AKHLAK PARA NABI DALAM SEJARAH
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Akhlak mulia merupakan identitas
pendidikan dan peradaban. Begitu pentingnya akhlak mulia, sehingga Nabi
Muhammad SAW. Pernah menyampaikan bahwa tujuan beliau diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak mulia.
Manusia diciptakan Allah memiliki
dua potensi yang sama dalam dirinya, potensi baik dan potensi buruk. Jika
potensi baik yang dikembangkan secara terus-menerus, akan tercipta akhlak yang
baik. Sebaliknya, jika potensi buruk yang dikembangkan, maka akhlak buruk yang
akan terbentuk. Pergaulan seorang muslim dengan lingkungannya akan
memperlihatkan kepribadiannya yang mencerminkan tingkat akhlak seseorang. Nabi
Muhammad SAW. sendiri ditegaskan oleh Allah SWT. sebagai teladan bagi
orang-orang beriman, begitu pun juga para nabi yang lainnya yang memiliki
akhlak mulia yang dapat dijadikan contoh bagi umat manusia.
Sejalan dari uraian di atas, maka kami tertarik untuk mengkaji hal
ini lebih lanjut dan terdorong untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul Akhlak
Nabi dalam Sejarah.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul
Akhlak Nabi dalam Sejarah.
1. Bagaimana
akhlak Nabi Ibrahim?
2. Bagaimana
akhlak Nabi Nuh?
3. Bagaimana
akhlak Nabi Luth?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Ibrahim;
2. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Nuh;
3. Untuk Mengetahui akhlak Nabi Luth.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akhlak Nabi
Ibrahim
Nabi
Ibrahim adalah putra dari Azar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Falij bin Abir
bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh AS. Ayahnya adalah orang yang kafir,
penyembah berhala sekaligus pembuat patung berhala, sedangkan ibunya adalah
orang yang beriman secara diam-diam. Menurut riwayat lain Azar bukanlah ayah Nabi
Ibrahim, melainkan seorang ayah yang dianggap sebagai ayahnya Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah tempat yang bernama “Faddam A’ram”,
Babilonia, Irak yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama
“Namrud bin Kana’an.”
1.
Keteguhan Hati Nabi Ibrahim dalam Menjaga Iman
Nabi
Ibrahim dilahirkan dalam masa pemerintahan Raja Namrud yang perkasa. Ia seorang
penyembah berhala dan mengaku menjadi Tuhan, maka orang-orang pun menyembahnya
lantaran takut kepadanya. Ketika Nabi Ibrahim menginjak dewasa ia pun
mengejutkan ayahnya dengan perkataannya: “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala
itu sebagai Tuhan? sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata”.
Kemudian
Nabi Ibrahim berkata: “Hai kaumku, sembalah Allah sebagai Tuhanmu.”
Ketika
Namrud mendengar hal itu, ia pun menghadirkan Nabi Ibrahim dan berkata: “Akulah
yang menciptakan dan memberi rezeki kepadamu.” Nabi Ibrahim pun menjawab:
“Engkau berdusta, Tuhankulah yang menciptakan aku lalu memberi petunjuk
kepadaku dan memberi makan serta memberi minum aku, dan apabilah aku sakit,
Dialah yang menyembuhkan dan mematikan aku, kemudian menghidupkan aku dan yang
kuharapkan untuk mengampuni dosaku pada hari kiamat.” Ketika itu Namrud dan
orang-orang yang bersamanya tercengang lantaran kagum atas kefasihan lidahnya,
kemudian Namrud menoleh kepada Azar dan berkata: “Ambillah anakmu dan peringatkanlah
dia dengan kekuatanku.”
Kemudian
ayahnya mengambilnya dan memperingatkannya, maka berkatalah Nabi Ibrahim
kepadanya: “Hai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa
mendengar dan tidak bisa melihat serta tidak bermanfaat sedikitpun bagimu?”
Walaupun Nabi Ibrahim berulang kali menyadarkan ayahnya, tetaplah ia
tidak beriman kepadanya. Ia pun sadar bahwa hidayah itu ada di tangan Allah dan
bagaimanapun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar ayahnya mendapat hidayah
sekaligus tetap memohonkan ampunan bagi ayahnya.
2. Keteguhan Hati Nabi Ibrahim dalam Berdakwah
a. Dakwah kepada Penduduk Hiran
Penduduk Hiran
adalah para penyembah bintang-bintang. Beliau mengajak kaumnya berpikir
memperhatikan benda-benda langit, apa pantas benda-benda tersebut disembah.
Ketika malam
telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?” Tetapi
ketika bintang itu tenggelam dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang
tenggelam.”
Kemudian ketika
dia melihat bulan terbit dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?” Tetapi setelah bulan
itu terbenam, dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang yang sesat.”
Kemudian ketika
ia melihat matahari terbit, dia berkata, “Ini(kah) Tuhanku?”, ini yang lebih
besar.” Maka ketika matahari itu terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku!
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (QS. Al An’aam:
75-80).
Di beberapa
ayat tersebut Nabi Ibrahim mengajak kaumnya berpikir jernih tentang kelayakan
menyembah hayaakil (benda-benda langit). Demikianlah ajaran Nabi Ibrahim 'Alaihis
Salam, ajarannya adalah ajaran para nabi dari Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihis Wasallam, yaitu tauhid (beribadah hanya
kepada Allah dan meniadakan sesembahan selain-Nya).
b. Dakwah kepada Penduduk Babil
Penduduk Babil adalah penduduk yang menyembah patung-patung. Nabi Ibrahim
'Alaihis Salam juga keluar menuju tempat peribadatan kaumnya untuk
mengajak kaumnya menyembah Allah, saat sampai di sana, Beliau mendapatkan
kaumnya sedang tekun menyembah patung yang banyak jumlahnya, mereka
menyembahnya, merendahkan diri di hadapannya serta meminta dipenuhi kebutuhan
mereka kepadanya, maka Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam tampil dan berkata,
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?” (QS. Al
Anbiya’: 52).
Kaumnya menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (QS. Al
Anbiya’: 53). Demikianlah kaumnya, mereka tidak memiliki alasan terhadap
perbuatan mereka selain mengikuti nenek-moyang mereka yang sesat.
Ibrahim 'Alaihis Salam berkata lagi, “Sesungguhnya kamu dan
bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Al Anbiyaa’: 54).
Kaumnya menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh
ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” (QS. Al Anbiyaa’ : 55).
Ibrahim 'Alaihis Salam menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah
Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya dan aku termasuk orang-orang
yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (QS. Al Anbiyaa’: 56).
Ketika Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam melihat kaumnya tetap kokoh di
atas penyembahan kepada patung, maka beliau memikirkan bagaimana caranya
menghancurkan patung-patung itu agar mereka mau berpikir. Dengan diam-diam Nabi
Ibrahim 'Alaihis Salam pergi menuju ke tempat patung-patung itu berada,
saat melihat di hadapan patung-patung itu banyak makanan, maka Ibrahim mengejek
patung-patung itu dengan berkata, “Mengapa kalian tidak makan dan mengapa
kalian tidak bicara-bicara?” Maksud perkataan Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam
adalah agar kaumnya mau berpikir, bahwa patung adalah benda mati yang tidak
dapat berbicara sehingga tidak pantas disembah tanpa perlu dijelaskan lagi oleh
Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam.
Kemudian Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang berjumlah 73 berhala
dengan kapak dan tidak menghancurkan berhala yang paling besar, akan tetapi ia
menggantungkan kapak itu di kepalanya, lalu ia pergi.
Tatkala orang-orang datang ke situ, mereka pun
mendapatinya dalam keadaan porak poranda. Mereka menduga bahwa pelakunya tidak
lain adalah Ibrahim. Mereka memberitahu Namrud yang sebelumnya mengaku Tuhan
dan gemar menyembah berhala. Maka ia pun menyuruh menghadirkan Ibrahim. Ketika
ia hadir di hadapan Namrud, berkatalah Namrud dan kaumnya kepadanya: “Engkaukah
yang telah melakukan hal ini terhadap Tuhan kami, hai Ibrahim? Ibrahim
menjawab: “Bukan, akan tetapi berhala yang terbesar di antara mereka inilah
yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka bisa berbicara.”
Tatkala ia memperlihatkan bahwa mereka telah
diliputi kebodohan, Ibrahim berkata: “Celakalah kalian dan berhala-berhala yang
kamu sembuh selain Allah, tidakkah kalian berpikir?”
Setelah mendengar hal itu, raja Namrud pun menyuruh
kaumnya untuk mengumpulkan kayu setumpuk gunung, lalu mereka nyalakan api di
situ dan berkobarlah apinya, sehingga panasnya memenuhi udara dan meliputi
segenap penjuru. Mereka membuat Manjaniq (semacam meriam) dan meletakkan Nabi Ibrahim di dalamnya lalu
melontakannya ke dalam api. Tetapi atas pertolongan Allah, api itu menjadi
dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim. Kemudian memancarlah di dekatnya sebuah
mata air dan tumbuh di sampingnya pohon delima.
Setelah kejadian itu, maka orang-orang pun banyak yang beriman
kepadanya.
3. Ketaatan
yang Tinggi dalan Menjalankan Perintah Allah
Suatu hari Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam bermimpi
menyembelih anaknya, lalu beliau memberitahukan mimpinya itu kepada anaknya.
Hal ini merupakan ujian Allah kepada Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam dan
Nabi Ismail 'Alaihis Salam. Meskipun ujian ini begitu berat, namun Nabi
Ismail siap memikulnya karena taat kepada Allah, dan saat masing-masing
bersiap-siap menjalankan perintah Allah, Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam
juga sudah membaringkan Nabi Ismail 'Alaihis Salam dan telah mengambil
pisau untuk menyembelihnya. Tetapi saat hendak menyembelihnya, angin segar pun
datang, malaikat Jibril datang membawa kambing yang besar untuk menebus Nabi
Ismail 'Alaihis Salam. Selanjutnya, peristiwa itu dijadikan sandaran
dalam pensyariatan kurban pada hari raya Idul Adha.
4. Akhlak Sosial Nabi Ibrahim
Di antara
kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan
diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu
mendatangi Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan
kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq ‘alaihis salam.
Kisah tersebut disebutkan dalam ayat berikut ini.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ
الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ
قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26)
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً
قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ
فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ
قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“Sudahkah
sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu
malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya
lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah
orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui
keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu
dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.”
(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap
mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar
gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz
Dzariyat: 24-30).
a. Menjawab
Salam dengan yang Lebih Baik
Dalam ayat
di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis
salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau,
mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya,
kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami
mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi
Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”.
Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan
yang langgeng untuk kalian)”. Para ulama mengatakan
bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam
para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang
diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah
fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh,
jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah
fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam
Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus.
Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam.
Sebagaimana Allah Ta’ala pun telah memerintahkan kita seperti itu dalam
ayat,
وَإِذَا
حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila
kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86).
Bentuk
membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan
tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah
jika saudara kita memberi salam: “Assalaamualaikum”, maka minimal kita
jawab: “Waa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik,
kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan
lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”. Bentuk lainnya
adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita
jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih.
Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan
wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum
(bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk
membalas salam dengan yang lebih baik.
b. Memuliakan
Tamu
Dalam cerita
Nabi Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga, yaitu akhlaq
memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk
tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:
1. Beliau
melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya;
2. Beliau
menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau
sebagian saja;
3. Beliau pun memilih daging dari kambing yang
gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat
berharga.
Dari sini
kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita
yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan
menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita
Muhammad SAW. ‘Abdullah bin ‘Amr dan ‘Abdullah bin Al Harits bin
Jaz’i mengatakan: “Barangsiapa yang tidak memuliakan tamunya, maka ia bukan
pengikut Muhammad dan bukan pula pengikut Ibrahim” (Lihat Jaami’ul wal
Hikam, hal. 170). Begitu pula dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”
(HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47, dari Abu Hurairah).
Seseorang
dianjurkan menjamu tamunya dengan penuh perhatian selama sehari semalam dan
sesuai kemampuan selama tiga hari, sedangkan bila lebih dari itu dinilai
sebagai sedekah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi SAW..
« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ » . قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ،
فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah ia perhatian dalam memuliakan tamunya.” Ada yang bertanya, “Apa yang
dimaksud perhatian di sini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu perhatikanlah
ia sehari semalam dan menjamu tamu itu selama tiga hari. Siapa yang ingin
melayaninya lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah baginya.” (HR.
Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48, dari Syuraih Al ‘Adawi). Para ulama
menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah seharusnya tuan rumah betul-betul
perhatian melayani tamunya di hari pertama (dalam sehari semalam) dengan
berbuat baik dan berlaku lembut padanya. Adapun hari kedua dan ketiga,
hendaklah tuan rumah memberikan makan pada tamunya sesuai yang mudah baginya
dan tidak perlu ia lebihkan dari kebiasaannya. Adapun setelah hari ketiga, maka
melayani tamu di sini adalah sedekah dan termasuk berbuat baik. Artinya, jika
ia mau, ia lakukan dan jika tidak, tidak mengapa (Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 21/31). Imam Asy Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya
mengatakan, “Menjamu tamu merupakan bagian dari akhlaq yang mulia yang biasa
dilakukan oleh orang yang nomaden dan orang yang mukim” (Syarh Al
Bukhari libni Baththol, 17/381). Sudah sepatutnya kita dapat mencontoh
akhlaq yang mulia ini.
c. Berbicara
dengan Lemah Lembut
Lihatlah
ketika Nabi Ibrahim menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun
qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini
dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian).
Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana
beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari
silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari
kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Nabi Ibrahim menggunakan
bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut,
beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di
kalangan orang Jawa). Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang
bertutur kata. Inilah pula yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW. Dari
‘Ali, Nabi SAW. bersabda: “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian
luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.”
Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk
siapa, wahai Rasulullah?"
Beliau pun
bersabda: “Kamar tersebut
diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan
(pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah
ketika manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1/155, Hasan).
Dalam sebuah
ayat, Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآَخِرَ
“Sesungguhnya
pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu)
bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari
Kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6).
2.2 Akhlak Nabi Nuh
Nabi Nuh adalah
nabi keempat sesudah Adam, Syith dan idris dan keturunan kesembilan dari Nabi
Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.
1. Keteguhan Hati Nabi Nuh dalam
Berdakwah
Nabi Nuh menerima wahyu kenabian
dari Allah dalam masa “fatrah” masa kekosongan di antara dua rasul di mana
biasanya manusia secara berangsur-angsur melupakan ajaran agama yang dibawa
oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal
kebijakan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan iblis.
Demikian, maka kaum Nabi Nuh tidak
luput dari proses tersebut sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah
mereka, mereka sedang menyembah berhala, yaitu patung-patung yang dibuat oleh
tangan-tangan mereka sendiri yag disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa
kebaikan dan manfaat serta menolak segla kesengsaraan dan kemalangan.
Berhala-berhala yang dipertuhankan
dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan gaib yang atas
manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera
kebodohan mereka. Mereka kadang-kadang memberi nama berhala “Wadd” dan “Suwa”
kadang kala “Yagus” dan bila sudah bosan digantinya dengan nama “Yatuq” dan
“Nasr”.
Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya
yag sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan
penyembahan berhala, kembali kepada tauhid menyembah Allah Tuhan sekalian alam,
melakukan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepada-Nya, serta meninggalkan
kemungkaran dan kemaksiatan yang diajarkan oleh setan dan iblis.
Nabi Nuh menarik perhatian kaumnya
agar melihat alam semesta yang diciptakan oleh Allah berupa langit dan
matahari, bulan dan bintang-bintang yang menghiasinya, bumi dengan kekayaan
yang ada di atas dan di bawahnya, berupa tumbuh–tumbuhan dan air yang mengalir
yang memberi kenikmatan hidup kepada manusia, penggantian malam menjadi siang,
dan sebaliknya yang semua itu menjadi bukti dan tanda nyata akan adanya keesaan
Tuhan yang harus disembah dan bukan berhala-berhala yang mereka buat dengan
tangan mereka sendiri. Di samping itu, Nabi Nuh juga memberitakan kepada mereka
bahwa akan ada ganjaran yang akan diterima oleh manusia atas segala amalnya di
dunia, yaitu surga bagi amalan kebajikan dan neraka bagi segala pelanggaran
terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran dan kemaksiatan.
Nabi Nuh yang dikaruniai Allah dengan
sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang nabi, fasih dan tegas dalam
kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam tindak-tanduknya, melaksanakan tugas
risalahnya kepada kaumnya dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara
yag lemah lembut, mengetuk hati nurani mereka dan kadang kala dengan kata-kata
yang tajam dan nada yang kasar bila menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang
keras kepala. Mereka enggan menerima hujjah dan dalil-dalil yang di kemukakan
oleh Nabi Nuh.
Walaupun Nabi Nuh telah berusaha
sekuat tenaga selama 950 tahun berdakwah kepada kaumnya dengan segala
kebijaksanaan, kecakapan, kesabaran, dan dalam setiap kesempatan, siang maupun
malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka ternyata hanya
sedikit sekali dari kaumnya yang dapat menerima dakwahnya dan mengikuti
ajakannya, yang menurut sebagian riwayat yang tidak melebihi bilangan seratus
orang. Mereka pun terdiri dari orang-orang miskin berkedudukan sosial lemah.
Sementara itu, orang yag kaya raya, berkedudukan tinggi dan terpandang dalam
masyarakat, yang merupakan pembesar–pembesar dan penguasa-penguasa tetap
membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh dengan mengingkari dakwahnya dan
sesekali tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka terhadap
berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan persekongkolan
hendak melumpuhkan dan menggagalkan usaha dakwah Nabi Nuh.
Mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Bukankah
engkau hanya seorang daripada kami dan tidak berbeda daripada kami sebagai
manusia biasa. Jikalau betul Allah akan mengutus seorang rasul yang membawa
perintah-Nya, niscaya ia akan mengutus seorang
malaikat yang patut kami dengarkan kata-katanya dan kami ikuti ajakannya dan
bukan manusia biasa seperti engkau yang hanya dapat diikuti orang-orang yang
kedudukan sosialnya rendah, seperti para buruh, petani, orang-orang yang tidak
berpenghasilan, yang bagi kami mereka seperti sampah masyarakat.
Pengikut-pengikutmu itu adalah dakwah dan ajakanmu itu. Coba agama yag engkau
bawa dan ajaran-ajaran yang engkau sodorkan kepada kami itu benar-benar,
niscaya kamilah yang dulu mengikutimu dan bukannya orang-orang yang mengemis
pengikut-pengikutmu itu. Kami sebagai pemuka-pemuka masyarakat yang pandai
berpikir, memiliki kecerdasan otak dan pandangan yang luas dan yang dipandang
masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinya, tidaklah mudah bagi kami menerima
ajakanmu dan dakwahmu. Engkau tidak mempunyai kelebihan di atas kami tentang
soal-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup. Kami jauh lebih pandai dan
mengetahui daripada kamu tentang hal itu semua. Anggapan kami terhadapmu tidak
lain dan tidak bukan, bahwa engkau adalah pendusta belaka”.
Nuh berkata, menjawab ejekan dan
olok-olokan kaumnya: “Adakah engkau mengira bahwa aku dapat memaksa kamu
mengikuti ajaranku atau mengira bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan
kamu orang-orang yang beriman, jika kamu tetap menolak ajakanku dan tetap
membuta-tuli terhadap bukti-bukti kebenaran dakwahku dan tetap mempertahankan
pendirianmu yang tersesat yang diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan
karna kedudukan dan harta benda yang kamu miliki. Aku hanya seorang manusia yag
mendapat amanat dan diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya
kepada kamu. Jika kamu tetap berkeras kepala dan tidak mau kembali ke jalan
yang benar dan merima agama Allah yang diutuskan-Nya kepadaku dan terserahlah
kepada Allah untuk menentuka hukuman-Nya dan ganjaran-Nya kepada diri kamu. Aku
hanya pesuruh dan rasul-Nya yang diperintahan untuk menyampaikan kepada
hamba-hamba-Nya. Dia-lah yang berkuasa memberi hidayah kepadamu dan mengampuni
dosamu dan menurunkan azab dan siksaa-Nya kepada kamu sekalian jika ia
menghendaki. Dia-lah pula yang berkuasa menurunkan siksa dan azab-Nya di dunia
atau menangguhkannya sampai hari kemudian. Dia-lah Tuhan pencipta alam semesta
alam ini, Maha penguasa, Maha mengetahui, Maha pengasih dan Maha penyayang”.
Kaum Nabi Nuh mengemukakan syarat
dengan berkata: ”Wahai Nuh! Jika engkau menghendaki kami mengikuti daan memberi
dukungan dan semangat kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa maka
jauhkanlah para pengikutmu yang terdiri dari petani, buruh, dan hamba-hamba
sahaya itu. Usirlah mereka dari pergaulanmu kana kami tidak dapat bergaul
dengan mereka, duduk berdampingan dengan mereka mengikuti cara hidup mereka dan
bergabung dengan mereka dalam suatu agama dan kepercayaan. Bagaimana kami dapat
menerima satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam,
penguasa dan pembesar buuh-buruhnya, dan orang kaya yang berkedudukan dengan
orang miskin.”
Nabi Nuh menolak persyaratan kaumnya
yang berkata: “Risalah dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tidak
ada pengecualian, baik yang pandai maupun yang bodoh, yang kaya maupun miskin,
majikan atau pun buruh, di antara penguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai
kedudukan dan tempat yang sama terhadap agama dan hukum Allah. Andai kata aku
memenuhi persyaratan kamu dan meluluskan keinginanmu menyingkirkan para
pengikutku yang setia itu maka siapakan yang dapat aku harapkan akan meneruskan
dakwahku kepada orang lain dan bagaimana aku sampai hati menjauhkan orang-orang
yang telah beriman dan menerima dakwahku dengan penuh keyakinan dan keikhlasan
di kala kamu menolaknya dan mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku
dalam tugasku di kala kamu menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku.
Bagaimanakah aku dapat mempertanggung jawabkan tindakan pengusiranku kepada
mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahwa aku telah membalas kesetiaan
dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata unntuk memenuhi permintaanmu
dan tunduk kepada pesyaratanmu yag tidak wajar dan tidak dapat diterima oleh
akal dan pikiran yang sehat. Sesungguhnya kamu adalah orang-orag yang bodoh dan
tidak berpikiran sehat.
Pada akhirnya, karena merasa tidak
berdaya lagi mengingkari kebenaran kata-kata Nabi Nuh dan merasa kehabisan
alasan dan hujjah melanjutkan dialog dengan beliau maka berkatalah mereka:
“Wahai Nuh! Kita telah banyak bermujadalah, berdebat dan cukup berdialog serta
mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu
dan tidak akan pernah melepaskan kepercayaan dan adat istiadat kami maka tidak
ada gunanya lagi engkau mengulangi dakwah dan ajakanmu serta bertegang lidah
dengan kami. Datangkanlah sesuatu bukti bahwa engkau yag benar-benar orang yang
menepati janji. Kami ingin melihat kebenaran kata-kata mu dan acaman mu dalam
kenyataan, karena kami masih tetap belum mempercayaimu dan tetap meragukan
dakwahmu.”
walaupun ia telah melakukan tugasnya
dengan segala daya usaha nya dan sekuat tenaga dengan penuh kesabara dan
kesulitan menghadapi penghinaan , ejekan dan cercaan, da makian kaumnya.
Nabi Nuh mengharapkan akan datang
masanya imana kaumnya akan sadar dan datang mengakui kebenarannya dan kebenaran
dakwahnya. Harapan Nabi Nuh akan kesadaran kaumnya ternyata makin hari makin
berkurang dan bahwa sinar iman dan takwa tidak akan menebus ke dalam hati
mereka yang telah tertutup rapat oleh ajaran dan bisikan iblis. Hal ini di
sebutkan dalam firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya tidak akan ada
seseorang dari pada kaumnya yang mengikutimu dan beriman kecuali mereka yang
telah mengikutimu dan beriman lebih dahulu maka janganlah engkau bersedih hati
karna apa yang mereka perbuat.”
Dengan penegasan firman Allah itu,
lenyaplah sisa harapan Nabi Nuh dari kaumnya dan habisah kesabarannya. Ia
memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya kepada kaumnya yang berkepala batu
seraya berseru: “Ya Allah! Janganlan engkau biarkan seorang pun di antara
orang-orang kafir itu hidup dan tinggal di atas bumi ini. Mereka akan berusaha
menyesatkan hamba-hambamu, jika engkau biarkan mereka tinggal dan mereka hanya
akan melahirkan dan menurunnkan anak-anak yang jahat dan anak-anak kafir seperti
mereka.”
Do’a Nabi Nuh dikabulkan oleh Allah.
Permohonannya diluruskan dan tidak perlu lagi menghiraukan dan mempersoalkan
kaumnya karna mereka itu akan menerima hukuman Allah dengan mati tenggelam.
2. Ketaatan yang Tinggi dalan Menjalankan Perintah Allah
Setelah menerima perintah Allah
untuk membuat kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan
mereka mulai mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk maksud tersebut. Dengan
mengambil tempat di luar agak jauh dari kota dan keramaian, merka dengan rajin
dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembuatan kapal.
Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi
kota dan masyarakat, agar ia bekerja dengan tenang tanpa gangguan dalam
menyelesaikan pembuatan kapalnya, namun ia tidak pernah luput dari ejekan dan
cemoohan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melewati tempat kerja pembuatan
kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan mengatakan: “Wahai Nuh!
Sejak kapan engkau telah menjadi tukang kayu dan pembuat kapal? Bukankah engkau
seorang Nabi dan Rasul, kenapa sekarag menjadi seorang tukang kayu dan pembuat
kapal? Kapal yang engkau buat itu berada di tempat yang jauh dari air. Apakah
engkau bermaksud untuk menariknya dengan kerbau ataukan dengan mengharapkan
angin yang akan menarik kapal mu ke laut?” Banyak kata-kata ejekan yang
diterima oleh Nabi Nuh, tetapi beliau menyikapinya dengan dingin dan tersenyum
dan seraya menjawab: “Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu dan
sekeluarga mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibaah masanya kelak bagi
kami untuk mengejek kamu dan aka kamu mengetahui kelak untuk apa kapal yang
kami siapkan ini. Tunggulah saat azab dan hukuman Allah menimpa atas diri
kamu.”
Setelah selesai membuat kapal, Nabi
Nuh menerima wahyu dari Allah: “Siap-siap lah engkau dengan kapalmu, bila
terlihat perintahku dan tanda-tanda dari-ku maka segeralah angkut bersamamu di
dalam kapalmu dan kerabat mu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk
yang ada di atas bumi dan berlayarlah dengan izin-Ku.”
Selanjutnya, keluarlah air yang
sangat deras dan dahsyat dari langit dan dari bumi, yang dalam sekejap mata
telah menjadi banjir besar melanda seluruh kota dan desa menggenangi daratan
yang rendah maupun yang tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga
tidak ada tempat berlindung dari air yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang
telah terisi penuh dengan orang-orag mukmin dan pasangan makhluk yang
diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah Allah.
Denga iringan “Bismillah majraha wa
mursaha” berlayarlah kapal Nabi Nuh dengan menyusuri lautan air, menentang
angin yang kadang kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan
kiri kapal terlihat orang-orang kafir bergelut melawan gelombang air yang
bergunung berusaha menyelamatkan diri dari cengkraman maut yang sudah sedia
menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang tersebut.
Tatkala Nabi Nuh berada di atas
geladak kapal memerhatikan cuaca dan melihat orang-orang kafir dari kaumnya
sedang bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihat olehnya tubuh
putra sulungnya yang bernama “Kan’an” timbul tenggelam dipermainkan oleh
gelombang yang tidak menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang
menerima hukuman Allah itu. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta
dan kasih sayang seorang ayah terhadap putra kandungnya yang berada dalam
keadaan cemas yang menghadapi maut ditelan gelombang.
Nabi Nuh secara spontan terdorong
oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat tenaganya memanggil putranya:
“Wahai anakku! Dataglah ke mari dan bergabunglah dirimu bersama keluargamu.
Bertobatlah engkau dan berimanlah kepada Allah agar engkau selamat dan
terhindar dari bahaya maut yang sedang engkau jalani berupa hukuman
Allah.”Kan’an, putra Nabi Nuh yang tersesat dan telah terkena racun dan rayuan
setan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan
keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata yang
menentang: “Biarkanlah aku, pergilah , dan jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung
di atas kepalmu, aku dapat menyelamatkan diriku sendri dengan berlindung di
atas bukit yang tidak akan di jangkau oleh air ini.”
Nuh menjawab: “Percayalah bahwa
tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkanmu ialah bergabung dengan kami di
atas kapal ini. Tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah
yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dan
ampunan-Nya.”
Setelah Nabi Nuh mengucapkan
kata-katanya, tenggelamlah Kan’an di sambar gelombang yang ganas dan lenyaplah dia
dari pandangan mata ayahnya. Tergelincirlah ke bawah lautan air mengikuti
kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.
Nabi Nuh sangat bersedih dan berduka
atas kematian putranya dalam keadaan kafir, tidak beriman, dan belum megenal
Allah. Beliau pun berseru kepada Allah: “Ya tuhanku, sesungguhnya putraku itu
adalah darah dagingku dan serta bagian keluargaku dan sesungguhnya janjimu
adalah benar dan engkaulah mahahakim yang mahakuasa.”Allah berfirman kepadanya:
“Wahai Nuh! Sesungguhnya putramu bukan termauk keluargamu karna ia telah
menyimpang dari ajaramu, melanggar perintahmu, menolak dakwahmu, dan mengikuti
jejak-jejak orang-orang yang kafir dari kaummu. Coretlah namanya dari daftar
keluargamu. Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu, mengikuti jalanmu, dan beriman
kepada-Kulah yang dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan
keluargamu yang telah aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan
jiwanya. Adapun orang-orag yang mengingkari risalahmu, mendustakan dakwahmu,
dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntunan iblis, pastilah mereka akan
binasa menjalani hukuman yang telah aku tentukan walau mereka berada di puncak
gunung. Maka engkau jangan sekali-kali menanyakan tentang sesuatu yang belum
engkau ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam
golongan orang-orang yang bodoh.”
Nabi Nuh segera sadar setelah
menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah
menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orag kafir yang
termasuk putranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada saat ia memanggil
putranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang didorong oleh perasaan
naluri darah yang menghubunkannya dengan putrnya, padahal sepatutnya cinta dan
taat kepada Allah harus mendahului cinta kepadanya itu dan menghadapi kepada
Allah memohon ampun dan magfirah-Nya dengan berseru: “Ya Tuhanku, aku
berlindung kepadamu dari godaan setan yang terkutuk, ampunilah kelalaian dan
keluputanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak mengetahuiya. “Ya Tuhanku,
bila engkau tidak memberi ampun dan magfiroh serta menurunkan rahmat bagiku,
niscaya aku menajdi orang yang rugi.”
Setelah air bah itu telah mencapai
puncak keganasanya dan binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim sesuai dengan
kehendak dan hukum Allah, surutlah air bah itu diserap bumi kemudian
tertambatlah kapal Nuh di atas bukit “judie” dengan irinngan perintah Allah
kepada Nabi Nuh: “Wahai Nuh, turunlah engkau kedarat bersama orang-orang mukmin
yang menyertaimu dengan selama dilimpahi berkah dan inayah dari sisi-Ku bagimu
dan umat yang menyertaimu.”
.
2.3 Akhlak Nabi
Luth
Nabi Luth adalah anak keponakan Nabi
Ibrahim.Ayahnya bernama Haran (Abaraan) bin Tareh, saudara kandung Nabi Ibrahim
yang kembar dengan pamannya yang bernama Nahor.
Silsilah lengkapanya adalah Luth bin
Haran bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Rau bin Falij bin Abir bin Syalih bin
Arfahsad bin Syam bin Nuh. Dia menikah dengan seorang gadis bernama Ado. Namun,
ada juga yang menyebutnya Walihah. Nabi Luth memiliki dua orang anak perempuan
bernama Raitsa dan Zaghrata.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa
Ibrahim as. Hijrah dari Harran menuju Palestina dengan ditemani istri dan
pengikut-pengikutnya,di antaranya anak saudaranya, yaitu Luth bin Haran. Kemudian
Ibrahim bersama Luth menuju Mesir di saaat kelaparan merajalela di Palestina, dan
setelah reda keduanya kembali dari Mesir bersama ternak yang diberikan raja
Mesir kepada mereka.
Sebagian besar hidup Nabi Luth
dihabiskan dengan mengikuti perjalanan bersama Nabi Ibrahim. Mereka juga
dikenal suka berdagang dan beternak. Peternakan yang dikelola Nabi Ibrahim dan
Luth memiliki kemajuan yang sangat pesat. Berhubung padang rumput yang sempit
dan tidak mencukupi makanan ternak mereka yang banyak dan sering timbul
pertikaian antara gembala-gembala Ibrahim dan Luth, maka Ibrahim berpendapat
untuk saling membagi tanah dengan Luth guna menengahi perselisihan.
Kemudian Ibrahim menawarkan tempat
yang cocok baginya, maka ia pun memilih Yordania di mana terdapat dua kota
yaitu Sodom (Sadum) dan Gomorrah. Nabi Luth dan Ibrahim akhirnya berpisah
karena satu tujuan. Nabi Luth lalu pindah dari ke Yordania dan bermukim di kota
Sodom (Sadum).
Penduduk di kota Sodom adalah
orang-orang yang suka berbuat maksiat, seperti melakukan perampokan dan perzinahan
paling keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di antara anak-anak
Adam pada waktu itu yaitu liwaath
(homoseks).
Perpindahan Nabi Luth menuju kota
Sodom bukan tanpa maksud.Allah sengaja mengutusnya dengan tugas Illahi untuk
berdakwah memberi petunjuk kepada mereka dan memperingatkan mereka akan
keburukan perbuatan mereka.
1. Keteguhan Hati Nabi Luth dalam
Berdakwah
Luth mengajak kaumnya untuk beriman
kepada Allah dan mengancam perbuatan mereka dengan siksa-Nya, dan mendesak
mereka untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan munkar. Luth berkata
kepada mereka: ”Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, maka takutlah kamu kepada
Allah dan patuhlah kamu atas perintah dan ajakanku kepadamu.”
Aku tidak akan meminta upah darimu
atas petunjuk dan kebenaran yang kuserukan kepadamu, akan tetapi Allah sendiri
yang akan memberi balasan kepadaku. Tidaklah pantas kalian berbuat kemungkaran
seperti mengadakan hubungan seksual antara sesama lelaki, sesungguhnya kamu
telah melampaui batas dengan melakukan perbuatan itu.
Namun demikian, kaum Luth bukannya
mentaati seruan nabi mereka, melainkan mereka justru mengancamnya, seraya
berkata: ”Jika engkau tidak berhenti menjelek-jelekan kami, maka kami akan
mengusirmu dari negeri ini. Luth menjawab: ”Sungguh aku tidak menyetujui dan
aku membenci perbuatan itu.”
Di samping kejahatan homoseks,
mereka juga melakukan kejahatan lain, yaitu melakukan perbuatan keji secara
terang-terangan di rumah mereka sendiri dan melakukan perampokan terhadap para
musafir, kemudian memperkosa mereka.
Perbuatan-perbuatan keji ini dikecam
oleh Luth dan ia memperingatkan kaumnya akan siksa Allah, akan tetapi mereka
juga tetap membangkang dan sombong dan berkata kepada Luth: ”Jika engkau benar
dalam ancamanmu itu ,maka segeralah dan datangkanlah siksaan itu.”(Q.S.Al
Ankabut :28-29)
2. Memuliakan
Tamunya
Telah disebutkan sebelumnya dalam
kisah Ibrahim bahwa malaikat-malaikat datang sebagai tamu yang menyamar dalam
bentuk pemuda-pemuda, dan di antara misi yang mereka bawa adalah mereka datang
untuk membinasakan kaum Luth dengan sebab pembangkangan dan perbuatan keji
mereka.
Ibrahim terkejut ketika mengetahui
malaikat-malaikat itu akan membinasakan penghuni kota Sodom, karena di dalamnya
ada putra saudaranya Luth, maka ia berkata kepada malaikat-malaikat itu: ”Sesungguhnya
di situ terdapat Luth.”
Malaikat-malaikat itu menjawab: ”Kami
tahu bahwa di situ terdapat Luth, kebinasaan hanya terjadi atas orang-orang
kafir yang tidak beriman kepada Allah. Adapun Luth dan keluarganya serta para
pengikutnya, mereka pasti selamat, kecuali istrinya yang akan ditimpa siksaan
seperti orang-orang kafir. Kedudukan sebagai istri Luth tidak menyelamatkannya,
Karena jelas pebuatannya telah mengkhiati suaminya dan terus membangkang dan
berada dalam kekafiran.(Q.S Al Ankabut 30-31).
Malaikat-malaikat itu meninggalkan
Ibrahim dan pergi ke kota Sodom. Mereka datang ke rumah Luth yang tidak
mengetahui tentang siapa sebenarnya mereka itu. Luth merasa susah, karena Luth
khawatir tamu-tamunya akan diperkosa oleh kaumnya.
Tersebar berita di antara kaum Luth tentang kedatangan para
tamu yang tampan di rumah Luth, maka segeralah mereka datang ke situ dengan
maksud yang jahat. Untuk mengawasi hal ini Luth mencoba membujuknya dengan
menawarkan putri-putrinya untuk dikawini, dengan syarat mereka tidak mengganggu
tamu-tamunya. Namun orang-orang itu tetap bersikeras untuk melaksanakan
keinginan mereka.
Ketika mereka tetap pada
pendiriannya,maka malaikat-malaikat itu membutakan mata mereka, sehingga gagallah
upaya mereka dalam keadaan terhina.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
mereka membujuk Luth supaya menyerahkan tamu-tamunya(supaya berbuat jahat
dengan mereka),maka kami butakan mata mereka seraya Kami katakan: ”Rasailah
olehmu akan siksaan-Ku dan ancaman-Ku (Q.S Al Qamar:37)
Malaikat pun mengungkapkan kepada
Luth tentang diri mereka yang sebenarnya dan memberitahukan bahwa mereka datang
untuk membinasakan kaumnya dengan membutakan mata mereka sehingga mereka tidak
dapat menyelamatkan diri, kemudian menyelamatkan nabi Luth dari kejahatan
mereka.
Maka para malaikat itu berkata kepadanya:
”Mereka tidak akan dapat mengganggumu dan mencemarkanmu dengan menganggu kami, oleh
karena itu pergilah engkau bersama keluargamu di waktu malam dari ini, dan
jangan menoleh seorangpun diantara kamu kebelakang supaya kamu tidak melihat
kengerian siksaan.
Adapun istrimu yang telah
mengkhianatimu, tidaklah ia keluar bersamamu lantaran ia akan ditimpa siksaan
bersama kaummu, dan waktu kebinasaan mereka adalah waktu subuh yang akan segera
tiba. Ketika datang siksaan Allah, maka Allah menjadikan tanah desa yang tinggi
dan didiami oleh kaum Luth menjadi rendah. Kemudian menghujani dengan batu-batu
dari tanah keras yang berjatuhan di atas mereka secara berturut-turut. Demikian
hebatnya siksaan Allah yang ditimpakan dengan segera kepada orang-orang yang dzalim
dan fasik.
Daerah yang ditimpa siksaan itu
sekarang dikenal dengan nama Laut Mati
atau Danau Luth. Sebagian ulama berpendapat, bahwa laut mati sebelum
peristiwa itu tidak ada, ia timbul dari gempa bumi yang menyebabkan dataran
tinggi di daerah itu menjadi rendah 400m di bawah permukaan laut. Pada
tahun-tahun lampau ditemukan peninggalan-peninggalan dari Kota Luth di tepi
Laut Mati.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Nabi Ibrahim memiliki
akhlak yang mulia, di antaranya: 1) Teguh dalam menjaga iman, 2) Teguh dalam
berdakwah, 3) Taat dalam menjalankan perintah Allah, 4) Memiliki akhlak sosial
yang tinggi, seperti menjawab salam dengan yang lebih baik, memuliakan tamu,
dan berbicara dengan lemah lembut.
·
Nabi Nuh memiliki
akhlak yang mulia, di anataranya: 1) Teguh dalam berdakwah, 2) Taat dalam
menjalankan perintah Allah, 3) Sabar.
·
Nabi Luth memiliki
akhlak yang mulia, di anataranya: 1) Teguh dalam berdakwah, 2) Memuliakan tamu.
3.2 Saran
Setelah membaca uraian di atas, diharapkan kepada
pembaca untuk dapat mengambil ibrah yang terkandung di dalamnya, seperti teguh
dalam menjaga iman, Teguh dalam berdakwah, taat dalam menjalankan perintah
Allah, serta memiliki akhlak sosial yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zaid Husein. 1995. Kisah 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Pustaka
Amani.
Siroj, Zaenuri & Abu Muhammad. 2011. 17 Kisah Teladan. Jakarta:
Albama.
Thahir, Hamid Ahmad Ath. 2006. Kisah Para Nabi untuk Anak. Bandung:
Irsyad Baitus Salam.
SUMBER HALAMAN
http://www.kisahmuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar