PENEMUAN HUKUM, PENAFSIRAN HUKUM, DAN KONSTRUKSI HUKUM
Oleh:
M. SYAIFUDDIN
(ADMINISTRASI PUBLIK UIN SUNAN
GUNUNG DJATI ABNDUNG)
PENEMUAN HUKUM, PENAFSIRAN HUKUM, DAN KONSTRUKSI HUKUM
2.1 Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum
merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi
kekosongan hukum, atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan
yang tidak atau kurang jelas. Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang
menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut
menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum (Rechtsvinding) adalah
menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas. Hukumnya
itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan dalam
tersebut. Dari segi teori dikatakan bahwa hukum itu sudah ada pada perilaku
manusia-manusia itu sendiri (Paul Scholten).
Penemuan hukum, pada hakikatnya
mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan
hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematika yang
dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan hukum (Rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau
sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian
penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.
1. Pengertian penemuan
hukum dalam arti sempit
Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit,
adalah jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal
menerapkannya saja. Dalam penerapannya, hakim tetap dinggap melakukan penemuan,
yaitu menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan undang-undang
dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkretnya.
2. Pengertian penemuan
hukum dalam arti luas
Penemuan hukum dalam arti luas, posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan
peraturan hokum yang sudah jelas dengan mencocokkannya pada kasus yang
ditangani, melainkan sudah lebih luas. Hakim daam membuat putusan, sudah
memperluas makna suatu ketentuan undang-undang yang dibagi atas konstruksi
hukum dan interpretasi hukum. Van Eikema Hommes menyatakan bahwa penemuan hukum
lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkret.
Hukum atau
peraturan hukum bertujuan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia, sedangkan
kegiatan kehidupan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Maka tidak
mengherankan jika peraturan hukum itu tidak lengkap dan tidak selalu jelas.
Oleh karena tidak lengkap atau tidak jelas, maka hukumnya harus dilengkapi dan
dijelaskan yang berarti bahwa hukumnya harus ditemukan, digali di dalam
masyarakat guna memecahkan masalah-masalah hukum. Jadi hukumnya itu sudah ada,
bukannya tidak atau belum ada yang masih harus diciptakan, tetapi sudah ada
hanya saja masih harus dicari, diketemukan atau digali kepermukaan.
Penemuan
hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan
hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu
hukum yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan hukum
(undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim adalah
menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga
yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu
pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup
kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan
hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga. Tidak ada
kesengajaan untuk menciptakan hukum tetapi ada kemungkinan dalam menemukan
hukumnya tanpa disadari hakim menciptakan hukum.
2.2 Kegunaan
Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan
menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang
tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga
didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa:
a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja
menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum
sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam
peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat
diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan
didalam masyarakat.
c. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan
perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau
pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa
yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau
menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.
2.3
Pandangan Aliran-aliran Penemuan Hukum
Pada zaman dahulu, sebelum tahun
1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan bermacam-macam hukum kebiasaan
yang berbeda menurut tempat dan waktu. Akan tetapi dengan banyaknya
hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan samar-samar, karena
memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar. Sehingga orang mulai
tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), maka
mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa peraturan-peraturan (hukum)
kebiasaan itu dituliskan.
Memang sumber hukum tertua adalah
kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada aturan-aturan yang
diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan yang diwariskan
secara diam-diam. Akibat dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku
secara umum, sering menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam
melaksanakan kekuasaannya. Setelah melihat kenyataan tersebut di atas,
maka timbullah usaha ke arah kodifikasi yaitu pada zaman Romawi terlihat pada
masa Kaisar Justinianus, yang menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”.
Akibat munculnya hal tersebut mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan
tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
1. Aliran Legisme
Paham ini beranggapan bahwa
undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”.
Pandangan ini cocok dengan ajaran hukum kodrat yang rasionalistis dari abad
ke-17 dan abad ke-18. Dan mendapat dukungan lebih kuat dari teori-teori Montesquieu
dan J.J. Rousseau.
Kodifikasi sebagai landasan dari
aliran legisme, bertujuan untuk kesederhanaan hukum di mana hukum mudah didapat,
kesatuan hukum (unifikasi hukum), dan kepastian hukum.
Hakim hanya merupakan terompet
undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah atau menambah
undang-undang. Sesuai dengan teori-teori Montesquieu atau J.J. Rousseau,
aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif saja Bahwa
hakim mengambil sikap menahan diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para
warga negara, untuk mengatur hubungan hukum mereka. Hakim hanya bertindak
apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut undang-undang. Hakim
harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh
menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
Sejak awal abad XX, pandangan aliran
legisme telah ditinggalkan. Karena Ketidakjelasan aturan undang-undang yang
disebabkan adanya terminologi yang kabur, istilah yang bermakna ganda, dan
istilah-istilah yang bersifat evaluatif. Dalam rangka menjernihkan arti penting
dan makna yang dibuatnya aturan itulah dibutuhkan kreativitas hakim untuk melakukan
pembentukan hukum (Rechtsvorming).
2. Aliran Historis (sejarah)
Pelopor dari aliran ini yang
terkenal adalah F.C. Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari
hukum positif di dalam kesadaran hukum bersama dari masyarakat. Aliran sejarah lahir
sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad ke-17 dan abad
ke-18.
Pada tahun 1814 F.C. Von Savigny
menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur terhadap usaha kodifikasi
yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu kodifikasi dia menganggap
Jerman masih belum matang.
Hukum itu tidak dibuat, tetapi
berada dan tumbuh dengan bangsa itu. Hukum itu adalah “kehidupan suatu
bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu aspek dari “Kehidupan bangsa
yang sehat”.
Kemudian dijelaskan oleh Von
Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan keyakinan mayoritas
dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen). Hukum yang tumbuh dari
semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan tetap seperti
kehidupan rakyat sendiri. Jadi singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi
tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan rakyat.
3. Aliran
Begriffsjurisprudenz
Dengan tidak meninggalkan
prinsip-prinsip pandangan aliran Legisme, maka aliran Begriffsjurisprudenz
telah memperbaiki kelemahan yang ada. Menurut pendapat aliran ini,
bertitik tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse, asas dasar hukum
yang telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang dapat turun ke
soal pertentangan, yang memisahkan para pihak. Dengan demikian terjadilah suatu
sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian dasar.
Yang paling ideal adalah apabila
sistem yang ada itu akan dapat dibangun dalam semacam piramida, dengan suatu
asas pokok di puncaknya. Dari situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru
sebab pengertian itu banyak menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan
melahirkan yang baru”. Itu sebabnya teori ini disebut
Begriffjurisprudenz.
Ciri khas dari aliran ini adalah
terutama, bahwa di dalam hukum itu dilihat sebagai suatu sistem yang terpadu,
mencakup segala-galanya yang menguasai segala tindakan sosial.
Pendekatan ilmiah mengenai hukum
itu, dengan aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu, bukan hanya merupakan
stimulasi yang kuat bagi timbulnya positivisme hukum, tetapi memberikan juga
kepada hakim suatu kumpulan argumen yang ditarik dari ilmu pengetahuan, jadi
yang dianggap obyektif bagi keputusannya. Begriffsjurisprudenz memberi kepada
hakim lebih banyak ruang lingkupnya dari legisme. Ia tidak usah mengingatkan
diri pada teks undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan argumennya dari
peraturan hukum yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam kitab
undang-undang.
Aliran ini juga mengajarkan bahwa
sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, akan tetapi dia dapat memenuhi
kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena dia mempunyai daya meluas. Cara
memperluas hukum itu hendaknya dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah
suatu kesatuan yang tertutup, sebagaimana dikatakan oleh Brinz. Brinz
mengatakan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat
konstruksi-konstuksi hukum.
