PERBEDAAN
PENDAPAT PARA ULAMA (IKHTILAF AL-ULAMA)
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN
GUNUNG DJATI ABNDUNG)
PERBEDAAN
PENDAPAT PARA ULAMA (IKHTILAF AL-ULAMA)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam
dinamika kehidupan. Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang Maha
Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu,
perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari
perbedaan. Allah berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu” (QS 5:48).
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan
rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah
dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang
kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita
lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran
begitu mudah kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan
mengabaikan akhlakul karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal
kapabilitasnya dalam ilmu, namun begitu, celakanya, ada juga di antara mereka
yang berdebat tanpa mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal
berilmu. Betapa banyak kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan ulama
sampai kalangan awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh rendah
. Di antara sekian banyak "asbab
al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan
pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub
mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri
"menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata
perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil
dihapus.
Sejalan dari uraian di atas, maka
kami tertarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun
sebuah makalah yang berjudul Perbedaan Pendapat Para Ulama.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul
Perbedaan Pendapat Para Ulama.
1. Apa
pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama)?
2. Bagaimana
klasifikasi ikhtilaf para ulama?
3. Apa
sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama?
4. Apa faedah mengetahui
sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama?
5. Apa hikmah
adanya perbedaan pendapat para ulama?
6. Bagaimana
cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian
perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama);
2. Untuk
mengetahui klasifikas ikhtilaf para ulama;
3. Untuk mengetahui sebab-sebab
perbedaan pendapat para ulama;
4. Untuk mengetahui faedah
mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama;
5. Untuk mengetahui hikmah adanya perbedaan
pendapat para ulama;
6. Untuk mengetahui cara menyikapi
perbedaan pendapat para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perbedaan Pendapat Para Ulama (Ikhtilaf al- Ulama)
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang
mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil
tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan
hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah
ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak
adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa
Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak
sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang
mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode
atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa
ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara
pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang
alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.
Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji)
dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya
didorong hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang
dianggap lebih shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah
ketika seorang alim berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari
kebenaran. Dalam definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan
ikhtilafnya orang bodoh lantaran ikhtilafnya tidak dianggap sebagai ikhtilaf
syar’i. Sementara batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan
pendapat yang hanya didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan
tidak menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan
di antara dua orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan.
Meskipun secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki
perbedaan, tetapi secara substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam
Al-Jurjani dalam karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy
Tunkara- lebih suka menggunakan term khilaf, namun makna yang dikehendaki tetap memiliki
kesamaan. Demikian juga Yasin Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan
term khilaf. Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina
al-Muslimin”, sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam penggunaan istilah. Dalam satu sub pembahasan
ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang lain ia menyebut
khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari anggapannya yang
tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf. Ahmad Warson,
dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan antara khilaf dan
ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan faham.
Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”,
menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf yang mempunyai makna perbedaan ucapan.
pendapat, keadaan maupun sikap. Dengan demikian secara isti’mal, mayoritas
fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf .
Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara
makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap
wajar.
Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam “Fath
al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn ‘Abidin”
disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf.
Ketika perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka
perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan
pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf.
Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term
tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang
marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat),
namun bila dalam perbedaan pendapat itu
tidak ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut
sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah
satu pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap
sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.
2. 2 Klasifikasi
Ikhtilaf Para Ulama
Ikhtilaf (perbedaan) bisa
dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk
kategori tafarruq (perpecahan)
dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta
meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat
manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur
pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki
wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir. Kedua,
ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan
dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi
lagi menjadi dua:
1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka
pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut
dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang
melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa
dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’
wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan
mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah
(Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan
perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut
tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang
diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan
hati. Dan ikhtilaf jenis
inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”,
Syaikh Yasir Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf
tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
Pertama, ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan
yang sebenarnya, antara pendapat yang satu dengan yang lain tidak bertentangan.
Pendapat-pendapat tersebut semuanya dianggap pendapat yang benar. Artinya,
dalam ikhtilaf jenis ini terdapat banyak pendapat yang benar namun berbeda dari
segi bentuk saja. Perbedaan pendapat jenis ini seperti yang terjadi pada
perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bacaan tasyahud, kalimat dzikir dan
sebagainya. Dalam surat al-Fatihah, ada yang membaca “Maaliki yaumi ad-din”
dan ada juga yang membaca “maliki yaumi ad-din”. Keduanya dianggap
sama-sama benar dan boleh diamalkan. Demikian juga yang terjadi pada kasus
tasyahud. Terdapat beberapa jenis bacaan tasyahud, di antaranya adalah tasyahud
versi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Umar ibn Khattab. Semuanya dianggap bacaan
shahih yang boleh diamalkan. Demikian juga ikhtilaf dalam hal bacaan doa
iftitah. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa doa iftitah berbunyi:
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِب
اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الْخَطَايَا كَمَا
يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالْبَرَدِ.
Doa ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah
bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat
setelah melakukan takbir dalam shalat. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat
bahwa doa iftitah adalah:
إني وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، قل إِنَّ
صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا
شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
Doa tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn Abi
Thalib bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan iftitah
dalam shalat. Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-sama
ma’tsur dan boleh diamalkan.
Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu ikhtilaf yang antara satu pendapat
dan lainnya saling bertentangan. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua yakni
ikhtilaf Sa’igh ghairu Madzmum (
boleh dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan
tercela). Ikhtilaf tadladud jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan
furu’iyah (partikular syariat), yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis
bukan masalah i’tiqadiyah (keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang
lebih tepat adalah membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang
tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang
berkaitan dengan masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan
persoalan i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada
masalah i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti)
sehingga kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal
fiqih yang sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya
dalil dhanni inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini
adalah ikhtilaf wajar yang tidak tercela.
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud yang kedua yakni perbedaan
pendapat yang tidak diperbolehkan sekaligus tercela adalah perpedaan dalam
masalah-masalah ushuluddin
yang lebih populer dengan masalah pokok atau akidah. Namun, menurut syekh
Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan adalah ikhtilaf yang bertentangan
dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik masalah tersebut masuk
dalam wilayah furu’ (partikular syari’at) maupun ushuluddin (pokok
agama/akidah).
2.3 Sebab-sebab
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Sebagaimana
yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa
perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak
bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya
perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat tersebut adalah:
1. Adanya
perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya
berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan
manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak
mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang
berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2. Adanya
pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi
mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer
syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal
pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-kata
musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya
adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban membasuh
kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada
siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena
lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama/ikut
serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut
terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).
3. Adanya
perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk kemaslahatan
umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung apa yang disebut
sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan maslahah
ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat perbedaan adat
istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi. Bahkan, lantaran
begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan maslahah ini, imam
Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua
pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul
jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi
perbedaan pendapat.
4. Adanya
perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian
besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya
memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid.
Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis
dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak
mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat
mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil
lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan
kemutlakannya.
5. Adanya
perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4,
yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Tetapi pada kenyataannya masih
ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu
sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut mazhab Dawud
az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa pendapat
yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan maksud
Tuhan dengan hanya berdasar pradugaa. Pada kasus yang lain, didapati bahwa imam
Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna metode istihsan. Di
dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada mazhab Hanafiyah banyak dijumpai
redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa
istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam masalah ini adalah begini dan
secara istihsan adalah seperti ini). Mereka menjadikan istihsan sebagai sumber
hukum kelima setelah empat sumber yang telah disepakati. Bahkan, sebenarnya
istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas khafiy atas qiyas jaliy. Sementara
itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama mazhab yang menentang konsep istihsan.
Ia pun tak segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa
yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan
sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi
hukum yang dihasilkan.
6. Adanya
perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi
kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya
kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah
sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama
dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu
sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang
terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan
hukum. Problem seperti ini juga pada
akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7. Adanya
perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama.
Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara.
Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan
sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah tertentu,
namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah ushul “Ma
la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban yang tidak
bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka pekerjaan itu
menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah dalam
menetapkan suatu hukum. Wudlu misalnya, hukum asal wudlu sebenarnya adalah
mubah, tetapi di satu sisi wudlu merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan
ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudlu menjadi ikut wajib. Mayoritas
ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat nash yang
menyinggung permasalahan wudlu. Akan tetapi ketika kaidah tersebut dibenturkan
dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat mutlak,
tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang tidak
menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala demi
kesempurnaan membasuh wajah dalam wudlu.
8. Adanya
perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu
Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan
pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-imam
mazhab. Sering dijumpai perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut
mazhab meski sama-sama berafiliasi dalam satu mazhab. Imam Nawawi, salah
seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata
memiliki pandangan dengan imam Nawawi yang notabene adalah pengikut mazhab
Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam
mazhab-mazhab yang lain.
Ulama lain berpendapat bahwa dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i
tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang
ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat
Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan
mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi
perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan
karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan
dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan
antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam
masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas,
istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan,
situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di
kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i
tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor
manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di
madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad
Iraq) dan qaul jadiid (pendapat
baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab
Imam Ahmad rahimahullah,
dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu.
Salah satu
penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh
Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an. Al-Qur'an
merupakan pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka
seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada
sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti
suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata
Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan
masa kotor.
Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt
tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'.
kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih
kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata
"quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata
"quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya.
Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya
perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud
dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg
ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain,
memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai
haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda
pendapat dalam hal ini.
b. Susunan
ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf
"fa", "waw", "aw", "illa",
"hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua
fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib
dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf
"FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan
menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah
'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan
isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak.
Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk
menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan
memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan
nasikh-mansukh.
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan
ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah
(atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah
melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud
adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya,
lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi
al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata
"amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat
(makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh
yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan
"ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"
itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke
dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat
sebagai berikut:
Ø lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
Ø lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
Ø lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
Ø lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad,
nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk
memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena
itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan
larangan
Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr"
(perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
Ø al-aslu fil amri
lil wujub : (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
Ø al-aslu fil amri li
an-nadab : (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
Ø al-aslu fil amri
lil ibahah : (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan)
Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah)
menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu
maa thaba lakum minn nisa" (nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai)
juga menggunakan bentuk perintah. Para ulama ada yang memandang bahwa itu
adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yang memandang sunnah (jumhur ulama).
2.4 Faedah Mengetahui Sebab Terjadinya Perbedaan
Pendapat Para Ulama
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
para Imam Mazhab dan para ulama’
fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid buta, karena
kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran
mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan
terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan.
Di samping dari itu apabila diketahui bahwa sebab yang
menimbulkan perbedaan tersebut kurang tepat dijadikan alasan, maka akan
diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang tepat. Sebagaimana telah
diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah hadits. Sedangkan
hadist dikala itu masih belum dibukukan. Jadi bila ternyata ada fatwa sahabat
atau generasi sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja karena tidak ditemukan
hadits dalam suatu masalah, maka dengan adanya hadits shahih yang bertalian
dengan masalah tersebut, tentu hukum yang mereka telah tetapkan boleh ditinjau
kembali dan tidak perlu dicari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena
mereka sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadits (nash) terutama yang shahih
maka ra’yu harus dikesampingkan.
Menurut Abdul Wahhab Afif, faidah
mempelajari ikhtilaf adalah sebagai berikut:
1. Dengan
mempelajari dalil-dalil ulama dalam menyampaikan suatu masalah fiqhiyah
(ijtihadiyah), ia akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan
meyakinkanakan ajaran agamanya.
2. Akan menjadi
kelompok yang benar-benar menghormati semua imam mazhab, tanpa membedakan satu
dengan yang lainnya, karena pandangan dan dalil yang dikemukakan pada
hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad
3. Dengan
memperhatikan landasan berfikir mereka mengenai dalil/alasan, seorang muqarin
dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka tidak keluar dari mushaf al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
saw dengan perbedaan interpretasi, atau mereka mengambil Qiyas, maslahah
mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam nushus syari’at Islam dalam
dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada dalam masyaarakat, baik yang
bersifat ibadah maupun muamalah.dengan demikian, muqarin memahami bahwa
kehidupan sehari-hari dari penganut mazhab lain itu bukan diatur oleh hukum
diluar Islam, sehingga ia tidak mengkafirkannya.
Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengetahui sebab-sebab terjadinya
perbedaan pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat penting untuk
membentu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui yang
mereka gunakan serta jalan pikiran mereka dalam menetapkan hukum pada suatu
masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam
studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti system dan cara yang lebih
baik serta tepat dalam menetapkan hukum, jugs umtuk mrngembanngkan kemampuan
dalam hukum fikih, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
2.5 Hikmah Adanya Perbedaan Pendapat Para Ulama
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika
didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya
jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu
dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf
itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir;
3. Memberikan
kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat
dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar
mereka.
Perbedaan pendapat dalam menetapkan sebagian hukum pada masalah furu’ suatu
kemestian. Sehubungan dengan ini, DR. Yusuf Al-Qardhawi yang dikutip dari buku
Studi Perbandingan Mazhab kerya Huzaemah Tahido Yanggo, mengomentari, bahwa
orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat, tentang ibadat,
muamalat, dan cabang agama lainnya, handaknya ia mengetahui dan menyadari,
bahwa sebenarnya mereka menginginkan suatu yang nihil. Karena perbedaan dalam
memahami hukum-hukum syari’atyang tidak prinsipal itu adalah suatu kemestian
(darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih jauh beliau mengemukakan beberapa
faktor adanya kemestian dari hal tersebut, antara lain:
1. Tabiat Agama
Allah SWT menghendaki diantara
hukum-hukumnya ada yang dijelaskan secara eksplisit dan secara
implisit.diantara yang ditegaskan secara eksplisitpun ada hal-hal yang
berrsifat qath’iyyah (pasti) dan Zhanniyah (tidak pasti) serta sharih (jelas)
dan mu’awwal (kemungkinan adanya interpretasi). Berkenaan dengan hal yang
memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka kita dituntut untuk melakukannya.
Sedangkan berkenaan dengan hal-hal yang tidak memungkinkannya, kita dituntut
untuk menerima dan meyakininya (ta’abbudi).
2. Tabiat
bahasa
Al-Qur’an adalah wujud ilahi yang
diaplikasikan ke dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal.demikian pula sebagian
sunnah dalam memahami teks-teks al-Qur’an dn Sunnah, harus mengikuti
kaidah-kaidah bahasanya. Dalam bahasa al-Qur’an ada lafal yang multi-makna
(msytarak), ‘am (umum, khas (khusus), muqayyad, dan mubayyan.
3. Tabiat
manusia
Allah SWT menciptakan manusia dalam
bentuk yang beragam. Setiap insan berbeda dalam bentuk wajahnya, tekanan
suaranya, sidik jarinya dan sebagainya. Demikian juga dengan pola pikirnya,
kehendaknya, profesinya, sikap, krcenderungan, dan lain sebagainya.
Sehubungaa dengan masalah di ataws, IbnuTaimiyah pernah ditanya tentamg
seseorang yang mengikuti sebagian ulama dalam masalah ijtihadiyah. “apakah ia
harus diingkari?” jawabnya . Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah,
seseorang yang dalam persoalan ijtihadiyah yang mengamalkan sebagian pendapat
ulama, tidak boleh dihindari ataupun diingkari, demikian orang yang mengamalkan
salah satu dari dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana yang lebih
akurat, boleh beraamal sesuai keyakinannya, tetapi kalau tidak, maka dia boleh
beramal sesuai pendapat ulama yang dapat dipercayadalam menjelaskan pada
kondisi lingkungan dan sosial tertentu.Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa
Allah SWT telah menentukan sifat krelemturan, fleksibilitas, dan keluwesan yang
menakjubkan, sehingga membuat syari’ah Islam daapat dijadikan sebagai rahmat
bagi ummatnya. Orang yang mempelajari syari’at dan fikih, akan merasajkan
luasnya ruang kemaafanatau ruaaaang kosong yang disengajakosong oleh nashg-nash
Agamadibiarkan demikian sebagai ruang kosong bagi para mujtahid untuk diidsi
dengan hal-hal yang lebih baik bagi ummat, sesuai dengan zaman dan kondisinya,
dengan selalu mempelajari tujuan-tujuan (maqashid) syari’at yang umum.
Jumhur ulama, baik dari kalangan salaf maupun dari kalangan khalaf telah
memahami hakikat perbadaan pendapat dan hikmahmya. Mereka bahkan menuliskan
buku-buku tentang hikmah perbedaan pendapat dalam berfikih
2.6 Cara
Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Ulama
1.
Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal
dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat
sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar,
tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.
Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil
seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti
itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah
yang ada.
3.
Memahami ikhtilaf dengan
benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan
ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap
mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah
wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan
dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai
hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah rahmat), bukanlah shahih
sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi
dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya
adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam
masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul
Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi
Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
4.
Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka
dalam ber-ikhtilaf. Sehingga
dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan
kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan
timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para
imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam
ber-ikhtilaf, serta dalam
menyikapi para mukhalif (kelompok
lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5.
Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan
mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan
metodologi (manhaj) ilmiah yang
diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun
para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan
yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam
terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting
dalam ber-taqlid pada siapa
saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak
berdasarkan hawa nafsu.
6.
Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat
personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan
pendapat atau madzhab yang rajih (yang
kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal
pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal
khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah
khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.
Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan
kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan
bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah
khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan
sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan,
kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap
toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan
melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8.
Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan)
atau tatharruf (ekstrem),
misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah
ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap
yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama
salaf).
9.
Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati
atas masalah-masalah furu’ yang
diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan
mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf
yang terjadi dalam masalah-masalah furu’
ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam
masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) dan
bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) sebagai standar dan
parameter komitmen dan ke-istiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan
misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau
tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan
dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu,
sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab
atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit
jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya
serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia
dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan
madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah. Tidak. Itu
semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan
ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang
istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab
atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan
berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah
ijtihadiyah adalah merupakan bagian
dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri.
12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan
keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan
perpecahan (ikhtilafut- tafarruq),
yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai
kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok
lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin
diperlakukan dan disikapi. Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang
lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan
yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau
madzhabmu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari
akar kata khalafa yang mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa
bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga
huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa
yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam
al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan).
·
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful
qulub (perbedaan dan perselisihan
hati). Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman). Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh
Yasir Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf
tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
·
Di antara faktor yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1. Adanya
perbedaan watak dan karakter manusia;
2. Adanya
pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda;
3. Adanya
perbedaan penetapan maslahah;
4. Adanya
perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif);
5. Adanya
perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i;
6. Adanya
perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah;
7. Adanya
perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah;
8. Adanya
perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu.
·
Mengetahui sebab-sebab
terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar
dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka
pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah.
Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi
tentang hal yang diperselisihkan.
·
Ikhtilaf yang mengikuti
ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal
berikut yaitu:
1. Niatnya
jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil
dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf
itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir;
3.
Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda
pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan
diseputar mereka.
· Cara
menyikapi perbedaan pendapat para ulama, anatar lain:
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal
dan akhlaq secara proporsional;
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil
seperti masalah-masalah khilafiyah;
3. Memahami ikhtilaf dengan
benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat.
3.2 Saran
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan
rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah
dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu
kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak
jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan
pengkafiran begitu mudah kita dengar.
DAFTAR
PUSTAKA
Afif, Abdul Wahhab. 1995. Pengantar Studi Perbandinga Mazhab. Jakarta:
Darul Ulum Press.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqh al-Islami.
Beirut: Dar al-Fikr.
Husain Barhami, Yasir. 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin.
Kairo: Dar al-Aqidah.
Pembukuan Manhaji, Team, 2003. Paradigma Fiqih Masail,
Kediri: Lirboyo.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2011. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta:
Gaung Persada Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar