
Technique yaitu suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan di mana minat
orang yang menjadi target di-pique (distimulasi) oleh permintaan yang
tidak umum. Sebagai akibatnya, mereka menolak permintaan secara otomatis,
seperti yang sering terjadi. Contoh: memasang harga Rp 9.900,00 terhadap produk
yang berharga RP 10.00,00 supaya terkesan lebih murah. Selain itu taktik
lainnya dengan menempatkan oranglain pada suasana hati yang baik sebelum
mengajukan permintaan.
C. Kepatuhan (obedience)
Bentuk lain dari
pengaruh sosial adalah kepatuhan (obedience), yaitu keadaan di mana
seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang
lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya. Kepatuhan lebih jarang
terjadi dari konformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang
memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih
menggunakan pengaruhnya melalui “velvet glove”—melalui permintaan dan
bukannya perintah langsung.
Kepatuhan yang merusak
berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau
dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
1. Orang-orang yang berkuasa
membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka.
“saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu
yang buruk terjadi;
2. Orang-orang yang berkuasa sering
kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan status mereka. Hal ini
menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah
norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa
sulit untuk tidak mematuhinya;
3. Adanya perintah bertahap dari
figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru
selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya;
4. Situasi yang melibatkan
kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan
meningkatnya kepatuhan.
Berikut ini cara-cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:
1. Individu yang dihadapkan pada
perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung
jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan;
2. Individu dapat disadarkan bahwa
melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak
adalah tidak layak;
3. Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka
mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut;
4. Cukup dengan mengetahui kekuatan
yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan kepatuhan buta bisa
membantu melawan pengaruh itu sendiri.
2.4 Situasi Sosial
Situasi Sosial adalah suatu kondisi tertentu di mana berlangsung
hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain atau terjadi
saling hubungan antara dua individu atau lebih.
Menurut M Sherif, situasi sosial dapat dibagi ke dalam dua golongan
:
1.
Situasi
kebersamaan
Situasi
kebersamaan didefinisikan sebagai suatu situasi berkumpulnya sekumpulan
individu secara bersama-sama. Situasi kebersamaan menimbulkan kelompok
kebersamaan, yaitu suatu kelompok individu yang berkumpul pada suatu ruang dan
waktu yang sama, tumbuh dan mengarahkan tingkah laku secara spontan. Kelompok
ini sering juga disebut massa atau crowd. Menurut Kinch ciri-ciri massa adalah:
•
Bertanggung jawab dalam waktu yang relatif pendek;
• Pesertanya berhubunga secara fisik (misal berdesak-desakan);
• Kurang adanya autran yang terorganisir;
• Interaksinya bersifat spontan.
• Pesertanya berhubunga secara fisik (misal berdesak-desakan);
• Kurang adanya autran yang terorganisir;
• Interaksinya bersifat spontan.
Brown membagi kerumunan massa/ crowd menjadi dua golongan, yaitu
Mobs dan Audience. Mobs merupakan suatu kerumunan aktif yang meyebabkan
kerusakan-kerusakan, sedangkan audience merupakan terbentuknya kelompok karena
adanya penggerak yang sama.
2.
Situasi
kelompok sosial
Situasi
kelompok sosial didefinisikan sebagai suatu situasi ketika terdapat dua
individu atau lebih mengadakan interaksi sosial yang mendalam satu sama lain.
Situasi kelompok sosial ini akan melahirkan terbentuknya kelompok sosial,
artinya suatu kesatuan sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih individu
yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur,
sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur,
norma-norma tertentu.
Menurut Sherif kelompok
sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu
yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur,
sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan
norma – norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.
Sedangkan menurut
Roland Freedman kelompok sosial adalah organisasi terdiri atas dua atau lebih
individu yang tergantung oleh ikatan – ikatan suatu sistem ukuran – ukuran
kelakuan yang diterima dan disetujui oleh semua anggotanya. Menurut Park dan
Burgess kelompok adalah sekumpulan orang yang memiliki kegiatan yang konsisten.
Sedangkan menurut Gidding kelompok sosial timbul karena adanya consciousness
of kind, kesadaran atas barang pada jiwa manusia. Menurut paham
fungsionalisme dalam antropologi yang dipelopori oleh Malinowski bahwa
pertimbangan untuk membentuk kelompok sosial adalah adanya fungsi, adanya
tujuan dari pada kelompok sosial. Tujuannya berupa tujuan bersama, misalnya
pada kelompok berburu.
Jadi kelompok –
kelompok sosial tersebut adalah himpunan atau satu kesatuan manusia yang hidup
bersama dan adanya hubungan diantara mereka. Hubungan tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan suatu kesadaran
untuk saling tolong – menolong serta adanya organisasi antara anggotanya.
Kelompok
sosial secara umum diikat oleh faktor-faktor berikut ini:
• Bagi anggota kelompok, suatu tujuan yang realistis, sederhana, dan memiliki nilai keuntungan bagi individu;
• Masalah kepemimpinan dalam kelompok cukup berperan dalam menentukan kekuatan ikatan antar anggota;
• Interaksi dalam kelompok secara seimbang merupakan alat perekat yang baik dalam membina kesatuan dan persatuan anggota.
• Bagi anggota kelompok, suatu tujuan yang realistis, sederhana, dan memiliki nilai keuntungan bagi individu;
• Masalah kepemimpinan dalam kelompok cukup berperan dalam menentukan kekuatan ikatan antar anggota;
• Interaksi dalam kelompok secara seimbang merupakan alat perekat yang baik dalam membina kesatuan dan persatuan anggota.
Adapun kelompok sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Terdapat motif-motif yang sama
Terbentuknya kelompok sosial itu
adalah ialah karena bakal anggotanya berkumpul untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang dengan kegiatan bersama lebih mudah dan dan dapat di capai dari
pada atas usaha sendiri. Jadi, dorongan atau motif bersama itu menjadi pengikat
dan sebat utama terbentuknya kelompok sosial. Tanpa motif yang sama antara
sejumlah individu itu sukar sukar untuk terbentuk suatu kelompok sosial.
Tetapi tidak hanya motif yang sam
itu saja yang dapat mengikat dan membentuk sejumlah orang menjadi suatu
kelompok sosial, sebab adanya suatu motif yangg sama itu harus disertakan
kesadaran bahwa tujuan-tujuan tersebut haruslah dicapai dengan kerja sama
anatara orang-orang yang bermotif sama. Apabila tidak adanya kesadaran tersebut,
maka tujuan yang sama itu akan dikejar sendir-sendiri. Hal tersebut akan
menimbulkan suatu prcekcokan dan terpecahnya kelompok.
Tujuan-tujuan bersama yang diusahakan
oleh kelompok sosial bermacam-macam jenisnya, misalnya keuntungan ekonomis
seperti upada usaha koperasi dalam memberi barang konsumsi bersama. Dapat pula
tujuan bersama itu berupa tujuan politik, tujuan ilmiah, dan lainnya.
Setelah suatu kelompok terbentuk,
biasanya lambat laun timbul pula motif-motif baru kelompok serta tujuan-tujuan
tambahan yang semuanya dapat memperkokoh kehidupan kelompok itu. Hal ini dapat
kita amati, misalnya, pada kelompok mahasiswa dari sebuah fakultas yang baru
didirikan. Mahasiswanya lalu membentuk kelompok sosial terdorong oleh tujuan
bersama, yaitu untuk bekerjasama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam
menuntut pelajarannya. Titik berat dalam usaha bersama mereka itu pada mulanya
ialah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hal belajar di fakultas
tersebut, misalnya mengusahakan buku-buku dan diklat-diklat bersama. Tetapi,
sesudah satu atau dua tahun berdirinya fakultas, timbullah tujuan-tujuan
tambahan, yaitu merayakan dies natalis secara meriah, mengadakan
pawai-pawai, dan lain-lain, yang sebenarnya bukan lagi kegiatan-kegiatan khusus
dari kelompok belajar yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
belajar itu.
Timbulnya motif-motif baru kerap
kali terjadi dalam kehidupan kelompok dan mempunyai peranan yang khusus, yakni
untuk memperoleh interaksi antara anggota kelompok serta memperkuat kehidupan
kelompok pada umumnya.
Pengaruh kehidupan kelompok yang
makin kokoh terhadap kegiatan individu anggotanya ialah, bahwa pada mereka akan
timbul suatu sense of belongingness, yang ternyata mempunyai arti yang
cukup mendalam pada kehidupan individu. Sense of belongingness itu
merupakan peranan sikap bahwa ia termasuk dalam suatu kelompok sosial, di
dalamnya ia mempunyai peranan tugas sehingga ia pun merasa semacam kepuasan
dirinya bahwa ia berharga sebagai anggota kelompok tersebut. Kepuasannya ialah
bahwa, ia sebagai makhluk sosial di dalam kelompoknya telah memperoleh peranan
sosial yang juga berdasarkan usaha-usahanya untuk menyumbangkan sesuatu demi
kepentingan kelompoknya.
b.
Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan
yang berlainan antar anggota kelompok.
Dalam
menguraikan pasal ini oleh Sherif dan kawan-kawan ditandaskan bahwa situasi
sosial, baik situasi kebersamaan maupun situasi kelompok, pada dirinya sendiri
sudah mempunyai pengaruh berlainan terhadap tingkah laku individu dibandingkan
dengan kebiasaan tingkah laku individu itu dalam keadaan sendiri. Dalam
hal itu tampak betapa mudahnya berlangsungnya imitasi dan sugesti pada umumnya
dalam situasi tersebut. Demikian pula dalam terbentuknya kelompok sosial
yang beralih dari suatu kebersamaan. Dengan demikian situasi sosial itu dapat
merangsang reaksi-reaksi berlainan dari individu-individu yang bakal menjadi
anggota kelompok. Dari berlainan kecakapan-kecakapan atas dasar
perbedaan-perbedaan dalam kemampuan-kemampuan antar anggoata kelompok yang
dirangsang oleh situasi sosial itu, maka terjadilah pembagian tugas yang
khas antara anggota-anggotanya sesuai dengan kecakapannya untuk turut
merealisasikan tujuan kelompok secara kerja sama. Demikianlah
lambat-laun terjadi struktur kelompok yang khas serta norma-norma dan
pedoman-pedoman pelaksanaan kegiatan kelompok serta makin menegas berdasarkan
reakasi-reaksi dan kecakapan yang berlainan.
c.
Terdapat penegasan struktur kelompok
Struktur kelompok ialah suatu sistem yang cukup tegas mengenai
hubungan-hubungan anatara anggota-anggota kelompok berdasarkan peranan,
status-status mereka sesuai dengan sumbangan masing-masing dalam interaksi
kelompok ke tujuannya.
Pembagian tugas-tugas dan koordinasi antara tugas-tugas tiap anggota lambat
laun akan akan terbina mengenai pengharapan-pengharapan yang timbal balik
anatar anggotan, bahwa tugas-tugas yang diserahkan masing-masing juga kan di
selesaikan dengan sebaik-baiknya. Nah kejelasan mengenai pembagian
tugas-tugas itulah yang akan mengarahkan pada penegasan fungsi dan peran para
anggota-anggotanya.
d.
Terdapat penegasan norma-norma
kelompok
Bersamaan dengan terbentuknya struktur dalam interaksi kelompok,
terbentuklah norma-norma tingkah laku yang khas antara anggota-anggota
kelompoknya. Norma kelompok tersebut bukanlah norma statis atau angka rata-rata
mengenai tingkah laku yang sebenarnya terjadi dalam kelompok itu,
melainkan merupakan pedoman-pedoman untuk mengatur pengalaman dan tingkah
laku anggota kelompok dalam bermacam-macam situasi sosial yang bersangkutan
dengan kelompok.
Norma
kelompok ialah pengertian yang seragam mengenai cara-cara tingkah laku yang
patut dilakukan oleh anggota kelompok apabila terjadi sesuatu
yang bersangkutpaut dengan kehidupan kelompok. Norma dalam suatu kelompok ada
yang tertulis dana ada juga yang tidak, biasanya sesuai jenis kelompoknya.
Kalau kelompok resmi pasti tertulis namun bila kelompok tak resmi maka
kebanyakan tidaka tertulis. Jadi norma-norma kelompok itu berkenaan
dengan cara-cara tingkah laku yang diharapkan dari semua anggota kelompok
dalam keadaan yang berhubungan dengan kehidupan dan tujuan interaksi kelompok.
Norma kelompok informal biasanya
terealisasikan dalam bentuk pengertian satu sama lain terhadap prilaku yang
ada. Sedangkan kelompok formal mempunyai norma-norma tertulis tentang prilaku
semua anggotanya.
Norma sosial merupakan adalah
patokan umum mengenai tingkah laku dan sikap individu anggota kelompok yang
dikehendaki oleh kelompok mengenai bermacam-macam hal yang berhubungan dengan
kehidupan kelompok yang melahirkan norma-norma tingkah laku dan sikap-sikap itu
mengenai segala situasi yang dihadapi oleh anggota-anggota kelompok.
2.5 Klasifikasi
Kelompok Sosial
• Charles H. Cooley membagi kelompok
sosial menjadi:
1). Kelompok
primer (primary group), suatu kelompok yang anggota-anggotanya mempunyai
hubungan/interaksi yang lebih intensif dan lebih erat antar anggotanya. Contoh:
keluarga, rukun tetangga, kelompok kawan sepermainan.
2). Kelompok
sekunder (secondary group), suatu kelompok yang anggota-anggotanya saling
mengadakan hubungan yang tidak langsung, berjauhan (pertemuan tidak harus face
to face) dan formal, dan kurang bersifat kekeluargaan. Contohnya: partai
politik, dan perhimpunan serikat kerja.
• Moreno
membagi kelompok sosial menjadi:
1). Psikhe
group, beberapa orang yang berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai
kesadaran psikologis dan menerima mereka sebagai kelompok.
2). Socio
group, berhubungan dengan posisi sosial, aturan dan status dari anggota
kelompok.
• Crèch dan Curtchfield membagi kelompok sosial menjadi:
• Crèch dan Curtchfield membagi kelompok sosial menjadi:
1). Kelompok
stabil, kelompok yang strukturnya terus tetap, tidak berubah dalam jangka waktu
yang relatig lama.
2). Kelompok tidak stabil, kelompok
yang mengalami perubahan progresif meskipun tanpa terdapat variasi-variasi yang
cupuk penting dari situasi eksternal.
• French membagi kelompok sosial
menjadi:
1). Kelompok
terorganisir, kelompok yang menunjukkan secara tegas, lebih memiliki kebebasan
sosial, perasaan kita, saling ketergantungan, kesamaan berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok, motivasi, frustasi dan agresi terhadap anggota kelompok yang
lain.
2). Kelompok
tidak terorganisir, kelompok yang sedikit sekali kemungkinan bahwa individu
akan dipengaruhi oleh apa yang dikerjakan orang lain.
• Ferdinand Tonnies membagi kelompok sosial menjadi:
1). Gemeinschaft (Paguyuban), kelompok
sosial ini digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim dan pribadi, yang
merupakan suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir.
Gemeinschaft dibagi atas tiga tipe, yaitu
gemeinscharft by blood, gemeinschaft of place, dan gemeinschaft of mind.
a) Gemeinschaft by blood, adalah paguyuban yang mengacu pada kekerabatan, atau di dasarkan pada ikatan darah atau keturunan.
b) Gemeinschaft of place, adalah paguyuban yang mengacu pada kedekatan tempat, sehingga dapat saling bekerja sama dan tolong-menolong.
c) Gemeinschaft of mind, adalah paguyuban yang mengacu
pada hubungan persahabatan karena persamaan minat, hobi, profesi, atau
keyakinan. Misalnya kelompok agama.
2). Gesellschaft (Patembayan), adalah ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu Bentuk dalam pikiran belaka, dan strukturnya bersifat mekanis. Bentuk patembayan terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik misalnya ikatan antarpedagang, organisasi pegawai dalam suatu pabrik atau industri.
• Berdasarkan tingkat keformalan
kelompok sosial dibagi menjadi:
1). Kelompok
formal/kelompok resmi, yaitu suatu kelompok yang sengaja dibentuk untuk
pelaksanaan dan realisasi tugas tertentu, anggota-anggotanya diangkat dan
dilegimitasi oleh suatu badan/organisasi. Kelompok ini ditandai dengan adanya
peraturan serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Contohnya adalah
komite, panitia, organisasi pemuda.
2). Kelompok
informal, yaitu kelompok yang terbentuk dari proses interaksi, daya tarik dan
kebutuhan-kebutuhan seseorang. Anggota kelompok tidak diatur dan diangkat atau
dilegalisasikan dalam pernyataan normal. Kelompok ini tidak didukung oleh
peraturan atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Kelompok ini bisa berkembang
dalam kelompok formal, karena adanya beberapa anggota yang secara tertentu
memiliki nilai-nilai yang perlu dibagi dengan sesama anggota.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
· Pengaruh sosial (social
influence) adalah usaha yang dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah
sikap, belief, persepsi atau tingkah laku orang lain.
·
Ada dua alasan mengapa kita
bisa menerima pengaruh dari orang lain, yaitu: 1) pengaruh normatif, merundingkan atau mengonsultasikannya dengan perilaku orang lain dan 2) pengaruh
informasional, kita mengubah pikiran dan tindakan karena orang lain
telah menunjukkan kita cara/jalan yang lebih baik atau mereka memberi informasi
yang berguna.
·
Ada
tiga bentuk pengaruh sosial, yaitu 1) konformitas (conformity), suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah
laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada, 2) kesepakatan (compliance),
yaitu suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan langsung dari
seseorang kepada orang lain, atau usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata
ya terhadap berbagai macam permintaan, dan 3) kepatuhan (obedience),
yaitu keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau
memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya.
·
Situasi
Sosial adalah suatu kondisi tertentu di mana berlangsung hubungan antara
individu yang satu dengan individu yang lain atau terjadi saling hubungan antara
dua individu atau lebih. Sherif membagi situasi sosial menjadi dua:
1.
Situasi
kebersamaan, didefinisikan sebagai suatu situasi berkumpulnya sekumpulan
individu secara bersama-sama. Situasi kebersamaan menimbulkan kelompok
kebersamaan;
2.
Situasi
kelompok sosial, didefinisikan sebagai suatu situasi ketika terdapat dua
individu atau lebih mengadakan interaksi sosial yang mendalam satu sama lain.
Situasi kelompok sosial ini akan melahirkan terbentuknya kelompok sosial. Adapun
ciri-ciri utama kelompok sosial, yaitu:
a. Terdapat motif-motif yang sama;
b. Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antar anggota
kelompok;
c. Terdapat penegasan struktur kelompok;
d. Terdapat penegasan norma-norma kelompok.
· Secara garis
besar kelompok sosial dibagi menjadi dua, yaitu kelompok primer dan kelompok
sekunder. Sedangkan bila dilihat dari tingkat keformalannya, kelompok sosial
dibagi menjadi dua, yaitu kelompok formal dan kelompok informal
3.2 Saran
Setelah membaca uraian di atas, diharapkan kepada
pembaca menngetahui akan berpengaruhnya
keberadaaan orang lain di sekitar kita, karena orang lain di sekitar
kita bisa memberikan pengaruh postif maupun pengaruh negatif. Untuk itu,
diharapkan kepada pembaca bisa menyaring mana pengaruh yang baik, mana yang
pengaruh yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A & Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial Edisi
Kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika
Aditama.
Sarwono, W. Sarlito & Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Taylor, E. Shelley., Letitia A Peplau., David O Sears. 2009. Psikologi
Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana.
SANGAT BERMANFAAT
BalasHapusMy blog
terimaksaih
BalasHapus