4. Aliran
Interessenjurisprudenz
Penganut aliran ini tidak sependapat
dengan aliran Legisme dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa
undang-undang tidak lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim
dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan
hukum. Demi untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim
malahan boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
Jadi peraturan hukum itu oleh hakim
haruslah dilihat tidak secara logis formal, melainkan seyogyanya dinilai
menurut tujuannya. Pada dasarnya tujuan itu adalah, bahwa peraturan itu
bermaksud melindungi kepentingan tertentu. Pembuat undang-undang ketika ia
mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan
membandingkannya satu sama lain dan kemudian mengadakan pilihan.
5. Aliran
Freirechtbewegung
Menurut Herman Kantorowicz, bahwa
undang-undang banyak mengandung kekosongan-kekosongan dan tugas hakim untuk
memenuhinya. Dia merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung
yang timbul pada waktu itu di Jerman. Aliran ini membela suatu perluasan dari
kekuasaan memutuskan dari peradilan.
Aliran ini juga disebut sebagai
Aliran Hukum Bebas, dengan kuat mempropagandakan pemakaian pengertian dari “itikad
baik”, “adat istiadat baik”, “pendapat masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat
yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga
dengan demikian hakim memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak
adil yang dilarikan dari pemakaian undang-undang yang cermat.
Freirechtshule menunjukan suatu
penemuan hukum yang lebih bebas, sekalipun tidak demikian bebasnya sebagaimana
sebenarnya dikehendaki oleh beberapa penganut ajaran ini, tetapi masih jauh
lebih bebas terhadap undang-undang dan sistem dari undang-undang itu dari pada
sebelumnya.
6. Aliran
Sosiologische Rechtsschule
Aliran ini lahir akibat aliran
Freirechtbewegung, aliran ini juga disebut aliran sosiologi hukum. Penganutnya
Hamaker dan Hymans dari Negeri Belanda dan dari Amerika misalnya, Roscoe Pound.
Pokok pikiran dari aliran ini ialah
terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim,
berhubungan dengan adanya “freies Ermessen” dari aliran hukum bebas di atas.
Mereka pada dasarnya tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum
untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya. Undang-undang
harus tetap dihormati, tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan
dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka
undang-undang.
Menurut penganut aliran ini, hakim
hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi
tidak kurang pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung
jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang
hidup dalam masyarakat.
7. Aliran Open
System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)
Setelah melihat pandangan-pandangan
aliran-aliran di atas adalah berat sebelah, yaitu kadang-kadang terlampau
mengutamakan dogma, kepastian hukum, dan juga kadang-kadang mendudukkan hakim
dalam posisi yang terlalu penting dalam peranannya atau juga terlalu
mementingkan kenyataan sosial.
Aliran ini diwakili oleh Paul
Scholten, yang menjelaskan “Hukum itu merupakan suatu sistem ialah bahwa semua
peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang
lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan unik
yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai
pada asas-asasnya”.
Betul bahwa hukum itu bersifat
logis, akan tetapi karena sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku,
sebab ia memerlukan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan
menambah luasnya sistem tersebut. Oleh karena itu tepat untuk disebut Sistem
Terbuka. Selanjutnya dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan
saja pembentuk baru secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga
karena pelaksanaannya di dalam masyarakat. Pelaksanaan itu selalu disertai
penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran.
Badan perundang-undangan dalam
membentuk hukum yang baru terikat untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama,
sedangkan hakim dalam mempertahankan hukum itu turut menambahkan sesuatu yang
baru seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.
2.4 Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum dapat
dilakukan dengan dua bentuk.
Metode interpretasi hukum adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan
yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
peristiwa konkret tertentu.
Interpretasi hukum adalah penafsiran perkataan dalam undang-undang, tetapi
tetap berpegang pada kata-kata atau bunyi peraturannya.
Berdasarkan sumbernya penafsiran bersifat:
a) Otentik, ialah penafsiran yang seperti
diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai
penjelas.Penafsiran ini mengikat umum.
b) Doktrinair, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan
hasil-hasil karya karya para ahli.hakim tidak terikat karena penafsiran ini
hanya memiliki nilai teoretis.
c) Hakim, penafsiran yang bersumber pada
hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi
kasus-kasus tertentu.
Jenis-jenis metode
penemuan hukum melalui interpretasi hukum adalah sebagai berikut:
1.Penafsiran Tata Bahasa
(Grammatikal)
Penafsiran secara tata
bahasa ,yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan
(istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti
perkataan – perkataan dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat
Contohnya: Suatu
peraturan perundang-undangan melarang orang untuk memparkir kendaraanya di
suatu tampat tertentu.Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud
dengan istilah “kendaraan“ itu.Apakah yang di maksud kendaraan hanyalah
kendaraan bermotoratau termasuk juga sepeda dan bejak.dalam hal ini sering
penjelasan kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat
memberikan kejelasan tantang pengertian kata yang di maksud dalam undang-undang
tersebut .Oleh karena itu hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan
dengan peraturan yang lain.
2. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran
yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu
perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum
lainnya,atau membaca penjelasan suatu perundang –undangan,sehingga kita
mengerti apa yang dimaksud.
Contoh: apabila hendak
mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan dari pernikahan orang
tuanya, hakim tidak cukup mencari ketentuan dalam KUH Perdata saja, tetapi juga
harus dihubungkan dengan pasal dalam KUH Pidana.
3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat
sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam :
a) Sejarah
hukumnya,Yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut.Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan
,laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara menteri dengan
komisi DPR yang bersangkutan.
b) Sejarah
undang-undangnya,yng diselidiki maksunya Pembentuk Undang-undang pada waktu
membuat undang-undang itu misalnya didenda 25 f,-sekarang ditafsirkan dengan
uang RI,sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu di buat.
4.Penafsiran Sosiologis(Teleologis)
Interpretasi sosiologis
atau teleologis adalah menafsirkan makna atau undang-undang untuk
diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.
Contoh: pada bulan
Maret 1995 Hakim di Pengadilan Negeri di Jakarta pusat menghukum 4 tahun
penjara terhadap seorang warga Negara Belanda, karena terbukti mengedarkan pil ecstasy
yang membahayakan kesehatan dan merusak moral masyarakat. Hakim menerapkan
ketentuan pasal 81 ayat (2) butir c Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan. Padahal; pil ecstasy belum digolongkan jenis obat daftar G,
atau obat keras yang dilarang beredar atau diperjual belikan tanpa resep
dokter. Disini hakim bermaksud melindungi kepentingan masyarakat, sebab pil ecstasy
ternyata berakibat merugikan kesehatan dan moral warga masyarakat (khususnya
kaum muda).
5.Penafsiran Autentik(resmi)
Penafsiran autentik
adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.Misalnya:Pada
pasal 98 KUHP ;”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di maksud
dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
6.Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis artinya member tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya ,sehingga sesuatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat di masukkan ,lalu dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan tersebut..
Contoh: ”menyambung’ aliran listrik dianggap sama saja
dengan mengambil aliran listrik.
7. Penafsiran Ekstensif
Interpretasi ekstensif
adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil
interpretasi gramatikal. Digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan
undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi
gramatikal.
Contoh: perkataan
menjual, dalam pasal 1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas bukan
hanya jual-beli saja tetapi juga menyangkut peralihan hak milik termasuk
tukar-menukar, hibah dan pewarisan.
8.Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif adalah Suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Contoh: Putusan Hoge
Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang
dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan
kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung
tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya).
9. Interpretasi komparatif
Interpretasi komparatif adalah membandingkan antara berbagai sistem
hukum yang ada di dunia, sehingga hakim bisa mengambil putusan yang sesuai
dengan perkara yang ditanganinya.
B. Metode Konstruksi Hukum
Metode kostruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan
dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap
harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.
Tujuannya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkret dapat memenuhi
tuntutan keadilan,dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah
pencurian adalah suatu kontruksi hukum, suatu pengertian tentang mengambil
barang dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Metode ini dikenal
juga sebagai metode penalaran hukum.
Metode konstruksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Analogis
Metode analogis adalah
metode penemuan hukum dengan memberikan padanan pada suatu peristiwa yang
memiliki kesamaan permasalahan. Tegasnya suatu peraturan menyebutkan satu
kejadian, kemudian peraturan hukum itu dipergunakan oleh hakim terhadap
peristiwa lain yang tidak disebut namun memiliki kesamaan anasir dengan
kejadian yang diatur UU.
Contohnya: pasal 1676 BW mengenai transaksi jual beli yang tidak memutuskan
sewa menyewa kecuali telah diperjanjikan. Peraturan BW hanya mencakup pada
transaksi jual beli yang sifatnya khusus. Dalam proses analogi hibah memiliki
kesamaan dengan jual beli karena ada proses peralihan kepemilikan. Maka pasal
ini diterapkan terhadap setiap peralihan: hibah, waris, dan lain sebagainya.
Analogi digunakan ketika menghadapi pristiwa-peristiwa yang mirip dengan
peristiwa yang diatur UU, juga apabila kepentingan masyarakat menuntut
penilaian yang sama. Di dalam hukum pidana analogi jarang atau tidak digunakan.
2. Penyempitan Hukum
Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu
aturan hukum yang terlalu abstrak, luas, dan umum, supaya dapat diterapkan
terhadap suatu peristiwa tertentu.
Contoh: Pasal 1365 BW tidak menjelaskan apakah kerugian harus ditanggung
juga oleh pihak yang dirugikan karena dia turut bersalah? Yurisprudensi
menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, maka ia hanya berhak
menuntut sebagian dari kerugian tersebut.
3. A Contrario
Penafsiran a contrario adalah penafsiran suatu
penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara
pengertian konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur dalam
undang-undang.Sehingga dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat di
ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh
undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang
tersebut.
Contoh: Pasal
34 KUH Perdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak di benarkan menikah
lagi sebelim lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami
pertama.Berdasarkan penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki.Karena bagi seorang
laki-laki tidak perlu menunggiu tenggang waktu tersebut untuk melakukan
perkawinan lagi setelah putusnya perkawinan pertama.Maksud tenggang waktu dalam
pasal 34 KUH Perdat tersebut adalah untuk mencegah adanya keraguan-keraguan
mengenai kedudukan anak,berhubungan dengan kemungkinan bahwa seorang sedang
mengandung setelah perkawinannya
putusatau bercerai.jika anak itu dilahirkan setelah perkawinann yang
berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya
perkawinan pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adlah
anak dari suami pertama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Menurut
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum
(Rechtsvinding) adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap
atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan
dalam tersebut.
·
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang
dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara
tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.
·
Akibat munculnya perbedaan pandangan
mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan/aliran tentang hubungan
undang-undang, hukum, dan hakim.
·
Metode penemuan hukum dapat
dilakukan dengan dua bentuk.
1.
Metode interpretasi
hukum, adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang
tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
peristiwa konkret tertentu.
2. Metode kostruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu
ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya,
tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.
3.2 Saran
Penemuan hukum itu sangatlah penting di kehidupan kita sehar-hari, utamanya
kehidupan atau aktivitas yang berkaitan dengan hukum.
Oleh karena itu, kami berharap kepada pembaca, setelah membaca uraian di
atas pembaca mampu memahami akan penemuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Kanzil. 1990,Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum indonesia ,Jakarta: Pradnya
Paramita,
Mahmud Marzuki, Peter. 2012. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Soeroso. 2009. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar