Minggu, 16 April 2017

MAKALAH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA (IKHTILAF AL-ULAMA)



PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA (IKHTILAF AL-ULAMA)
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI ABNDUNG)
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA (IKHTILAF AL-ULAMA)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan. Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48).
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu, namun begitu, celakanya, ada juga di antara mereka yang berdebat tanpa mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal berilmu. Betapa banyak kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan ulama sampai kalangan awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh rendah
. Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Perbedaan Pendapat Para Ulama.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Perbedaan Pendapat Para Ulama.
1. Apa pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama)?
2. Bagaimana klasifikasi ikhtilaf para ulama?
3. Apa sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama?
4. Apa faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama?
5. Apa hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama?
6. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama);
2. Untuk mengetahui klasifikas ikhtilaf para ulama;
3. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama;
4. Untuk mengetahui faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama;
5. Untuk mengetahui hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama;
6. Untuk mengetahui cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perbedaan Pendapat Para Ulama (Ikhtilaf al- Ulama)
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.
Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji) dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya didorong hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang dianggap lebih shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah ketika seorang alim berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari kebenaran. Dalam definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilafnya orang bodoh lantaran ikhtilafnya tidak dianggap sebagai ikhtilaf syar’i. Sementara batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan pendapat yang hanya didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara- lebih suka menggunakan term khilaf, namun  makna yang dikehendaki tetap memiliki kesamaan. Demikian juga Yasin Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan term khilaf. Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”, sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam  penggunaan istilah. Dalam satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf. Ahmad Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan faham. Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”, menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf  yang mempunyai makna perbedaan ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap. Dengan demikian secara isti’mal, mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf . Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap wajar.
Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam “Fath al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn ‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf. Ketika perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf. Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat), namun  bila dalam perbedaan pendapat itu tidak ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.

2. 2 Klasifikasi Ikhtilaf Para Ulama
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1.   Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2.   Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
Pertama, ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan yang sebenarnya, antara pendapat yang satu dengan yang lain tidak bertentangan. Pendapat-pendapat tersebut semuanya dianggap pendapat yang benar. Artinya, dalam ikhtilaf jenis ini terdapat banyak pendapat yang benar namun berbeda dari segi bentuk saja. Perbedaan pendapat jenis ini seperti yang terjadi pada perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bacaan tasyahud, kalimat dzikir dan sebagainya. Dalam surat al-Fatihah, ada yang membaca “Maaliki yaumi ad-din” dan ada juga yang membaca “maliki yaumi ad-din”. Keduanya dianggap sama-sama benar dan boleh diamalkan. Demikian juga yang terjadi pada kasus tasyahud. Terdapat beberapa jenis bacaan tasyahud, di antaranya adalah tasyahud versi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Umar ibn Khattab. Semuanya dianggap bacaan shahih yang boleh diamalkan. Demikian juga ikhtilaf dalam hal bacaan doa iftitah. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa doa iftitah berbunyi:
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِب
 اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.                                               

Doa ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat setelah melakukan takbir dalam shalat. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa doa iftitah adalah:

إني وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، قل إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
Doa tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan iftitah dalam shalat. Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-sama ma’tsur dan boleh diamalkan.
Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu ikhtilaf yang antara satu pendapat dan lainnya saling bertentangan. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf  Sa’igh ghairu Madzmum ( boleh dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan tercela). Ikhtilaf tadladud jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan furu’iyah (partikular syariat), yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis bukan masalah i’tiqadiyah (keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang lebih tepat adalah membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang berkaitan dengan masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan persoalan i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada masalah i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti) sehingga kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal fiqih yang sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya dalil dhanni inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf wajar yang tidak tercela.
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud yang kedua yakni perbedaan pendapat yang tidak diperbolehkan sekaligus tercela adalah perpedaan dalam masalah-masalah ushuluddin
yang lebih populer dengan masalah pokok atau akidah. Namun, menurut syekh Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan adalah ikhtilaf yang bertentangan dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik masalah tersebut masuk dalam wilayah furu’ (partikular syari’at) maupun ushuluddin (pokok agama/akidah).
2.3 Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama
Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.  Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2.   Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama/ikut serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).
3.  Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung apa yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua  pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.   Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan kemutlakannya. 
5.    Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Tetapi pada kenyataannya masih ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut mazhab Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan maksud Tuhan dengan hanya berdasar pradugaa. Pada kasus yang lain, didapati bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada mazhab Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang telah disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas khafiy atas qiyas jaliy. Sementara itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama mazhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi hukum yang dihasilkan. 
6.   Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan hukum. Problem seperti ini juga pada  akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7.   Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama. Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara. Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah tertentu, namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah ushul “Ma la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka pekerjaan itu menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah dalam menetapkan suatu hukum. Wudlu misalnya, hukum asal wudlu sebenarnya adalah mubah, tetapi di satu sisi wudlu merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudlu menjadi ikut wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat nash yang menyinggung permasalahan wudlu. Akan tetapi ketika kaidah tersebut dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudlu.
8.   Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu
Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-imam mazhab. Sering dijumpai perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut mazhab meski sama-sama berafiliasi dalam satu mazhab. Imam Nawawi, salah seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata memiliki pandangan dengan imam Nawawi yang notabene adalah pengikut mazhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam mazhab-mazhab yang lain.
Ulama lain berpendapat bahwa dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1.   Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.  Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3.  Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4.  Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan: 
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. 
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sebagai berikut:
Ø  lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
Ø  lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
Ø  lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
Ø  lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan
 Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan: 
Ø  al-aslu fil amri lil wujub : (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
Ø  al-aslu fil amri li an-nadab : (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
Ø  al-aslu fil amri lil ibahah : (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan)
Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa" (nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Para ulama ada yang memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yang memandang sunnah (jumhur ulama).
2.4 Faedah Mengetahui Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para Ulama
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan.
Di samping dari itu apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang tepat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah hadits. Sedangkan hadist dikala itu masih belum dibukukan. Jadi bila ternyata ada fatwa sahabat atau generasi sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja karena tidak ditemukan hadits dalam suatu masalah, maka dengan adanya hadits shahih yang bertalian dengan masalah tersebut, tentu hukum yang mereka telah tetapkan boleh ditinjau kembali dan tidak perlu dicari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena mereka sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadits (nash) terutama yang shahih maka ra’yu harus dikesampingkan.

Menurut Abdul Wahhab Afif,  faidah mempelajari ikhtilaf adalah sebagai berikut:
1.     Dengan mempelajari dalil-dalil ulama dalam menyampaikan suatu masalah fiqhiyah (ijtihadiyah), ia akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan meyakinkanakan ajaran agamanya.
2.     Akan menjadi kelompok yang benar-benar menghormati semua imam mazhab, tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, karena pandangan dan dalil yang dikemukakan pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad
3.     Dengan memperhatikan landasan berfikir mereka mengenai dalil/alasan, seorang muqarin dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka tidak keluar  dari mushaf al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw dengan perbedaan interpretasi, atau mereka mengambil Qiyas, maslahah mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam nushus syari’at Islam dalam dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada dalam masyaarakat, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah.dengan demikian, muqarin memahami bahwa kehidupan sehari-hari dari penganut mazhab lain itu bukan diatur oleh hukum diluar Islam, sehingga ia tidak mengkafirkannya.
Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat penting untuk membentu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui yang mereka gunakan serta jalan pikiran mereka dalam menetapkan hukum pada suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti system dan cara yang lebih baik serta tepat dalam menetapkan hukum, jugs umtuk mrngembanngkan kemampuan dalam hukum fikih, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

2.5 Hikmah Adanya Perbedaan Pendapat Para Ulama
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir;
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Perbedaan pendapat dalam menetapkan sebagian hukum pada masalah furu’ suatu kemestian. Sehubungan dengan ini, DR. Yusuf Al-Qardhawi yang dikutip dari buku Studi Perbandingan Mazhab kerya Huzaemah Tahido Yanggo, mengomentari, bahwa orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat, tentang ibadat, muamalat, dan cabang agama lainnya, handaknya ia mengetahui dan menyadari, bahwa sebenarnya mereka menginginkan suatu yang nihil. Karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari’atyang tidak prinsipal itu adalah suatu kemestian (darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih jauh beliau mengemukakan beberapa faktor adanya kemestian dari hal tersebut, antara lain:
1.  Tabiat Agama
Allah SWT menghendaki diantara hukum-hukumnya ada yang dijelaskan secara eksplisit dan secara implisit.diantara yang ditegaskan secara eksplisitpun ada hal-hal yang berrsifat qath’iyyah (pasti) dan Zhanniyah (tidak pasti) serta sharih (jelas) dan mu’awwal (kemungkinan adanya interpretasi). Berkenaan dengan hal yang memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka kita dituntut untuk melakukannya. Sedangkan berkenaan dengan hal-hal yang tidak memungkinkannya, kita dituntut untuk menerima dan meyakininya (ta’abbudi).

2.  Tabiat bahasa
Al-Qur’an adalah wujud ilahi yang diaplikasikan ke dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal.demikian pula sebagian sunnah dalam memahami teks-teks al-Qur’an dn Sunnah, harus mengikuti kaidah-kaidah bahasanya. Dalam bahasa al-Qur’an ada lafal yang multi-makna (msytarak), ‘am (umum, khas (khusus), muqayyad, dan mubayyan.
3.  Tabiat manusia
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam. Setiap insan berbeda dalam bentuk wajahnya, tekanan suaranya, sidik jarinya dan sebagainya. Demikian juga dengan pola pikirnya, kehendaknya, profesinya, sikap, krcenderungan, dan lain sebagainya.
Sehubungaa dengan masalah di ataws, IbnuTaimiyah pernah ditanya tentamg seseorang yang mengikuti sebagian ulama dalam masalah ijtihadiyah. “apakah ia harus diingkari?” jawabnya . Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah, seseorang yang dalam persoalan ijtihadiyah yang mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh dihindari ataupun diingkari, demikian orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana yang lebih akurat, boleh beraamal sesuai keyakinannya, tetapi kalau tidak, maka dia boleh beramal sesuai pendapat ulama yang dapat dipercayadalam menjelaskan pada kondisi lingkungan dan sosial tertentu.Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa Allah SWT telah menentukan sifat krelemturan, fleksibilitas, dan keluwesan yang menakjubkan, sehingga membuat syari’ah Islam daapat dijadikan sebagai rahmat bagi ummatnya. Orang yang mempelajari syari’at dan fikih, akan merasajkan luasnya ruang kemaafanatau ruaaaang kosong yang disengajakosong oleh nashg-nash Agamadibiarkan demikian sebagai ruang kosong bagi para mujtahid untuk diidsi dengan hal-hal yang lebih baik bagi ummat, sesuai dengan zaman dan kondisinya, dengan selalu mempelajari tujuan-tujuan (maqashid) syari’at yang umum.
Jumhur ulama, baik dari kalangan salaf maupun dari kalangan khalaf telah memahami hakikat perbadaan pendapat dan hikmahmya. Mereka bahkan menuliskan buku-buku tentang hikmah perbedaan pendapat dalam berfikih


2.6 Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Ulama
1.      Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.      Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.      Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
4.      Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5.      Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6.      Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.      Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8.      Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf).
9.      Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10.  Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf yang terjadi  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11.  Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) sebagai standar dan parameter komitmen dan ke-istiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah. Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri.
12.  Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13.  Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi. Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu.















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·       Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan).
·      Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati). Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman). Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
·      Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.  Adanya perbedaan watak dan karakter manusia;
2.   Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda;
3.  Adanya perbedaan penetapan maslahah;
4.   Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif);
5.    Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i;
6.   Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah;
7.   Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah;
8.   Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu.
·      Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan.
·      Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir;
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
·      Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama, anatar lain:
1.  Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional;
2.  Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah;
3.  Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat.

3.2 Saran
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah kita dengar.



DAFTAR PUSTAKA
Afif, Abdul Wahhab. 1995. Pengantar Studi Perbandinga Mazhab. Jakarta: Darul Ulum Press.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Husain Barhami, Yasir. 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin. Kairo: Dar al-Aqidah.
Pembukuan Manhaji, Team,  2003. Paradigma Fiqih Masail, Kediri: Lirboyo.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2011. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Gaung Persada Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar