Minggu, 16 April 2017

MAKALAH AKHLAK PARA NABI DALAM SEJARAH


AKHLAK PARA NABI DALAM SEJARAH


Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)





BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhlak mulia merupakan identitas pendidikan dan peradaban. Begitu pentingnya akhlak mulia, sehingga Nabi Muhammad SAW. Pernah menyampaikan bahwa tujuan beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Manusia diciptakan Allah memiliki dua potensi yang sama dalam dirinya, potensi baik dan potensi buruk. Jika potensi baik yang dikembangkan secara terus-menerus, akan tercipta akhlak yang baik. Sebaliknya, jika potensi buruk yang dikembangkan, maka akhlak buruk yang akan terbentuk. Pergaulan seorang muslim dengan lingkungannya akan memperlihatkan kepribadiannya yang mencerminkan tingkat akhlak seseorang. Nabi Muhammad SAW. sendiri ditegaskan oleh Allah SWT. sebagai teladan bagi orang-orang beriman, begitu pun juga para nabi yang lainnya yang memiliki akhlak mulia yang dapat dijadikan contoh bagi umat manusia.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Akhlak Nabi dalam Sejarah.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul Akhlak Nabi dalam Sejarah.
1. Bagaimana akhlak Nabi Ibrahim?
2. Bagaimana akhlak Nabi Nuh?
3. Bagaimana akhlak Nabi Luth?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Ibrahim;
2. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Nuh;
3. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Luth.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akhlak Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim adalah putra dari Azar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Falij bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh AS. Ayahnya adalah orang yang kafir, penyembah berhala sekaligus pembuat patung berhala, sedangkan ibunya adalah orang yang beriman secara diam-diam. Menurut riwayat lain Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, melainkan seorang ayah yang dianggap sebagai ayahnya Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah tempat yang bernama “Faddam A’ram”, Babilonia, Irak yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama “Namrud bin Kana’an.”
1. Keteguhan Hati Nabi Ibrahim dalam Menjaga Iman
Nabi Ibrahim dilahirkan dalam masa pemerintahan Raja Namrud yang perkasa. Ia seorang penyembah berhala dan mengaku menjadi Tuhan, maka orang-orang pun menyembahnya lantaran takut kepadanya. Ketika Nabi Ibrahim menginjak dewasa ia pun mengejutkan ayahnya dengan perkataannya: “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan? sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.
Kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Hai kaumku, sembalah Allah sebagai Tuhanmu.”
Ketika Namrud mendengar hal itu, ia pun menghadirkan Nabi Ibrahim dan berkata: “Akulah yang menciptakan dan memberi rezeki kepadamu.” Nabi Ibrahim pun menjawab: “Engkau berdusta, Tuhankulah yang menciptakan aku lalu memberi petunjuk kepadaku dan memberi makan serta memberi minum aku, dan apabilah aku sakit, Dialah yang menyembuhkan dan mematikan aku, kemudian menghidupkan aku dan yang kuharapkan untuk mengampuni dosaku pada hari kiamat.” Ketika itu Namrud dan orang-orang yang bersamanya tercengang lantaran kagum atas kefasihan lidahnya, kemudian Namrud menoleh kepada Azar dan berkata: “Ambillah anakmu dan peringatkanlah dia dengan kekuatanku.”
Kemudian ayahnya mengambilnya dan memperingatkannya, maka berkatalah Nabi Ibrahim kepadanya: “Hai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat serta tidak bermanfaat sedikitpun bagimu?”
Walaupun Nabi Ibrahim berulang kali menyadarkan ayahnya, tetaplah ia tidak beriman kepadanya. Ia pun sadar bahwa hidayah itu ada di tangan Allah dan bagaimanapun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar ayahnya mendapat hidayah sekaligus tetap memohonkan ampunan bagi ayahnya.

2. Keteguhan Hati Nabi Ibrahim dalam Berdakwah
a. Dakwah kepada Penduduk Hiran
Penduduk Hiran adalah para penyembah bintang-bintang. Beliau mengajak kaumnya berpikir memperhatikan benda-benda langit, apa pantas benda-benda tersebut disembah.
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?” Tetapi ketika bintang itu tenggelam dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
Kemudian ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”
Kemudian ketika ia melihat matahari terbit, dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?”, ini yang lebih besar.” Maka ketika matahari itu terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (QS. Al An’aam: 75-80).
Di beberapa ayat tersebut Nabi Ibrahim mengajak kaumnya berpikir jernih tentang kelayakan menyembah hayaakil (benda-benda langit). Demikianlah ajaran Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam, ajarannya adalah ajaran para nabi dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihis Wasallam, yaitu tauhid (beribadah hanya kepada Allah dan meniadakan sesembahan selain-Nya).
b. Dakwah kepada Penduduk Babil
Penduduk Babil adalah penduduk yang menyembah patung-patung. Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam juga keluar menuju tempat peribadatan kaumnya untuk mengajak kaumnya menyembah Allah, saat sampai di sana, Beliau mendapatkan kaumnya sedang tekun menyembah patung yang banyak jumlahnya, mereka menyembahnya, merendahkan diri di hadapannya serta meminta dipenuhi kebutuhan mereka kepadanya, maka Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam tampil dan berkata, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?” (QS. Al Anbiya’: 52).
Kaumnya menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (QS. Al Anbiya’: 53). Demikianlah kaumnya, mereka tidak memiliki alasan terhadap perbuatan mereka selain mengikuti nenek-moyang mereka yang sesat.
Ibrahim 'Alaihis Salam berkata lagi, “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Al Anbiyaa’: 54).
Kaumnya menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” (QS. Al Anbiyaa’ : 55).
Ibrahim 'Alaihis Salam menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (QS. Al Anbiyaa’: 56).
Ketika Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam melihat kaumnya tetap kokoh di atas penyembahan kepada patung, maka beliau memikirkan bagaimana caranya menghancurkan patung-patung itu agar mereka mau berpikir. Dengan diam-diam Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam pergi menuju ke tempat patung-patung itu berada, saat melihat di hadapan patung-patung itu banyak makanan, maka Ibrahim mengejek patung-patung itu dengan berkata, “Mengapa kalian tidak makan dan mengapa kalian tidak bicara-bicara?” Maksud perkataan Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam adalah agar kaumnya mau berpikir, bahwa patung adalah benda mati yang tidak dapat berbicara sehingga tidak pantas disembah tanpa perlu dijelaskan lagi oleh Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam.
Kemudian Nabi Ibrahim menghancurkan  berhala-berhala yang berjumlah 73 berhala dengan kapak dan tidak menghancurkan berhala yang paling besar, akan tetapi ia menggantungkan kapak itu di kepalanya, lalu ia pergi.
Tatkala orang-orang datang ke situ, mereka pun mendapatinya dalam keadaan porak poranda. Mereka menduga bahwa pelakunya tidak lain adalah Ibrahim. Mereka memberitahu Namrud yang sebelumnya mengaku Tuhan dan gemar menyembah berhala. Maka ia pun menyuruh menghadirkan Ibrahim. Ketika ia hadir di hadapan Namrud, berkatalah Namrud dan kaumnya kepadanya: “Engkaukah yang telah melakukan hal ini terhadap Tuhan kami, hai Ibrahim? Ibrahim menjawab: “Bukan, akan tetapi berhala yang terbesar di antara mereka inilah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka bisa berbicara.”
Tatkala ia memperlihatkan bahwa mereka telah diliputi kebodohan, Ibrahim berkata: “Celakalah kalian dan berhala-berhala yang kamu sembuh selain Allah, tidakkah kalian berpikir?”
Setelah mendengar hal itu, raja Namrud pun menyuruh kaumnya untuk mengumpulkan kayu setumpuk gunung, lalu mereka nyalakan api di situ dan berkobarlah apinya, sehingga panasnya memenuhi udara dan meliputi segenap penjuru. Mereka membuat Manjaniq (semacam meriam) dan  meletakkan Nabi Ibrahim di dalamnya lalu melontakannya ke dalam api. Tetapi atas pertolongan Allah, api itu menjadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim. Kemudian memancarlah di dekatnya sebuah mata air dan tumbuh di sampingnya pohon delima.  Setelah kejadian itu, maka orang-orang pun banyak yang beriman kepadanya.
3. Ketaatan yang Tinggi dalan Menjalankan Perintah Allah
Suatu hari Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam bermimpi menyembelih anaknya, lalu beliau memberitahukan mimpinya itu kepada anaknya. Hal ini merupakan ujian Allah kepada Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam dan Nabi Ismail 'Alaihis Salam. Meskipun ujian ini begitu berat, namun Nabi Ismail siap memikulnya karena taat kepada Allah, dan saat masing-masing bersiap-siap menjalankan perintah Allah, Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam juga sudah membaringkan Nabi Ismail 'Alaihis Salam dan telah mengambil pisau untuk menyembelihnya. Tetapi saat hendak menyembelihnya, angin segar pun datang, malaikat Jibril datang membawa kambing yang besar untuk menebus Nabi Ismail 'Alaihis Salam. Selanjutnya, peristiwa itu dijadikan sandaran dalam pensyariatan kurban pada hari raya Idul Adha.
4. Akhlak Sosial Nabi Ibrahim
Di antara kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu mendatangi Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq ‘alaihis salam. Kisah tersebut disebutkan dalam ayat berikut ini.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30).

a. Menjawab Salam dengan yang Lebih Baik
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau, mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya, kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”. Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan yang langgeng untuk kalian)”. Para ulama mengatakan bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh, jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus. Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim alaihis salam. Sebagaimana Allah Ta’ala pun telah memerintahkan kita seperti itu dalam ayat,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86).
Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: “Assalaamualaikum”, maka minimal kita jawab: “Waa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”. Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih. Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum (bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas salam dengan yang lebih baik.
b. Memuliakan Tamu
Dalam cerita Nabi Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga, yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:
1. Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya;
2. Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja;
3.  Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad SAW. ‘Abdullah bin ‘Amr dan ‘Abdullah bin Al Harits bin Jaz’i mengatakan: “Barangsiapa yang tidak memuliakan tamunya, maka ia bukan pengikut Muhammad dan bukan pula pengikut Ibrahim” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, hal. 170). Begitu pula dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47, dari Abu Hurairah).
Seseorang dianjurkan menjamu tamunya dengan penuh perhatian selama sehari semalam dan sesuai kemampuan selama tiga hari, sedangkan bila lebih dari itu dinilai sebagai sedekah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi SAW..
« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ » . قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia perhatian dalam memuliakan tamunya.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud perhatian di sini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu perhatikanlah ia sehari semalam dan menjamu tamu itu selama tiga hari. Siapa yang ingin melayaninya lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48, dari Syuraih Al ‘Adawi). Para ulama menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah seharusnya tuan rumah betul-betul perhatian melayani tamunya di hari pertama (dalam sehari semalam) dengan berbuat baik dan berlaku lembut padanya. Adapun hari kedua dan ketiga, hendaklah tuan rumah memberikan makan pada tamunya sesuai yang mudah baginya dan tidak perlu ia lebihkan dari kebiasaannya. Adapun setelah hari ketiga, maka melayani tamu di sini adalah sedekah dan termasuk berbuat baik. Artinya, jika ia mau, ia lakukan dan jika tidak, tidak mengapa (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 21/31). Imam Asy Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya mengatakan, “Menjamu tamu merupakan bagian dari akhlaq yang mulia yang biasa dilakukan oleh orang yang nomaden dan orang yang mukim” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 17/381). Sudah sepatutnya kita dapat mencontoh akhlaq yang mulia ini.
c. Berbicara dengan Lemah Lembut
Lihatlah ketika Nabi Ibrahim menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian). Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Nabi Ibrahim menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut, beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di kalangan orang Jawa). Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata. Inilah pula yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW. Dari ‘Ali, Nabi SAW. bersabda: “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?"
Beliau pun bersabda: “Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1/155, Hasan).
Dalam sebuah ayat, Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6).

2.2 Akhlak Nabi Nuh           
Nabi Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.
1. Keteguhan Hati Nabi Nuh dalam Berdakwah
Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa “fatrah” masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara berangsur-angsur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebijakan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan iblis.
Demikian, maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses tersebut sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka sedang menyembah berhala, yaitu patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri yag disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat serta menolak segla kesengsaraan dan kemalangan.
Berhala-berhala yang dipertuhankan dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan gaib yang atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera kebodohan mereka. Mereka kadang-kadang memberi nama berhala “Wadd” dan “Suwa” kadang kala “Yagus” dan bila sudah bosan digantinya dengan nama “Yatuq” dan “Nasr”.
Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya yag sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala, kembali kepada tauhid menyembah Allah Tuhan sekalian alam, melakukan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepada-Nya, serta meninggalkan kemungkaran dan kemaksiatan yang diajarkan oleh setan dan iblis.
Nabi Nuh menarik perhatian kaumnya agar melihat alam semesta yang diciptakan oleh Allah berupa langit dan matahari, bulan dan bintang-bintang yang menghiasinya, bumi dengan kekayaan yang ada di atas dan di bawahnya, berupa tumbuh–tumbuhan dan air yang mengalir yang memberi kenikmatan hidup kepada manusia, penggantian malam menjadi siang, dan sebaliknya yang semua itu menjadi bukti dan tanda nyata akan adanya keesaan Tuhan yang harus disembah dan bukan berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Di samping itu, Nabi Nuh juga memberitakan kepada mereka bahwa akan ada ganjaran yang akan diterima oleh manusia atas segala amalnya di dunia, yaitu surga bagi amalan kebajikan dan neraka bagi segala pelanggaran terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran dan kemaksiatan.
Nabi Nuh yang dikaruniai Allah dengan sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang nabi, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam tindak-tanduknya, melaksanakan tugas risalahnya kepada kaumnya dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara yag lemah lembut, mengetuk hati nurani mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang kasar bila menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang keras kepala. Mereka enggan menerima hujjah dan dalil-dalil yang di kemukakan oleh Nabi Nuh.
Walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat tenaga selama 950 tahun berdakwah kepada kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecakapan, kesabaran, dan dalam setiap kesempatan, siang maupun malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka ternyata hanya sedikit sekali dari kaumnya yang dapat menerima dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut sebagian riwayat yang tidak melebihi bilangan seratus orang. Mereka pun terdiri dari orang-orang miskin berkedudukan sosial lemah. Sementara itu, orang yag kaya raya, berkedudukan tinggi dan terpandang dalam masyarakat, yang merupakan pembesar–pembesar dan penguasa-penguasa tetap membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh dengan mengingkari dakwahnya dan sesekali tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka terhadap berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan persekongkolan hendak melumpuhkan dan menggagalkan usaha dakwah Nabi Nuh.
Mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Bukankah engkau hanya seorang daripada kami dan tidak berbeda daripada kami sebagai manusia biasa. Jikalau betul Allah akan mengutus seorang rasul yang membawa perintah-Nya, niscaya ia akan mengutus seorang malaikat yang patut kami dengarkan kata-katanya dan kami ikuti ajakannya dan bukan manusia biasa seperti engkau yang hanya dapat diikuti orang-orang yang kedudukan sosialnya rendah, seperti para buruh, petani, orang-orang yang tidak berpenghasilan, yang bagi kami mereka seperti sampah masyarakat. Pengikut-pengikutmu itu adalah dakwah dan ajakanmu itu. Coba agama yag engkau bawa dan ajaran-ajaran yang engkau sodorkan kepada kami itu benar-benar, niscaya kamilah yang dulu mengikutimu dan bukannya orang-orang yang mengemis pengikut-pengikutmu itu. Kami sebagai pemuka-pemuka masyarakat yang pandai berpikir, memiliki kecerdasan otak dan pandangan yang luas dan yang dipandang masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinya, tidaklah mudah bagi kami menerima ajakanmu dan dakwahmu. Engkau tidak mempunyai kelebihan di atas kami tentang soal-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup. Kami jauh lebih pandai dan mengetahui daripada kamu tentang hal itu semua. Anggapan kami terhadapmu tidak lain dan tidak bukan, bahwa engkau adalah pendusta belaka”.
Nuh berkata, menjawab ejekan dan olok-olokan kaumnya: “Adakah engkau mengira bahwa aku dapat memaksa kamu mengikuti ajaranku atau mengira bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan kamu orang-orang yang beriman, jika kamu tetap menolak ajakanku dan tetap membuta-tuli terhadap bukti-bukti kebenaran dakwahku dan tetap mempertahankan pendirianmu yang tersesat yang diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan karna kedudukan dan harta benda yang kamu miliki. Aku hanya seorang manusia yag mendapat amanat dan diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kamu. Jika kamu tetap berkeras kepala dan tidak mau kembali ke jalan yang benar dan merima agama Allah yang diutuskan-Nya kepadaku dan terserahlah kepada Allah untuk menentuka hukuman-Nya dan ganjaran-Nya kepada diri kamu. Aku hanya pesuruh dan rasul-Nya yang diperintahan untuk menyampaikan kepada hamba-hamba-Nya. Dia-lah yang berkuasa memberi hidayah kepadamu dan mengampuni dosamu dan menurunkan azab dan siksaa-Nya kepada kamu sekalian jika ia menghendaki. Dia-lah pula yang berkuasa menurunkan siksa dan azab-Nya di dunia atau menangguhkannya sampai hari kemudian. Dia-lah Tuhan pencipta alam semesta alam ini, Maha penguasa, Maha mengetahui, Maha pengasih dan Maha penyayang”.
Kaum Nabi Nuh mengemukakan syarat dengan berkata: ”Wahai Nuh! Jika engkau menghendaki kami mengikuti daan memberi dukungan dan semangat kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa maka jauhkanlah para pengikutmu yang terdiri dari petani, buruh, dan hamba-hamba sahaya itu. Usirlah mereka dari pergaulanmu kana kami tidak dapat bergaul dengan mereka, duduk berdampingan dengan mereka mengikuti cara hidup mereka dan bergabung dengan mereka dalam suatu agama dan kepercayaan. Bagaimana kami dapat menerima satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam, penguasa dan pembesar buuh-buruhnya, dan orang kaya yang berkedudukan dengan orang miskin.”
Nabi Nuh menolak persyaratan kaumnya yang berkata: “Risalah dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tidak ada pengecualian, baik yang pandai maupun yang bodoh, yang kaya maupun miskin, majikan atau pun buruh, di antara penguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai kedudukan dan tempat yang sama terhadap agama dan hukum Allah. Andai kata aku memenuhi persyaratan kamu dan meluluskan keinginanmu menyingkirkan para pengikutku yang setia itu maka siapakan yang dapat aku harapkan akan meneruskan dakwahku kepada orang lain dan bagaimana aku sampai hati menjauhkan orang-orang yang telah beriman dan menerima dakwahku dengan penuh keyakinan dan keikhlasan di kala kamu menolaknya dan mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku dalam tugasku di kala kamu menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku. Bagaimanakah aku dapat mempertanggung jawabkan tindakan pengusiranku kepada mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahwa aku telah membalas kesetiaan dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata unntuk memenuhi permintaanmu dan tunduk kepada pesyaratanmu yag tidak wajar dan tidak dapat diterima oleh akal dan pikiran yang sehat. Sesungguhnya kamu adalah orang-orag yang bodoh dan tidak berpikiran sehat.
Pada akhirnya, karena merasa tidak berdaya lagi mengingkari kebenaran kata-kata Nabi Nuh dan merasa kehabisan alasan dan hujjah melanjutkan dialog dengan beliau maka berkatalah mereka: “Wahai Nuh! Kita telah banyak bermujadalah, berdebat dan cukup berdialog serta mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu dan tidak akan pernah melepaskan kepercayaan dan adat istiadat kami maka tidak ada gunanya lagi engkau mengulangi dakwah dan ajakanmu serta bertegang lidah dengan kami. Datangkanlah sesuatu bukti bahwa engkau yag benar-benar orang yang menepati janji. Kami ingin melihat kebenaran kata-kata mu dan acaman mu dalam kenyataan, karena kami masih tetap belum mempercayaimu dan tetap meragukan dakwahmu.”
walaupun ia telah melakukan tugasnya dengan segala daya usaha nya dan sekuat tenaga dengan penuh kesabara dan kesulitan menghadapi penghinaan , ejekan dan cercaan, da makian kaumnya.
Nabi Nuh mengharapkan akan datang masanya imana kaumnya akan sadar dan datang mengakui kebenarannya dan kebenaran dakwahnya. Harapan Nabi Nuh akan kesadaran kaumnya ternyata makin hari makin berkurang dan bahwa sinar iman dan takwa tidak akan menebus ke dalam hati mereka yang telah tertutup rapat oleh ajaran dan bisikan iblis. Hal ini di sebutkan dalam firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang dari pada kaumnya yang mengikutimu dan beriman kecuali mereka yang telah mengikutimu dan beriman lebih dahulu maka janganlah engkau bersedih hati karna apa yang mereka perbuat.”
Dengan penegasan firman Allah itu, lenyaplah sisa harapan Nabi Nuh dari kaumnya dan habisah kesabarannya. Ia memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya kepada kaumnya yang berkepala batu seraya berseru: “Ya Allah! Janganlan engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu hidup dan tinggal di atas bumi ini. Mereka akan berusaha menyesatkan hamba-hambamu, jika engkau biarkan mereka tinggal dan mereka hanya akan melahirkan dan menurunnkan anak-anak yang jahat dan anak-anak kafir seperti mereka.”
Do’a Nabi Nuh dikabulkan oleh Allah. Permohonannya diluruskan dan tidak perlu lagi menghiraukan dan mempersoalkan kaumnya karna mereka itu akan menerima hukuman Allah dengan mati tenggelam.

2. Ketaatan yang Tinggi dalan Menjalankan Perintah Allah
Setelah menerima perintah Allah untuk membuat kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan mereka mulai mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk maksud tersebut. Dengan mengambil tempat di luar agak jauh dari kota dan keramaian, merka dengan rajin dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembuatan kapal.
Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakat, agar ia bekerja dengan tenang tanpa gangguan dalam menyelesaikan pembuatan kapalnya, namun ia tidak pernah luput dari ejekan dan cemoohan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melewati tempat kerja pembuatan kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan mengatakan: “Wahai Nuh! Sejak kapan engkau telah menjadi tukang kayu dan pembuat kapal? Bukankah engkau seorang Nabi dan Rasul, kenapa sekarag menjadi seorang tukang kayu dan pembuat kapal? Kapal yang engkau buat itu berada di tempat yang jauh dari air. Apakah engkau bermaksud untuk menariknya dengan kerbau ataukan dengan mengharapkan angin yang akan menarik kapal mu ke laut?” Banyak kata-kata ejekan yang diterima oleh Nabi Nuh, tetapi beliau menyikapinya dengan dingin dan tersenyum dan seraya menjawab: “Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu dan sekeluarga mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibaah masanya kelak bagi kami untuk mengejek kamu dan aka kamu mengetahui kelak untuk apa kapal yang kami siapkan ini. Tunggulah saat azab dan hukuman Allah menimpa atas diri kamu.”
Setelah selesai membuat kapal, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah: “Siap-siap lah engkau dengan kapalmu, bila terlihat perintahku dan tanda-tanda dari-ku maka segeralah angkut bersamamu di dalam kapalmu dan kerabat mu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk yang ada di atas bumi dan berlayarlah dengan izin-Ku.”
Selanjutnya, keluarlah air yang sangat deras dan dahsyat dari langit dan dari bumi, yang dalam sekejap mata telah menjadi banjir besar melanda seluruh kota dan desa menggenangi daratan yang rendah maupun yang tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tidak ada tempat berlindung dari air yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan orang-orag mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah Allah.
Denga iringan “Bismillah majraha wa mursaha” berlayarlah kapal Nabi Nuh dengan menyusuri lautan air, menentang angin yang kadang kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihat orang-orang kafir bergelut melawan gelombang air yang bergunung berusaha menyelamatkan diri dari cengkraman maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang tersebut.
Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal memerhatikan cuaca dan melihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihat olehnya tubuh putra sulungnya yang bernama “Kan’an” timbul tenggelam dipermainkan oleh gelombang yang tidak menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang menerima hukuman Allah itu. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah terhadap putra kandungnya yang berada dalam keadaan cemas yang menghadapi maut ditelan gelombang.
Nabi Nuh secara spontan terdorong oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat tenaganya memanggil putranya: “Wahai anakku! Dataglah ke mari dan bergabunglah dirimu bersama keluargamu. Bertobatlah engkau dan berimanlah kepada Allah agar engkau selamat dan terhindar dari bahaya maut yang sedang engkau jalani berupa hukuman Allah.”Kan’an, putra Nabi Nuh yang tersesat dan telah terkena racun dan rayuan setan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata yang menentang: “Biarkanlah aku, pergilah , dan jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung di atas kepalmu, aku dapat menyelamatkan diriku sendri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan di jangkau oleh air ini.”
Nuh menjawab: “Percayalah bahwa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkanmu ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. Tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dan ampunan-Nya.”
Setelah Nabi Nuh mengucapkan kata-katanya, tenggelamlah Kan’an di sambar gelombang yang ganas dan lenyaplah dia dari pandangan mata ayahnya. Tergelincirlah ke bawah lautan air mengikuti kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.
Nabi Nuh sangat bersedih dan berduka atas kematian putranya dalam keadaan kafir, tidak beriman, dan belum megenal Allah. Beliau pun berseru kepada Allah: “Ya tuhanku, sesungguhnya putraku itu adalah darah dagingku dan serta bagian keluargaku dan sesungguhnya janjimu adalah benar dan engkaulah mahahakim yang mahakuasa.”Allah berfirman kepadanya: “Wahai Nuh! Sesungguhnya putramu bukan termauk keluargamu karna ia telah menyimpang dari ajaramu, melanggar perintahmu, menolak dakwahmu, dan mengikuti jejak-jejak orang-orang yang kafir dari kaummu. Coretlah namanya dari daftar keluargamu. Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu, mengikuti jalanmu, dan beriman kepada-Kulah yang dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan keluargamu yang telah aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan jiwanya. Adapun orang-orag yang mengingkari risalahmu, mendustakan dakwahmu, dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntunan iblis, pastilah mereka akan binasa menjalani hukuman yang telah aku tentukan walau mereka berada di puncak gunung. Maka engkau jangan sekali-kali menanyakan tentang sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan orang-orang yang bodoh.”
Nabi Nuh segera sadar setelah menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orag kafir yang termasuk putranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada saat ia memanggil putranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang didorong oleh perasaan naluri darah yang menghubunkannya dengan putrnya, padahal sepatutnya cinta dan taat kepada Allah harus mendahului cinta kepadanya itu dan menghadapi kepada Allah memohon ampun dan magfirah-Nya dengan berseru: “Ya Tuhanku, aku berlindung kepadamu dari godaan setan yang terkutuk, ampunilah kelalaian dan keluputanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak mengetahuiya. “Ya Tuhanku, bila engkau tidak memberi ampun dan magfiroh serta menurunkan rahmat bagiku, niscaya aku menajdi orang yang rugi.”
Setelah air bah itu telah mencapai puncak keganasanya dan binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, surutlah air bah itu diserap bumi kemudian tertambatlah kapal Nuh di atas bukit “judie” dengan irinngan perintah Allah kepada Nabi Nuh: “Wahai Nuh, turunlah engkau kedarat bersama orang-orang mukmin yang menyertaimu dengan selama dilimpahi berkah dan inayah dari sisi-Ku bagimu dan umat yang menyertaimu.”
.


2.3 Akhlak Nabi Luth
Nabi Luth adalah anak keponakan Nabi Ibrahim.Ayahnya bernama Haran (Abaraan) bin Tareh, saudara kandung Nabi Ibrahim yang kembar dengan pamannya yang bernama Nahor.
Silsilah lengkapanya adalah Luth bin Haran bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Rau bin Falij bin Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh. Dia menikah dengan seorang gadis bernama Ado. Namun, ada juga yang menyebutnya Walihah. Nabi Luth memiliki dua orang anak perempuan bernama Raitsa dan Zaghrata.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Ibrahim as. Hijrah dari Harran menuju Palestina dengan ditemani istri dan pengikut-pengikutnya,di antaranya anak saudaranya, yaitu Luth bin Haran. Kemudian Ibrahim bersama Luth menuju Mesir di saaat kelaparan merajalela di Palestina, dan setelah reda keduanya kembali dari Mesir bersama ternak yang diberikan raja Mesir kepada mereka.
Sebagian besar hidup Nabi Luth dihabiskan dengan mengikuti perjalanan bersama Nabi Ibrahim. Mereka juga dikenal suka berdagang dan beternak. Peternakan yang dikelola Nabi Ibrahim dan Luth memiliki kemajuan yang sangat pesat. Berhubung padang rumput yang sempit dan tidak mencukupi makanan ternak mereka yang banyak dan sering timbul pertikaian antara gembala-gembala Ibrahim dan Luth, maka Ibrahim berpendapat untuk saling membagi tanah dengan Luth guna menengahi perselisihan.
Kemudian Ibrahim menawarkan tempat yang cocok baginya, maka ia pun memilih Yordania di mana terdapat dua kota yaitu Sodom (Sadum) dan Gomorrah. Nabi Luth dan Ibrahim akhirnya berpisah karena satu tujuan. Nabi Luth lalu pindah dari ke Yordania dan bermukim di kota Sodom (Sadum).
Penduduk di kota Sodom adalah orang-orang yang suka berbuat maksiat, seperti melakukan perampokan dan perzinahan paling keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di antara anak-anak Adam pada waktu itu yaitu liwaath (homoseks).
Perpindahan Nabi Luth menuju kota Sodom bukan tanpa maksud.Allah sengaja mengutusnya dengan tugas Illahi untuk berdakwah memberi petunjuk kepada mereka dan memperingatkan mereka akan keburukan perbuatan mereka.

1. Keteguhan Hati Nabi Luth dalam Berdakwah
Luth mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah dan mengancam perbuatan mereka dengan siksa-Nya, dan mendesak mereka untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan munkar. Luth berkata kepada mereka: ”Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, maka takutlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu atas perintah dan ajakanku kepadamu.”
Aku tidak akan meminta upah darimu atas petunjuk dan kebenaran yang kuserukan kepadamu, akan tetapi Allah sendiri yang akan memberi balasan kepadaku. Tidaklah pantas kalian berbuat kemungkaran seperti mengadakan hubungan seksual antara sesama lelaki, sesungguhnya kamu telah melampaui batas dengan melakukan perbuatan itu.
Namun demikian, kaum Luth bukannya mentaati seruan nabi mereka, melainkan mereka justru mengancamnya, seraya berkata: ”Jika engkau tidak berhenti menjelek-jelekan kami, maka kami akan mengusirmu dari negeri ini. Luth menjawab: ”Sungguh aku tidak menyetujui dan aku membenci perbuatan itu.”
Di samping kejahatan homoseks, mereka juga melakukan kejahatan lain, yaitu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan di rumah mereka sendiri dan melakukan perampokan terhadap para musafir, kemudian memperkosa mereka.
Perbuatan-perbuatan keji ini dikecam oleh Luth dan ia memperingatkan kaumnya akan siksa Allah, akan tetapi mereka juga tetap membangkang dan sombong dan berkata kepada Luth: ”Jika engkau benar dalam ancamanmu itu ,maka segeralah dan datangkanlah siksaan itu.”(Q.S.Al Ankabut :28-29)

2. Memuliakan Tamunya
Telah disebutkan sebelumnya dalam kisah Ibrahim bahwa malaikat-malaikat datang sebagai tamu yang menyamar dalam bentuk pemuda-pemuda, dan di antara misi yang mereka bawa adalah mereka datang untuk membinasakan kaum Luth dengan sebab pembangkangan dan perbuatan keji mereka.
Ibrahim terkejut ketika mengetahui malaikat-malaikat itu akan membinasakan penghuni kota Sodom, karena di dalamnya ada putra saudaranya Luth, maka ia berkata kepada malaikat-malaikat itu: ”Sesungguhnya di situ terdapat Luth.”
Malaikat-malaikat itu menjawab: ”Kami tahu bahwa di situ terdapat Luth, kebinasaan hanya terjadi atas orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Allah. Adapun Luth dan keluarganya serta para pengikutnya, mereka pasti selamat, kecuali istrinya yang akan ditimpa siksaan seperti orang-orang kafir. Kedudukan sebagai istri Luth tidak menyelamatkannya, Karena jelas pebuatannya telah mengkhiati suaminya dan terus membangkang dan berada dalam kekafiran.(Q.S Al Ankabut 30-31).
Malaikat-malaikat itu meninggalkan Ibrahim dan pergi ke kota Sodom. Mereka datang ke rumah Luth yang tidak mengetahui tentang siapa sebenarnya mereka itu. Luth merasa susah, karena Luth khawatir tamu-tamunya akan diperkosa oleh kaumnya.
Tersebar berita  di antara kaum Luth tentang kedatangan para tamu yang tampan di rumah Luth, maka segeralah mereka datang ke situ dengan maksud yang jahat. Untuk mengawasi hal ini Luth mencoba membujuknya dengan menawarkan putri-putrinya untuk dikawini, dengan syarat mereka tidak mengganggu tamu-tamunya. Namun orang-orang itu tetap bersikeras untuk melaksanakan keinginan mereka.
Ketika mereka tetap pada pendiriannya,maka malaikat-malaikat itu membutakan mata mereka, sehingga gagallah upaya mereka dalam keadaan terhina.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya mereka membujuk Luth supaya menyerahkan tamu-tamunya(supaya berbuat jahat dengan mereka),maka kami butakan mata mereka seraya Kami katakan: ”Rasailah olehmu akan siksaan-Ku dan ancaman-Ku (Q.S Al Qamar:37)
Malaikat pun mengungkapkan kepada Luth tentang diri mereka yang sebenarnya dan memberitahukan bahwa mereka datang untuk membinasakan kaumnya dengan membutakan mata mereka sehingga mereka tidak dapat menyelamatkan diri, kemudian menyelamatkan nabi Luth dari kejahatan mereka.
Maka para malaikat itu berkata kepadanya: ”Mereka tidak akan dapat mengganggumu dan mencemarkanmu dengan menganggu kami, oleh karena itu pergilah engkau bersama keluargamu di waktu malam dari ini, dan jangan menoleh seorangpun diantara kamu kebelakang supaya kamu tidak melihat kengerian siksaan.
Adapun istrimu yang telah mengkhianatimu, tidaklah ia keluar bersamamu lantaran ia akan ditimpa siksaan bersama kaummu, dan waktu kebinasaan mereka adalah waktu subuh yang akan segera tiba. Ketika datang siksaan Allah, maka Allah menjadikan tanah desa yang tinggi dan didiami oleh kaum Luth menjadi rendah. Kemudian menghujani dengan batu-batu dari tanah keras yang berjatuhan di atas mereka secara berturut-turut. Demikian hebatnya siksaan Allah yang ditimpakan dengan segera kepada orang-orang yang dzalim dan fasik.
Daerah yang ditimpa siksaan itu sekarang dikenal dengan nama Laut Mati atau Danau Luth. Sebagian ulama berpendapat, bahwa laut mati sebelum peristiwa itu tidak ada, ia timbul dari gempa bumi yang menyebabkan dataran tinggi di daerah itu menjadi rendah 400m di bawah permukaan laut. Pada tahun-tahun lampau ditemukan peninggalan-peninggalan dari Kota Luth di tepi Laut Mati.













BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·         Nabi Ibrahim memiliki akhlak yang mulia, di antaranya: 1) Teguh dalam menjaga iman, 2) Teguh dalam berdakwah, 3) Taat dalam menjalankan perintah Allah, 4) Memiliki akhlak sosial yang tinggi, seperti menjawab salam dengan yang lebih baik, memuliakan tamu, dan berbicara dengan lemah lembut.
·         Nabi Nuh memiliki akhlak yang mulia, di anataranya: 1) Teguh dalam berdakwah, 2) Taat dalam menjalankan perintah Allah, 3) Sabar.
·         Nabi Luth memiliki akhlak yang mulia, di anataranya: 1) Teguh dalam berdakwah, 2) Memuliakan tamu.

3.2 Saran
Setelah membaca uraian di atas, diharapkan kepada pembaca untuk dapat mengambil ibrah yang terkandung di dalamnya, seperti teguh dalam menjaga iman, Teguh dalam berdakwah, taat dalam menjalankan perintah Allah, serta memiliki akhlak sosial yang tinggi.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zaid  Husein. 1995.  Kisah 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Pustaka Amani.
Siroj, Zaenuri & Abu Muhammad. 2011. 17 Kisah Teladan. Jakarta: Albama.
Thahir, Hamid Ahmad Ath. 2006. Kisah Para Nabi untuk Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.

SUMBER HALAMAN


 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar