Minggu, 16 April 2017

MAKALAH PENEMUAN HUKUM, PENAFSIRAN HUKUM, DAN KONSTRUKSI HUKUM



PENEMUAN HUKUM, PENAFSIRAN HUKUM, DAN KONSTRUKSI HUKUM

Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN GUNUNG DJATI ABNDUNG)

PENEMUAN HUKUM, PENAFSIRAN HUKUM, DAN KONSTRUKSI HUKUM
2.1 Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas. Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan  masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum (Rechtsvinding) adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan dalam tersebut. Dari segi teori dikatakan bahwa hukum itu sudah ada pada perilaku manusia-manusia itu sendiri (Paul Scholten).
Penemuan hukum, pada hakikatnya mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematika yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (Rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.
1.   Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit
 Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit, adalah jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal menerapkannya saja. Dalam penerapannya, hakim tetap dinggap melakukan penemuan, yaitu menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan undang-undang dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkretnya.

2.   Pengertian penemuan hukum dalam arti luas
Penemuan hukum dalam arti luas, posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan peraturan hokum yang sudah jelas dengan mencocokkannya pada kasus yang ditangani, melainkan sudah lebih luas. Hakim daam membuat putusan, sudah memperluas makna suatu ketentuan undang-undang yang dibagi atas konstruksi hukum dan interpretasi hukum. Van Eikema Hommes menyatakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret.
Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia, sedangkan kegiatan kehidupan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Maka tidak mengherankan jika peraturan hukum itu tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Oleh karena tidak lengkap atau tidak jelas, maka hukumnya harus dilengkapi dan dijelaskan yang berarti bahwa hukumnya harus ditemukan, digali di dalam masyarakat guna memecahkan masalah-masalah hukum. Jadi hukumnya itu sudah ada, bukannya tidak atau belum ada yang masih harus diciptakan, tetapi sudah ada hanya saja masih harus dicari, diketemukan atau digali kepermukaan.
Penemuan hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan hukum (undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim adalah menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga. Tidak ada kesengajaan untuk menciptakan hukum tetapi ada kemungkinan dalam menemukan hukumnya tanpa disadari hakim menciptakan hukum.
2.2 Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa:
a.  Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.
c.  Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.


2.3 Pandangan Aliran-aliran Penemuan Hukum
Pada zaman dahulu, sebelum tahun 1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan bermacam-macam hukum kebiasaan yang berbeda menurut tempat dan waktu. Akan tetapi dengan banyaknya hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan samar-samar, karena memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar. Sehingga orang mulai tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), maka mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa peraturan-peraturan (hukum) kebiasaan itu dituliskan.
Memang sumber hukum tertua adalah kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada aturan-aturan yang diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan yang diwariskan secara diam-diam. Akibat dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku secara umum, sering menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam melaksanakan kekuasaannya. Setelah melihat kenyataan tersebut di atas, maka timbullah usaha ke arah kodifikasi yaitu pada zaman Romawi terlihat pada masa Kaisar Justinianus, yang menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”. Akibat munculnya hal tersebut mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
1.  Aliran Legisme
Paham ini beranggapan bahwa undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”. Pandangan ini cocok dengan ajaran hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke-17 dan abad ke-18. Dan mendapat dukungan lebih kuat dari teori-teori Montesquieu dan J.J. Rousseau.
Kodifikasi sebagai landasan dari aliran legisme, bertujuan untuk kesederhanaan hukum di mana hukum mudah didapat, kesatuan hukum (unifikasi hukum), dan kepastian hukum.
Hakim hanya merupakan terompet undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Sesuai dengan teori-teori Montesquieu atau J.J.  Rousseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif saja Bahwa hakim mengambil sikap menahan diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para warga negara, untuk mengatur hubungan hukum mereka.  Hakim hanya bertindak apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut undang-undang. Hakim harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
Sejak awal abad XX, pandangan aliran legisme telah ditinggalkan. Karena Ketidakjelasan aturan undang-undang yang disebabkan adanya terminologi yang kabur, istilah yang bermakna ganda, dan istilah-istilah yang bersifat evaluatif. Dalam rangka menjernihkan arti penting dan makna yang dibuatnya aturan itulah dibutuhkan kreativitas hakim untuk melakukan pembentukan hukum (Rechtsvorming).
2.  Aliran Historis (sejarah)
Pelopor dari aliran ini yang terkenal adalah F.C. Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari hukum positif di dalam kesadaran hukum bersama dari masyarakat. Aliran sejarah lahir sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad ke-17 dan abad ke-18.
Pada tahun 1814 F.C. Von Savigny menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur terhadap usaha kodifikasi yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu kodifikasi dia menganggap Jerman masih belum matang.
Hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan tumbuh dengan bangsa itu.  Hukum itu adalah “kehidupan suatu bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu aspek dari “Kehidupan bangsa yang sehat”.
Kemudian dijelaskan oleh Von Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan keyakinan mayoritas dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen). Hukum yang tumbuh dari semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan tetap seperti kehidupan rakyat sendiri. Jadi singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan rakyat.
3.  Aliran Begriffsjurisprudenz
Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip pandangan aliran Legisme, maka aliran Begriffsjurisprudenz telah memperbaiki kelemahan yang ada.  Menurut pendapat aliran ini, bertitik tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse, asas dasar hukum yang telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang dapat turun ke soal pertentangan, yang memisahkan para pihak. Dengan demikian terjadilah suatu sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian dasar.
Yang paling ideal adalah apabila sistem yang ada itu akan dapat dibangun dalam semacam piramida, dengan suatu asas pokok di puncaknya. Dari situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru sebab pengertian itu banyak menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan melahirkan yang baru”.  Itu sebabnya teori ini disebut Begriffjurisprudenz.
Ciri khas dari aliran ini adalah terutama, bahwa di dalam hukum itu dilihat sebagai suatu sistem yang terpadu, mencakup segala-galanya yang menguasai segala tindakan sosial.
Pendekatan ilmiah mengenai hukum itu, dengan aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu, bukan hanya merupakan stimulasi yang kuat bagi timbulnya positivisme hukum, tetapi memberikan juga kepada hakim suatu kumpulan argumen yang ditarik dari ilmu pengetahuan, jadi yang dianggap obyektif bagi keputusannya. Begriffsjurisprudenz memberi kepada hakim lebih banyak ruang lingkupnya dari legisme. Ia tidak usah mengingatkan diri pada teks undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan argumennya dari peraturan hukum yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam kitab undang-undang.
Aliran ini juga mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, akan tetapi dia dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena dia mempunyai daya meluas. Cara memperluas hukum itu hendaknya dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah suatu kesatuan yang tertutup, sebagaimana dikatakan oleh Brinz. Brinz mengatakan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat konstruksi-konstuksi hukum.
4.   Aliran Interessenjurisprudenz
Penganut aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum. Demi untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
Jadi peraturan hukum itu oleh hakim haruslah dilihat tidak secara logis formal, melainkan seyogyanya dinilai menurut tujuannya.  Pada dasarnya tujuan itu adalah, bahwa peraturan itu bermaksud melindungi kepentingan tertentu. Pembuat undang-undang ketika ia mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan membandingkannya satu sama lain dan kemudian mengadakan pilihan.
5.  Aliran Freirechtbewegung
Menurut Herman Kantorowicz, bahwa undang-undang banyak mengandung kekosongan-kekosongan dan tugas hakim untuk memenuhinya. Dia merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung yang timbul pada waktu itu di Jerman. Aliran ini membela suatu perluasan dari kekuasaan memutuskan dari peradilan.
Aliran ini juga disebut sebagai Aliran Hukum Bebas, dengan kuat mempropagandakan pemakaian pengertian dari “itikad baik”, “adat istiadat baik”, “pendapat masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga dengan demikian hakim memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak adil yang dilarikan dari pemakaian undang-undang yang cermat.
Freirechtshule menunjukan suatu penemuan hukum yang lebih bebas, sekalipun tidak demikian bebasnya sebagaimana sebenarnya dikehendaki oleh beberapa penganut ajaran ini, tetapi masih jauh lebih bebas terhadap undang-undang dan sistem dari undang-undang itu dari pada sebelumnya.

6.  Aliran Sosiologische Rechtsschule
Aliran ini lahir akibat aliran Freirechtbewegung, aliran ini juga disebut aliran sosiologi hukum. Penganutnya Hamaker dan Hymans dari Negeri Belanda dan dari Amerika misalnya, Roscoe Pound.
Pokok pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubungan dengan adanya “freies Ermessen” dari aliran hukum bebas di atas. Mereka pada dasarnya tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya. Undang-undang harus tetap dihormati, tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang.
Menurut penganut aliran ini, hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.
7.  Aliran Open System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)
Setelah melihat pandangan-pandangan aliran-aliran di atas adalah berat sebelah, yaitu kadang-kadang terlampau mengutamakan dogma, kepastian hukum, dan juga kadang-kadang mendudukkan hakim dalam posisi yang terlalu penting dalam peranannya atau juga terlalu mementingkan kenyataan sosial.
Aliran ini diwakili oleh Paul Scholten, yang menjelaskan “Hukum itu merupakan suatu sistem ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan unik yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai pada asas-asasnya”.
Betul bahwa hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut. Oleh karena itu tepat untuk disebut Sistem Terbuka. Selanjutnya dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan saja pembentuk baru secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga karena pelaksanaannya di dalam masyarakat. Pelaksanaan itu selalu disertai penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran.
Badan perundang-undangan dalam membentuk hukum yang baru terikat untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama, sedangkan hakim dalam mempertahankan hukum itu turut menambahkan sesuatu yang baru seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.
2.4 Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan dua bentuk.
Metode interpretasi hukum adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu.
Interpretasi hukum adalah penafsiran perkataan dalam undang-undang, tetapi tetap berpegang pada kata-kata atau bunyi peraturannya.
   Berdasarkan sumbernya penafsiran bersifat:
a) Otentik, ialah penafsiran yang seperti diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang  dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.Penafsiran ini mengikat umum.
b) Doktrinair, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya para ahli.hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c) Hakim, penafsiran yang bersumber pada hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu.
Jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum adalah sebagai berikut:
1.Penafsiran Tata Bahasa (Grammatikal)
Penafsiran secara tata bahasa ,yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan – perkataan dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat
Contohnya: Suatu peraturan perundang-undangan melarang orang untuk memparkir kendaraanya di suatu tampat tertentu.Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan istilah “kendaraan“ itu.Apakah yang di maksud kendaraan hanyalah kendaraan bermotoratau termasuk juga sepeda dan bejak.dalam hal ini sering penjelasan kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat memberikan kejelasan tantang pengertian kata yang di maksud dalam undang-undang tersebut .Oleh karena itu hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan dengan peraturan yang lain.
2. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya,atau membaca penjelasan suatu perundang –undangan,sehingga kita mengerti apa yang dimaksud.
Contoh: apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan dari pernikahan orang tuanya, hakim tidak cukup mencari ketentuan dalam KUH Perdata saja, tetapi juga harus dihubungkan dengan pasal dalam KUH Pidana.

3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam :
 a) Sejarah hukumnya,Yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan ,laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan.
 b) Sejarah undang-undangnya,yng diselidiki maksunya Pembentuk Undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu misalnya didenda 25 f,-sekarang ditafsirkan dengan uang RI,sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu di buat.
4.Penafsiran Sosiologis(Teleologis)
Interpretasi sosiologis atau teleologis adalah menafsirkan makna atau undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.
Contoh: pada bulan Maret 1995 Hakim di Pengadilan Negeri di Jakarta pusat menghukum 4 tahun penjara terhadap seorang warga Negara Belanda, karena terbukti mengedarkan pil ecstasy yang membahayakan kesehatan dan merusak moral masyarakat. Hakim menerapkan ketentuan pasal 81 ayat (2) butir c Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Padahal; pil ecstasy belum digolongkan jenis obat daftar G, atau obat keras yang dilarang beredar atau diperjual belikan tanpa resep dokter. Disini hakim bermaksud melindungi kepentingan masyarakat, sebab pil ecstasy ternyata berakibat merugikan kesehatan dan moral warga masyarakat (khususnya kaum muda).

5.Penafsiran Autentik(resmi)
Penafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.Misalnya:Pada pasal 98 KUHP ;”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
 6.Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis artinya member tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya ,sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat di masukkan ,lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut..
Contoh: ”menyambung’ aliran listrik dianggap sama saja dengan mengambil aliran listrik.
7. Penafsiran Ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.
Contoh: perkataan menjual, dalam pasal 1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas bukan hanya jual-beli saja tetapi juga menyangkut peralihan hak milik termasuk tukar-menukar, hibah dan pewarisan.
8.Penafsiran  Restriktif
Penafsiran restriktif adalah Suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 
Contoh: Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya).
9. Interpretasi komparatif
Interpretasi komparatif  adalah membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga hakim bisa mengambil putusan yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya.
B.  Metode Konstruksi Hukum
Metode kostruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.
Tujuannya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan,dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah pencurian adalah suatu kontruksi hukum, suatu pengertian tentang mengambil barang dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Metode ini dikenal juga sebagai metode penalaran hukum.
Metode konstruksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Analogis
Metode analogis adalah metode penemuan hukum dengan memberikan padanan pada suatu peristiwa yang memiliki kesamaan permasalahan. Tegasnya suatu peraturan menyebutkan satu kejadian, kemudian peraturan hukum itu dipergunakan oleh hakim terhadap peristiwa lain yang tidak disebut namun memiliki kesamaan anasir dengan kejadian yang diatur UU.
Contohnya: pasal 1676 BW mengenai transaksi jual beli yang tidak memutuskan sewa menyewa kecuali telah diperjanjikan. Peraturan BW hanya mencakup pada transaksi jual beli yang sifatnya khusus. Dalam proses analogi hibah memiliki kesamaan dengan jual beli karena ada proses peralihan kepemilikan. Maka pasal ini diterapkan terhadap setiap peralihan: hibah, waris, dan lain sebagainya.
Analogi digunakan ketika menghadapi pristiwa-peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang diatur UU, juga apabila kepentingan masyarakat menuntut penilaian yang sama. Di dalam hukum pidana analogi jarang atau tidak digunakan.
   2. Penyempitan Hukum
Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas, dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
Contoh: Pasal 1365 BW tidak menjelaskan apakah kerugian harus ditanggung juga oleh pihak yang dirugikan karena dia turut bersalah? Yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, maka ia hanya berhak menuntut sebagian dari kerugian tersebut.
   3. A Contrario
Penafsiran a contrario adalah penafsiran suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara pengertian konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur dalam undang-undang.Sehingga dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat di ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.
Contoh:  Pasal 34 KUH Perdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak di benarkan menikah lagi sebelim lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami pertama.Berdasarkan penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki.Karena bagi seorang laki-laki tidak perlu menunggiu tenggang waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah putusnya perkawinan pertama.Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdat tersebut adalah untuk mencegah adanya keraguan-keraguan mengenai kedudukan anak,berhubungan dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah perkawinannya  putusatau bercerai.jika anak itu dilahirkan setelah perkawinann yang berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adlah anak dari suami pertama.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·      Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum (Rechtsvinding) adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan dalam tersebut.
·      Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.
·      Akibat munculnya perbedaan pandangan mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan/aliran tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
·      Metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan dua bentuk.
1.      Metode interpretasi hukum, adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu.
2.      Metode kostruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.




3.2 Saran
Penemuan hukum itu sangatlah penting di kehidupan kita sehar-hari, utamanya kehidupan atau aktivitas yang berkaitan dengan hukum.
Oleh karena itu, kami berharap kepada pembaca, setelah membaca uraian di atas pembaca mampu memahami akan penemuan hukum.


















DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Kanzil. 1990,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum indonesia ,Jakarta: Pradnya  Paramita,
Mahmud Marzuki, Peter. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Soeroso. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar